tw//mention of past suicide—please read with care and prioritize your well-being.
"Di-PHK, Pak?"
Seorang pria dengan kemeja biru muda yang warnanya sudah agak pudar bertanya pada atasannya yang tengah duduk di balik meja kerja dengan wajah sarat akan rasa bersalah.
"Setelah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja karyawan sambil mempertimbangkan kondisi perusahaan, kami terpaksa mengambil langkah ini. Yang harus kamu tau, Binar, ini juga merupakan keputusan yang sangat sulit bagi kami," jawab atasannya dengan suara yang paling tenang yang pernah pria berkemeja biru muda itu—Binar, dengar sepanjang karirnya di perusahaan ini.
"Tapi kenapa, Pak? Apa karena kinerja saya kurang baik?" Binar bertanya lagi, meminta penjelasan yang lebih rinci.
"Bukan, Binar. Ini bukan soal kinerja kamu. Overall, kinerja kamu selama kerja di sini sudah cukup baik. Tapi masalahnya, saat ini perusahaan sedang mengalami tekanan finansial yang cukup besar, terutama karena penurunan pendapatan dan beberapa proyek yang ditunda. Jadi, kami harus melakukan lay-off untuk memastikan keberlanjutan perusahaan ke depannya. Sebagai bagian dari upaya ini, beberapa divisi mengalami pengurangan, dan sayangnya, posisi di tim kamu salah satu yang terdampak."
Binar tertegun. Kata-kata atasannya itu seolah tidak memberikan efek apapun terhadapnya sementara dirinya diam-diam merefleksikan dirinya sendiri selama tiga tahun bekerja di perusahaan ini. Barangkali ada sesuatu yang luput dari ingatannya. Sesuatu yang membuat dirinya terkena dampak lay-off besar-besaran yang sedang dilakukan oleh perusahaan ini.
Tapi nihil. Tidak dia temukan satupun fragmen di antara tumpukan memori di kepalanya yang memperlihatkan bahwa dia pernah melakukan sesuatu yang merugikan divisi maupun perusahannya. Binar berusaha mengatur napasnya. Dirinya mencoba untuk tidak meluapkan emosinya detik itu juga.
Kalau yang dikatakan atasannya tentang kinerja Binar yang tidak mengalami masalah apapun itu benar, kenapa harus dia yang terdampak PHK besar-besaran ini?
Nggak adil, pikir Binar dalam hati. Alisnya menekuk sendiri tanpa dia sadari.
"Saya tau mungkin di dalam hati, kamu sama sekali tidak setuju dengan keputusan ini. Tapi saya harus kembali menekankan bahwa keputusan yang diambil semuanya sudah melalui pertimbangan yang matang sambil memikirkan kedua belah pihak," ucap atasannya itu seakan-akan bisa membaca pikiran Binar. "Jadi saya harapkan pengertian dari kamu."
Mikirin kedua belah pihak apanya? Inimah secara nggak langsung lo malah nelantarin gue, gerutu Binar di dalam hati—tentu saja. Dia tidak mau menambah masalah yang hanya akan merugikan dirinya nanti.
"Ini beneran keputusan final Pak? Nggak ada yang bisa saya lakukan supaya bisa tetep bertahan di perusahaan ini?" tanya Binar sekali lagi, masih berusaha melakukan upaya demi mempertahankan posisinya sebagai karyawan di kantor ini.
"Sayangnya tidak ada, Binar. Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, ini adalah keputusan yang diambil setelah melalui proses pertimbangan yang matang."
Yah, apa boleh buat? Meski kemarahan hebat menguasai hatinya saat ini, otak Binar masih berfungsi untuk mengingatkannya bahwa disini, dia hanyalah seorang individu tak berpengaruh yang bisa diganti sewaktu-waktu oleh pihak perusahaan yang jelas memiliki kendali lebih besar.
"Baik. Saya mengerti, Pak. Walaupun keputusan ini sangat merugikan saya," ujar Binar sambil dengan sengaja menekankan tiga kata terakhirnya, "tapi saya paham jika ini demi kelangsungan perusahaan."
Atasannya itu terdiam sejenak sebelum menanggapi perkataan Binar barusan. "Saya benar-benar menghargai pengertian kamu. Kami akan memberikan kompensasi sesuai dengan aturan yang berlaku, termasuk pesangon dan referensi pekerjaan jika diperlukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Not for Sale [Doshin]
FanfictionBinar--si Malang yang menanggung kenyataan pahit dengan segenap jiwa dan raganya, bertemu dengan Gilang--si Mujur yang punya segalanya yang materiil di dalam hidupnya kecuali cinta sejati. Di tengah-tengah segala kemalangan yang terus menerus mener...