BAB 1- Awal Dari Sebuah Kehancuran

78 19 5
                                    

Di kaki gunung yang diselimuti kabut, terdapat sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh hutan lebat. Bagi penduduknya, hutan itu bukan sekadar hamparan pohon dan tanah yang luas. Hutan adalah sumber kehidupan. Dari sanalah air bersih mengalir, hewan-hewan liar berkeliaran, dan buah-buahan liar tumbuh dengan subur. Desa itu mungkin kecil, tetapi terasa seolah-olah dipeluk oleh alam yang melimpah.

Ardi, pemuda desa yang tumbuh besar di bawah bayangan pepohonan tinggi, selalu merasa damai ketika berada di dalam hutan. Sejak kecil, ia suka berlari-lari di antara pepohonan, mendengar suara dedaunan yang bergesekan ditiup angin, dan mendengarkan alunan nyanyian burung-burung yang tinggal di sana. Hutan adalah rumah keduanya, tempat ia merasakan kedamaian yang tidak bisa ia temukan di tempat lain.

Suatu sore, Ardi duduk di tepi sungai kecil yang mengalir jernih di tengah hutan. Suara gemericik air seolah berbisik padanya, membawa cerita-cerita lama tentang keseimbangan alam. Di atas batu besar, ia memandang ke arah pepohonan yang menjulang tinggi, seolah melindungi desa dari apa pun yang datang dari luar. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Sudah beberapa minggu terakhir ini, Ardi sering mendengar desas-desus di desa tentang sebuah perusahaan besar yang akan masuk untuk membuka lahan hutan. Mereka akan menebang pohon-pohon tua dan menggali tanah untuk mengambil sumber daya yang katanya akan membawa kemajuan bagi desa.

“Bagaimana bisa mereka menghancurkan sesuatu yang begitu berharga bagi kita?” gumam Ardi, menendang kerikil kecil ke dalam sungai.

Tidak lama setelah itu, kabar tersebut menjadi kenyataan. Beberapa truk besar mulai datang ke desa. Mereka membawa alat berat yang akan memulai penebangan hutan. Penduduk desa terpecah. Sebagian dari mereka merasa ini adalah peluang besar. Perusahaan itu menawarkan pekerjaan dengan upah yang lebih baik daripada bertani. Bagi mereka, ini adalah jalan keluar dari kemiskinan yang selama ini mencekik. Namun, Ardi tidak setuju.

“Kalian tidak tahu apa yang kalian pertaruhkan,” kata Ardi suatu malam saat berkumpul dengan para pemuda desa. “Hutan ini adalah nyawa kita. Jika kita merusaknya, kita tidak akan mendapatkan apa-apa selain kehancuran.”

Namun, suara Ardi tenggelam dalam perdebatan. Sebagian besar penduduk desa sudah tergiur oleh janji-janji kemajuan. Mereka tidak lagi mendengarkan nasihat tetua atau mereka yang masih peduli pada hutan. Mereka hanya memikirkan hari esok yang lebih mudah, tanpa harus bekerja keras di sawah atau kebun.

Esok harinya, suara gergaji mesin mulai terdengar. Ardi yang sedang berjalan di tepi hutan merasakan getaran di tanah. Pohon-pohon tua yang sudah berabad-abad berdiri kini roboh satu per satu. Hutan yang dulu rimbun dan penuh kehidupan kini mulai berubah menjadi lahan kosong, ditinggalkan dalam keheningan yang menyakitkan.

Ardi berdiri mematung di tepi hutan, memandang pohon-pohon yang telah tumbang. Ada rasa kehilangan yang dalam di hatinya. Bukan hanya karena hutan itu adalah tempat bermainnya saat kecil, tetapi juga karena ia tahu, dengan hilangnya hutan, maka hilang pula keseimbangan yang menjaga desanya tetap aman.

"Kita harus menghentikan ini," bisik Ardi pada dirinya sendiri, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa menghentikan sesuatu yang sudah berjalan tidak semudah itu.

Malam itu, hujan turun dengan deras. Ardi berdiri di jendela rumahnya, memandangi tetesan air yang mengalir di kaca. Ada perasaan ganjil yang menyelimuti dirinya. Sungai yang biasanya jernih mulai berubah menjadi keruh, airnya membawa tanah dari lereng gunung yang kini mulai tergerus. Ia mendengar suara gemuruh yang aneh, dan firasat buruk menghantui pikirannya.

Di kejauhan, dari arah gunung, terdengar suara retakan yang semakin keras. Ardi berlari keluar, menerobos hujan. Saat ia sampai di tepi desa, matanya membelalak. Sebuah longsoran besar meluncur dari puncak gunung, membawa tanah, batu, dan pepohonan yang tersisa. Longsor itu bergerak cepat, menghancurkan apa pun yang ada di jalannya.

“Longsor! Longsor!” teriak Ardi sekuat tenaga. Ia berlari dari rumah ke rumah, memperingatkan penduduk desa untuk menyelamatkan diri. Orang-orang berhamburan keluar, berlari menuju tempat yang lebih tinggi. Namun, tidak semua berhasil melarikan diri. Sebagian rumah yang berada di tepi sungai tertelan oleh longsoran tanah yang terus bergerak.

Saat pagi tiba, desa yang dulu damai dan asri kini berubah menjadi puing-puing. Sungai yang biasanya mengalir jernih berubah menjadi arus lumpur cokelat yang mengerikan. Banyak rumah yang hancur, dan beberapa penduduk desa hilang dalam bencana itu. Hutan yang dulu menjadi pelindung kini hilang, digantikan oleh lahan kosong yang gersang.

Ardi berdiri di tepi sungai, matanya kosong menatap kerusakan di sekelilingnya. Hatinya hancur, mengetahui bahwa semua ini bisa dicegah jika saja mereka mendengarkan peringatan alam. Namun, penyesalan selalu datang terlambat.

Di kejauhan, matahari mulai terbit, menyinari reruntuhan desa dan sisa-sisa hutan yang pernah menjadi rumah bagi begitu banyak kehidupan. Hutan itu telah memberikan segalanya bagi desa, tetapi ketika manusia mengkhianatinya, ia tak punya pilihan selain merenggut kembali apa yang telah diberikan.

Ardi menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Meski semuanya tampak hancur, ia tahu bahwa alam selalu punya cara untuk pulih. Namun, pertanyaannya kini, apakah manusia siap untuk belajar dari kesalahan mereka?

Hutan di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang