Hari-hari berlalu, dan semangat warga desa mulai bangkit. Ardi, bersama beberapa pemuda yang bergabung, menjadikan menanam pohon sebagai kegiatan rutin. Mereka berkumpul setiap sore setelah bekerja di ladang, membawa biji-bijian dan alat sederhana untuk menanam. Meski tidak semua penduduk desa terlibat, perlahan-lahan, berita tentang upaya mereka menyebar. Beberapa orang mulai menaruh perhatian, dan semakin banyak yang ikut serta.
Setiap pohon yang mereka tanam menjadi simbol harapan baru. Ardi dan teman-temannya bekerja keras, tak hanya menanam, tetapi juga mendidik warga desa tentang pentingnya menjaga lingkungan. Mereka menjelaskan bahwa hutan adalah kunci untuk mendapatkan kembali air bersih dan mencegah bencana seperti longsor di masa depan. Perlahan, kesadaran mulai tumbuh di antara mereka.
Suatu sore, saat mereka sedang menanam pohon di lahan kosong, Ardi melihat seorang wanita paruh baya mendekat. Dia adalah Bu Tuti, salah satu warga yang paling skeptis terhadap usaha mereka. Ardi merasa sedikit cemas saat Bu Tuti menghampirinya.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Bu Tuti, nada suaranya masih terdengar skeptis.
"Kami sedang menanam pohon, Bu. Kami ingin mengembalikan hutan yang hilang," jawab Ardi, berusaha terdengar percaya diri.
Bu Tuti mengerutkan kening, lalu melihat sekeliling. "Tapi bagaimana kalau perusahaan itu datang lagi? Apa yang akan kalian lakukan?"
Ardi menatapnya dengan penuh harapan. "Kami akan melawannya, Bu. Kami tidak bisa hanya diam dan membiarkan mereka merusak alam kita lebih jauh. Kami percaya, jika kita semua bersatu, kita bisa menghentikan mereka."
Kata-kata Ardi membuat Bu Tuti terdiam. Akhirnya, dia mengangguk pelan. "Baiklah, saya akan membantu. Jika hutan ini bisa menyelamatkan anak-anak kita, maka saya ingin menjadi bagian dari itu."
Ardi merasa lega dan bahagia. Jika Bu Tuti mau membantu, maka kemungkinan untuk melibatkan lebih banyak orang semakin besar. Sejak saat itu, Bu Tuti menjadi salah satu penggerak utama dalam gerakan menanam pohon. Dia mengajak tetangga-tetangganya untuk bergabung, dan perlahan-lahan, semangat komunitas mulai tumbuh.
Namun, di balik kebangkitan harapan itu, ancaman dari perusahaan tetap menghantui. Beberapa minggu setelah pertemuan dengan Bu Tuti, sebuah surat dari perusahaan datang ke desa. Surat itu menyatakan niat mereka untuk melanjutkan proyek penebangan dengan kekuatan hukum. Mereka mengklaim bahwa tanah itu milik mereka dan semua aktivitas penanaman yang dilakukan warga dianggap ilegal.
Ardi dan warga desa yang lain berkumpul untuk membahas masalah ini. Suasana di dalam ruangan terasa tegang. Beberapa orang mulai ragu, takut akan ancaman hukum yang mungkin mereka hadapi.
"Jika kita terus melawan, kita mungkin akan kehilangan lebih banyak lagi," ujar salah satu pemuda, nada suaranya penuh keraguan.
"Bukan saatnya mundur!" potong Ardi. "Ini adalah rumah kita. Kita tidak bisa membiarkan mereka merusak hutan dan desa kita. Kita harus bersatu dan melawan. Kita memiliki hak untuk melindungi lingkungan kita!"
Sebagian besar warga mulai berbisik, tetapi perlahan mereka mulai mengangguk. Ardi merasakan semangat mereka kembali bangkit. Dalam hati, ia tahu bahwa ini bukan hanya tentang mereka, tetapi juga tentang generasi mendatang.
Mereka sepakat untuk membuat rencana. Ardi dan Bu Tuti memimpin tim kecil untuk melakukan penggalangan suara, mengumpulkan tanda tangan dari warga desa. Mereka juga berencana mengadakan rapat dengan lembaga lingkungan hidup untuk mendapatkan dukungan. Meskipun ancaman perusahaan membayangi, semangat mereka tidak bisa dipadamkan.
Malam itu, Ardi berdiri di depan jendela rumahnya, memandang ke arah hutan yang masih tersisa. Dia merasa seperti ada cahaya di ujung terowongan gelap, harapan yang tidak mau padam. Namun, dia tahu pertempuran ini baru dimulai, dan banyak tantangan yang harus dihadapi.
Keesokan harinya, Ardi dan timnya mulai bergerak. Mereka mendatangi rumah-rumah di desa, menjelaskan situasi yang mereka hadapi. Beberapa orang awalnya ragu, tetapi melihat ketulusan dan semangat di wajah Ardi, mereka pun akhirnya mau ikut serta. Secara perlahan, lebih banyak warga yang berani menandatangani petisi tersebut.
Satu minggu setelah penggalangan suara, Ardi menerima kabar baik. Lembaga lingkungan hidup setuju untuk membantu mereka. Mereka berjanji akan mendampingi desa dalam menghadapi perusahaan dan membantu menyampaikan suara mereka. Ardi merasa bersemangat. Mereka bukan hanya melawan untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk semua makhluk hidup yang bergantung pada hutan.
Namun, saat harapan semakin mendekat, ancaman dari perusahaan semakin terasa. Mereka mulai mengerahkan orang-orang untuk menakut-nakuti warga desa. Beberapa pemuda yang terlibat dalam gerakan mereka mendapatkan intimidasi. Ardi tahu bahwa situasi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hutan di Ujung Senja
NouvellesKategori: lingkungan/ekologi Di sebuah desa yang terancam oleh perusahaan besar yang ingin merusak hutan mereka demi keuntungan, Ardi, seorang pemuda penuh semangat, berjuang untuk menyelamatkan rumahnya dan lingkungan yang dicintainya. Dengan bantu...