BAB 2- Jejak di Tanah Gersang

57 18 0
                                    

Satu minggu berlalu sejak bencana longsor menghancurkan desa. Warga yang selamat mulai membangun kembali kehidupan mereka, meskipun dengan hati yang berat. Beberapa rumah baru mulai berdiri dengan sederhana, dibuat dari sisa-sisa kayu yang berhasil diselamatkan. Namun, tak ada lagi keceriaan di desa itu. Mereka yang dulu berharap pada kemajuan yang dijanjikan perusahaan kini dihantui oleh bayangan penyesalan. Hutan yang dulu memberi naungan kini hanya tinggal kenangan.

Ardi, yang selama ini menjadi suara perlawanan terhadap penebangan hutan, merasa semakin terasing. Setiap kali ia keluar dari rumah, orang-orang menatapnya dengan pandangan penuh rasa bersalah. Mereka tahu, dalam diam, Ardi benar. Namun, pengakuan itu datang terlambat, ketika hutan telah tiada dan kerusakan telah terjadi.

Ardi menghabiskan hari-harinya berjalan di tepian desa, menatap hamparan tanah gersang di tempat hutan dulu berdiri. Pepohonan raksasa yang dulunya menaungi desa kini telah tiada, digantikan dengan lahan kosong penuh akar yang tercabut. Suara-suara burung yang dulu menyemarakkan hutan hilang, digantikan oleh suara angin yang membawa debu dan bau tanah yang kering.

Sore itu, Ardi memutuskan untuk pergi lebih jauh, menuju ke arah gunung. Di sana, di dataran yang lebih tinggi, masih ada sisa-sisa hutan yang belum tersentuh gergaji mesin. Langkahnya terasa berat, tetapi pikirannya penuh dengan rencana. Meski desa sudah hancur, Ardi yakin hutan masih bisa diselamatkan, meskipun hanya sebagian kecil.

Saat Ardi mendekati kaki gunung, ia mendengar suara berderak dari balik pepohonan. Ia menghentikan langkahnya dan mendengarkan lebih seksama. Di balik semak-semak, ia melihat seekor rusa kecil yang terluka, terjebak di antara ranting-ranting patah. Hewan itu tampak panik, berusaha melepaskan diri tetapi malah semakin terjerat. Dengan hati-hati, Ardi mendekat, berusaha untuk tidak menakuti rusa tersebut.

“Tenang… Aku tidak akan menyakitimu,” bisiknya.

Dengan lembut, Ardi mengangkat ranting-ranting yang menghalangi kaki rusa itu. Hewan itu tampak ragu-ragu pada awalnya, tetapi akhirnya, setelah terbebas, rusa itu berlari ke dalam hutan, meninggalkan jejak samar di tanah. Ardi berdiri diam sejenak, melihat ke arah rusa itu pergi. Hewan itu seolah menjadi simbol dari alam yang masih berusaha bertahan, meski disakiti berkali-kali oleh tangan manusia.

Ardi duduk di atas batu besar, menatap langit yang mulai memerah di ujung senja. Saat itulah, sebuah gagasan muncul dalam benaknya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa hanya diam menyaksikan kehancuran ini terus terjadi. Tetapi apa yang bisa dilakukan seorang diri?

Keesokan harinya, Ardi memutuskan untuk pergi ke rumah Pak Wiryo, salah satu tetua desa yang juga dulu menentang masuknya perusahaan. Pak Wiryo dikenal sebagai orang yang bijak dan penuh pengalaman, namun belakangan ini ia lebih banyak berdiam diri di rumah, terpukul oleh kenyataan yang mereka hadapi. Ardi merasa ia butuh bimbingan orang yang lebih tua untuk mencari solusi.

Saat sampai di rumah Pak Wiryo, Ardi menemukan lelaki tua itu duduk di serambi rumah, menatap hamparan desa yang telah rusak. Di sebelahnya, sebuah tongkat kayu, bekas dari hutan yang dulu, bersandar.

“Ardi, aku tahu kau akan datang,” kata Pak Wiryo tanpa menoleh. “Kau pasti memikirkan sesuatu.”

Ardi mengangguk pelan, duduk di sebelahnya. “Saya tidak bisa hanya diam, Pak. Hutan ini adalah bagian dari kita, dan sekarang hampir semuanya hilang. Apa yang harus kita lakukan?”

Pak Wiryo menghela napas panjang, matanya menerawang jauh ke arah pepohonan yang tersisa. “Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Namun, bukan berarti kita harus menyerah. Hutan selalu punya cara untuk pulih, tapi kali ini, ia butuh bantuan kita. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah menanam kembali apa yang sudah kita rusak.”

“Tapi, Pak, bagaimana mungkin? Warga desa sekarang sudah tidak lagi percaya bahwa hutan adalah bagian dari kehidupan mereka. Mereka hanya memikirkan cara bertahan hidup setelah bencana ini.”

Pak Wiryo tersenyum samar. “Mereka akan mengerti, lambat laun. Alam tidak pernah berhenti memberi pelajaran. Kita harus mulai dengan sedikit demi sedikit. Lakukan yang kita bisa, mulai dari menanam pohon. Kumpulkan benih-benih dari hutan yang masih tersisa, dan ajak mereka yang mau peduli. Alam akan memaafkan, jika kita benar-benar berniat memperbaikinya.”

Kata-kata Pak Wiryo memberi Ardi kekuatan baru. Ia tahu bahwa jalannya tidak akan mudah, tetapi ini adalah satu-satunya cara. Malam itu, Ardi tidak bisa tidur. Pikirannya penuh dengan rencana—rencana untuk menumbuhkan kembali kehidupan di tanah yang mati. Ia tahu ini akan memakan waktu bertahun-tahun, bahkan mungkin puluhan tahun, tetapi ia yakin bahwa harapan masih ada.

Keesokan paginya, Ardi memulai misinya. Ia berjalan menuju hutan yang tersisa di lereng gunung, mengumpulkan biji-biji pohon, serta memeriksa kondisi tanah di sekitar desa. Ia memulai dari apa yang bisa ia lakukan—menanam satu pohon di tepi desa. Tak ada yang melihat apa yang ia lakukan hari itu, tak ada yang membantu. Namun, Ardi tak peduli. Ia tahu, perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil.

Beberapa hari kemudian, perlahan-lahan beberapa warga mulai memperhatikan apa yang dilakukan Ardi. Meski awalnya skeptis, sebagian dari mereka yang masih peduli pada hutan mulai mengikuti langkahnya. Mereka mulai menanam pohon di lahan kosong, satu per satu, dengan harapan kecil bahwa suatu hari hutan itu akan kembali seperti sedia kala.

Namun, di balik semangat itu, ancaman baru mulai muncul. Perusahaan yang dulu menebang hutan kembali datang, kali ini dengan rencana yang lebih besar dan lebih ambisius. Ardi tahu, perlawanan baru sedang menunggu di depan mata.

Hutan di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang