Detik-detik setelah penemuan mayat Rendi terasa seperti mimpi buruk yang bergerak sangat lambat. Siena masih bisa merasakan jeritan pertamanya menggema di dinding-dinding vila, memantul kembali seperti pengingat mengerikan bahwa ini semua nyata.
Lia berlutut di samping tubuh Rendi, sarung tangan karet yang dia ambil dari tasnya berkilau di bawah cahaya lampu. Tangannya yang terlatih bergerak memeriksa jasad temannya, sementara matanya yang tajam mencari detail-detail yang mungkin terlewat oleh yang lain. "Kematiannya terjadi sekitar satu jam yang lalu," dia mengumumkan, suaranya profesional meski sedikit bergetar. "Tepat saat mati lampu."
"Satu tusukan, tepat ke jantung," Lia melanjutkan, jemarinya yang terbungkus sarung karet menelusuri pinggiran luka. "Pelakunya tahu apa yang dia lakukan, ini jelas pembunuhan."
Siena mengamati sekeliling kamar 207—kamarnya sendiri, kini telah berubah menjadi TKP. Gunting perak yang tertancap di dada Rendi adalah miliknya, fakta yang membuat perutnya terasa mual. Kenapa kamarnya? Kenapa guntingnya?
"Ini pasti bercanda," Farah berbisik dari ambang pintu, ponsel mahalnya tergenggam erat di tangan yang gemetar. "Kita kesini untuk reuni, for God's sake! Bukan untuk... untuk..." Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
Dimas berdiri di dekat jendela, matanya menatap kosong ke arah badai di luar. Petir menyambar, sekilas menerangi wajahnya yang pucat. "Telepon satelit rusak," dia mengumumkan dengan suara datar.
"Apa?" Bagas melangkah maju, dahinya berkerut dalam. "Kenapa baru beritahu sekarang?"
"Aku pikir itu hanya kerusakan biasa," Dimas menjawab defensif. "Tidak terpikirkan bahwa..."
"Bahwa salah satu dari kita akan mati?" Anisa memotong, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Atau bahwa salah satu dari kita adalah pembunuh?"
Keheningan yang menyusul terasa mencekam, seakan-akan udara di ruangan itu menjadi semakin berat. Tulisan dengan lipstik merah di cermin seberang tempat tidur seolah mengejek mereka.
"Surat di tangan Rendi," kata Lia tiba-tiba. Dengan hati-hati, dia melepaskan kertas itu dari genggaman Rendi yang kaku.
"Kau ingat apa yang kau lakukan padanya? Sekarang giliranmu merasakan keputusasaan yang sama."
"Maya," bisik Yuli, nama itu terasa berat dan getir di udara. "Ini tentang Maya, kan?"
Keheningan kembali menggantung di ruangan. Lima belas tahun yang lalu, nama itu adalah rahasia gelap yang mereka simpan rapat-rapat. Namun kini, nama itu kembali menghantui mereka, bagaikan kutukan yang tak bisa mereka elakkan.
"Tapi itu kan sudah lama sekali," Farah berusaha membela diri, suaranya bergetar. "Kita masih anak-anak waktu itu., kita tidak mengerti..."
"Tidak mengerti?" Alvin mendengus, matanya berkilat berbahaya. "Kalian semua sangat mengerti apa yang kalian lakukan."
"Alvin," Dimas memperingatkan, "jangan mulai—"
"Mulai apa, Dimas?" Alvin memotong, melangkah maju. "Membongkar kebenaran? Bukankah itu yang kita semua takutkan? Bahwa suatu hari, semua kebusukan kita akan terungkap?"
"Cukup!" Anisa mengangkat tangannya, suaranya tenang tapi mengandung otoritas. "Kita tidak bisa membiarkan emosi menguasai kita. Sebagai psikolog, aku bisa katakan bahwa ini hal yang diinginkan pembunuhnya—membuat kita saling mencurigai, dan saling menyalahkan."
Siena memperhatikan bagaimana Anisa dengan mudah mengambil kendali situasi.
"Anisa benar," Siena akhirnya bersuara. "Kita perlu berpikir jernih. Pertama, kita perlu memastikan tidak ada lagi yang terbunuh malam ini."
"Bagaimana caranya?" Rizal bertanya skeptis. "Kita bahkan tidak tahu siapa pembunuhnya."
"Tapi kita tahu polanya," Siena menjelaskan sambil mengeluarkan notes kecil. "Pembunuhan ini direncanakan dengan sangat detail. Gunting yang digunakan adalah milikku, yang kusimpan di laci. Artinya pembunuh punya akses ke kamarku sebelumnya."
"Atau mungkin," Bagas menatap Siena tajam, "ini caramu membuat alibi?"
Tuduhan itu membuat ruangan kembali hening. Siena bisa merasakan tatapan-tatapan curiga mulai mengarah padanya.
"Think about it," Bagas melanjutkan. "Kamarmu, guntingmu... terlalu sempurna untuk kebetulan, bukan?"
"Atau justru terlalu sempurna untuk jadi motif yang masuk akal," Anisa menimpali, masih dengan senyum misteriusnya. "Pembunuh yang cerdas tidak akan meninggalkan jejak semudah itu. Ini lebih seperti seseorang yang ingin Siena terlihat bersalah."
Siena menangkap kilatan aneh di mata Anisa saat mengucapkan kata-kata itu. Apakah dia sedang membantunya?
"Apa yang harus kita lakukan?" Farah bertanya, suaranya nyaris berbisik.
"Kita berkumpul di ruang tengah," Siena memutuskan. "Tidak ada yang boleh sendirian. Minimal tiga orang dalam satu kelompok. Dan kita perlu membuat daftar—siapa saja yang punya kesempatan dan motif."
Satu per satu, mereka mulai bergerak keluar dari kamar, membentuk kelompok-kelompok kecil sesuai arahan Siena. Tapi di mata mereka, ketakutan dan kecurigaan mulai tumbuh seperti kanker yang ganas. Setiap gerakan diawasi, setiap kata-kata dianalisis.
Karena di antara mereka, seseorang telah memutuskan untuk membalaskan dendam masa lalu. Dan Rendi adalah korban pertama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whisper On The Isle
Mystery / Thriller23 orang diundang ke sebuah reuni eksklusif di pulau pribadi. Kemewahan. Nostalgia. Dan satu rahasia gelap yang tak pernah terungkap. Ketika badai mengurung mereka di pulau, masa lalu yang terkubur mulai menyeruak ke permukaan. Satu per satu, mereka...