Bagian 7: Bayang-bayang Tuan Rumah

12 5 0
                                    


Pagi yang kelabu merayap perlahan di vila megah itu, seolah enggan memulai hari. Kabut tebal menyelimuti pulau bagai tirai asap, mengaburkan batas antara daratan dan lautan yang mengurung mereka. Udara terasa berat dan lembap, membuat setiap tarikan napas terasa seperti usaha yang melelahkan.

Di ruang makan yang mewah, suasana mencekam menggantung bagai pisau di atas kepala. Beberapa dari mereka telah berkumpul, duduk berdekatan di sekitar meja panjang yang dingin. Cangkir-cangkir kopi beruap tipis-diseduh tanpa niat, diminum tanpa rasa. Tak ada yang menyentuh makanan di piring. Tatapan mereka kosong, penuh dengan pikiran yang menghantui sejak malam yang kelam itu.

"Apakah kau yakin tidak ada jalan keluar lain?" Farah memecah keheningan, suaranya bergetar menahan ketakutan. "Kita tidak bisa terus menunggu di sini. Pembunuh itu... dia bisa menyerang lagi."

Dimas berdiri di dekat jendela, punggungnya tegak namun tegang. Dia berbalik perlahan, wajahnya menampakkan campuran kelelahan dan amarah yang terpendam. "Kita terisolasi," jawabnya datar. "Telepon satelit rusak, tidak ada cara untuk menghubungi kapal. Kita harus menunggu

"Menunggu?" Alvin menyela tajam dari ujung meja. "Menunggu sampai satu lagi dari kita ditemukan tewas seperti Rendi?"

Hening sejenak. Udara seakan membeku.

Kau yang mengundang kami ke sini," lanjut Alvin, suaranya tenang namun menusuk. "Kau yang mengatur semuanya. Bukankah ini semua berada di bawah kendalimu, Dimas?"

Keheningan panjang kembali menyelimuti ruangan. Siena, yang duduk tak jauh dari Alvin, merasakan hawa berubah. Pertanyaan itu, meski diucapkan dengan tenang, namun membawa tuduhan yang tak bisa diabaikan. Dimas menatap Alvin dengan sorot mata yang tiba-tiba menyipit, seakan berusaha menahan sesuatu yang hendak meledak.

"Apa maksudmu?" tanya Dimas, suaranya kini penuh ketegangan yang nyaris meledak.

"Maksudku sederhana," Alvin balas tanpa mengedipkan mata. "Kau yang membawa kami ke sini. Kau yang mengatur reuni ini di pulau terpencilmu. Kau tahu tidak ada yang bisa meninggalkan tempat ini, dan sekarang, satu dari kami sudah mati. Kau punya kendali penuh atas semuanya-kau tuan rumah."

Rizal, yang sejak tadi terdiam di sisi meja, menambahkan, "Alvin ada benarnya, Dimas. Kau yang memiliki kuasa penuh di sini. Kau yang memanggil kami, dan memilih tempat ini. Sekarang kita terjebak."

Wajah Dimas memucat. Dia memandang sekeliling meja, dari satu wajah ke wajah lain, seakan mencari dukungan, namun hanya menemukan kecurigaan. "Kalian serius menuduhku? Membunuh Rendi? Dia sahabatku!" Suaranya kini nyaris terguncang.

"Sahabat?" Siena akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun penuh perhitungan. "Dimas, kau terlibat dalam perundungan Maya. Rasa bersalah... atau mungkin amarah, bisa mendorong seseorang melakukan hal-hal di luar dugaan

Dimas menatap Siena dengan kemarahan yang jelas terpancar di matanya. "Kau tidak mengerti! Semua yang terjadi dulu adalah kesalahan kita semua, bukan hanya aku. Aku tidak akan pernah... aku tidak seperti itu."

"Tapi kau orang yang punya kendali penuh di sini," Alvin berkata lagi, nadanya tetap tenang, namun setiap kata terasa seperti pisau yang dihunus perlahan. "Telepon rusak, kapal tidak bisa datang... Semua akses keluar sudah tertutup."

"Jangan bicara seolah kau tahu segalanya!" Dimas mendesis, amarahnya nyaris meledak.

Farah, yang duduk di sudut, akhirnya angkat bicara dengan suara gemetar. "Dimas, kau yang paling tahu tentang tempat ini. Kau yang memilihnya. Jika ada yang bisa mengatur semuanya, itu pasti kau."

Mata Dimas berkilat. "Kalian tidak tahu apa yang kalian bicarakan," jawabnya dengan getir. "Aku membawa kalian ke sini untuk reuni, bukan untuk... ini. Telepon itu rusak karena cuaca buruk, bukan karena aku. Kau serius menuduhku sebagai pembunuh?"

Namun, keraguan mulai tumbuh di wajah-wajah di sekitarnya. Setiap orang yang mendengarkan mulai melihat Dimas dalam cahaya baru. Siena memperhatikan tangan Dimas yang gemetar ketika dia menyeka dahinya. Sesuatu mengganggu pria itu-sesuatu yang mungkin dia sembunyikan.

"Maafkan Aku, seharusnya aku memberitahu telepon itu rusak sejak kemarin sore. Tapi aku tidak ingin membuat kalian panik."

"Aku berpikir... kita akan baik-baik saja," Dimas melanjutkan, kali ini lebih lemah. "Hanya sampai cuaca membaik. Itu saja."

"Tapi kau tidak tahu," Yuli berbisik, matanya beralih dari wajah Dimas ke Alvin, lalu ke Siena. "Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi."

"Jadi sekarang apa?" tanya Rizal lagi, suaranya lebih tajam dari sebelumnya. "Kita diam disini dan menunggu siapa yang akan mati berikutnya?"

Siena mengamati Dimas dengan seksama. Dia tahu bahwa kecurigaan bisa menjadi senjata paling berbahaya, apalagi dalam situasi seperti ini. Tuan rumah yang seharusnya menjadi pelindung kini menjadi pusat perhatian yang tidak diinginkan-terpojok, disudutkan, dan terselubung dalam bayangan.

Whisper On The IsleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang