Siena menatap sebuah amplop putih di tangannya. Amplop itu tergeletak di kotak posnya sejak pagi, tapi entah mengapa ia menunggu hingga malam untuk membukanya. Mungkin karena nama pengirimnya: Dimas Prasetyo.
Sudah berapa lama ia tidak mendengar nama itu?
"Reuni SMP," gumamnya sambil mengeluarkan kartu undangan berwarna gading dari dalam amplop. Jemarinya yang lentik menelusuri huruf-huruf keemasan yang tercetak rapi di atasnya.
Untuk merayakan 25 tahun kelulusan kita, dengan bangga saya mengundang Anda ke Pulau Emerald untuk sebuah akhir pekan yang tak terlupakan.
Siena mendengus. Tentu saja Dimas akan mengadakan reuni di pulau pribadinya. Dia selalu suka pamer, bahkan sejak SMP dulu.
Matanya terhenti pada daftar nama yang akan hadir. Dua puluh tiga orang. Hampir semua teman sekelasnya dulu. Siena mengambil secangkir kopi dari meja, menghirupnya perlahan sambil membaca nama-nama itu satu per satu.
Ada satu nama yang tidak ada dalam daftar itu. Maya.
Cangkir kopi di tangan Siena bergetar, kenapa tiba-tiba ia teringat Maya? Sudah bertahun-tahun tidak ada yang membicarakan anak itu. Maya yang pendiam, Maya yang selalu duduk di pojok kelas, Maya yang...
Siena menggelengkan kepala, mengusir ingatan yang tiba-tiba muncul. Tidak, ia tidak mau mengingat hari itu. Tidak ada yang mau mengingatnya. Lagipula, itu kan bukan salah mereka. Mereka masih anak-anak, tidak mengerti apa yang mereka lakukan.
Di luar, petir menyambar, membuat lampu apartemennya berkedip sejenak. Siena berjalan ke jendela, menatap kota Jakarta yang basah. Sebagai jurnalis investigatif, ia terbiasa mencium hal-hal yang tidak beres. Dan entah mengapa, undangan ini membuatnya gelisah.
Ponselnya berbunyi, memecah keheningan. Nomor tidak dikenal.
"Halo?"
"Siena? Ini Dimas."
Suara itu terdengar berbeda dari yang ia ingat. Lebih dalam, lebih... dewasa. Tentu saja. Mereka semua sudah dewasa sekarang.
"Ah, Dimas. Aku baru saja membaca undanganmu."
"Kau akan datang kan? Hampir semua sudah konfirmasi hadir."
Siena terdiam sejenak. Di kepalanya berkelebat bayangan-bayangan masa lalu. Tawa-tawa di koridor sekolah. Bisik-bisik di belakang kelas. Suara tangisan dari ruang musik...
"Siena?"
"Ya," jawabnya cepat. Terlalu cepat. "Ya, aku akan datang."
"Bagus!" Suara Dimas terdengar gembira. "Kau tahu, kadang aku merindukan masa-masa itu. Saat kita masih polos, masih..."
"Masih tidak tahu apa-apa?" Siena menyelesaikan kalimatnya.
Hening sejenak.
"Ya," kata Dimas akhirnya. "Saat kita masih tidak tahu apa-apa."
Setelah telepon ditutup, Siena kembali menatap undangan di tangannya.
Layar laptopnya masih menyala, menampilkan artikel investigasi terbarunya tentang kasus pembunuhan berantai. Siena terkenal karena instingnya yang tajam dalam membongkar misteri. Tapi entah mengapa, instingnya kali ini membuatnya tidak nyaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whisper On The Isle
Misterio / Suspenso23 orang diundang ke sebuah reuni eksklusif di pulau pribadi. Kemewahan. Nostalgia. Dan satu rahasia gelap yang tak pernah terungkap. Ketika badai mengurung mereka di pulau, masa lalu yang terkubur mulai menyeruak ke permukaan. Satu per satu, mereka...