"Seringkali, hal terbaik dalam hidup datang dari hal-hal yang tidak kita rencanakan."
Hujan deras mengguyur atap rumah Nura, menciptakan melodi ritmis yang menyentuh perasaan. Ia duduk di sofa empuk di ruang tamunya, dikelilingi oleh tumpukan buku yang belum sempat dibaca dan secangkir teh hangat yang sudah mendingin. Dalam hening yang nyaman itu, pikirannya melayang jauh ke masa lalu, ke saat-saat ketika cinta masih terasa manis dan penuh harapan.
Nura adalah wanita berusia dua puluh dua tahun dengan penampilan yang tak bisa dianggap remeh. Kulitnya yang cerah dipadukan dengan rambut hitam panjang yang sering ia ikat ke belakang. Namun, di balik kecantikan itu, ada kisah yang tidak terlihat—sebuah luka yang terus menggores hati dan jiwanya. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan berakhir seperti ini: sendiri dan lelah.
Sejak remaja, Nura percaya pada cinta. Ia menghabiskan malam-malamnya dengan membaca novel romantis dan membayangkan pertemuan indah dengan pria idamannya. Namun, semua harapannya hancur ketika ia bertemu dengan Rian, pria yang dulunya ia anggap sebagai soulmate-nya. Rian adalah sosok yang mempesona, dengan senyum menawan dan karisma yang mampu menarik perhatian siapa saja. Namun, seiring berjalannya waktu, Rian menunjukkan sisi lain yang jauh dari harapannya. Kebohongan dan pengkhianatan menjadi bumbu sehari-hari dalam hubungan mereka, hingga akhirnya Nura memutuskan untuk pergi.
Setelah perpisahan itu, hidup Nura berubah. Dia bekerja keras di perusahaan tempatnya bekerja sebagai desainer interior. Pekerjaan adalah pelarian terbaiknya dari rasa sakit yang ia rasakan. Di balik layar komputer, Nura menciptakan dunia baru yang penuh warna dan keindahan. Namun, ketika hari beranjak malam dan sunyi menyelimuti rumahnya, kesepian kembali menghantuinya.
Ia menatap ke luar jendela, melihat hujan yang tak kunjung reda. Suara gemuruh di kejauhan mengingatkannya pada malam-malam panjang yang ia lalui, terbangun oleh pikiran-pikiran tentang Rian. Saat itu, ia merasa terjebak dalam siklus kepedihan yang tidak ada habisnya. Nura berusaha mengalihkan pikirannya dengan menyibukkan diri, tetapi setiap detik di malam sepi itu, kenangan-kenangan manis dan pahit akan cinta yang hilang kerap menghantuinya.
Dengan berat hati, ia mengambil ponselnya dan membuka galeri foto. Ia tidak bisa menahan senyum saat melihat foto-foto lamanya bersama Rian. Ada momen-momen indah, tawa yang menular, dan pandangan penuh cinta. Namun, semua itu kini hanya menjadi bayangan kelabu. Nura menyimpan foto-foto itu di folder terpisah, berharap suatu saat bisa melupakan semuanya.
“Cinta itu bukan untukku,” gumamnya pelan, seolah menghibur diri sendiri. Ia memutuskan untuk mematikan ponselnya dan meletakkannya jauh-jauh. Hari-hari ini, ia lebih memilih menjauh dari hubungan romantis dan fokus pada diri sendiri. “Aku harus lebih mencintai diriku sendiri sebelum mencintai orang lain,” ucapnya dengan keyakinan.
Di tengah kesunyian rumahnya, suara ketukan pintu mengejutkan Nura. Dengan hati-hati, ia bangkit dan membuka pintu. Ternyata itu adalah sahabatnya, Sari, yang datang berkunjung dengan wajah ceria meski hujan deras di luar.
"Nura! Kamu di rumah?" Sari melangkah masuk, membawa bau khas kopi yang mengundang selera. "Aku bawa kopi panas! Kita harus merayakan hidupmu yang kembali normal setelah Rian."
Nura tersenyum. "Hidupku belum sepenuhnya normal, Sari. Tapi, terima kasih. Aku butuh ini."
Sari adalah sosok yang selalu mendukung Nura dalam masa-masa sulit. Ia adalah teman sejatinya sejak masa kuliah, dan selalu berhasil membuatnya tersenyum. Sari duduk di sofa sambil menyuguhkan dua cangkir kopi.
"Kamu sudah terlalu lama bersembunyi, Nura. Saatnya keluar dan menikmati hidup. Cobalah untuk bertemu orang baru," kata Sari, membangkitkan semangat Nura.
Nura menggelengkan kepalanya. “Aku masih belum siap, Sari. Setiap kali memikirkan cinta, rasanya seperti memanggil kembali semua kenangan buruk itu.”
“Tidak semua orang sama, Nura. Ingat, tidak semua pria itu seperti Rian. Jangan biarkan masa lalu mengendalikan masa depanmu,” jawab Sari, mengingatkan Nura akan pentingnya memberi kesempatan pada diri sendiri.
Percakapan mereka berlanjut, mengalir begitu saja antara tawa dan cerita tentang kehidupan masing-masing. Nura merasa terhibur oleh kehadiran Sari. Namun, di dalam hati, rasa takut dan keraguan masih menghantui. Ia tahu, pada akhirnya, ia harus membuat keputusan yang sulit: untuk membuka hati atau tetap berpegang pada kesakitan yang telah mendarah daging.
Beberapa hari kemudian, Sari mengundang Nura untuk menghadiri sebuah acara di kafe terdekat. “Ayo, kita bertemu orang-orang baru! Ini kesempatanmu untuk bersosialisasi,” ajaknya bersemangat. Nura sempat ragu, tetapi akhirnya ia setuju, merasakan dorongan untuk mengubah hidupnya.
Hari acara tiba, dan Nura mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda, yang mempertegas kecantikannya. Ia berdiri di depan cermin, menata rambutnya yang tergerai. Dalam hatinya, ia berdoa agar bisa menikmati malam itu tanpa memikirkan masa lalu.
Di kafe, suasana ramai dan penuh tawa. Nura dan Sari langsung disambut oleh teman-teman mereka yang lain. Mereka tertawa dan berbagi cerita, sementara Nura mencoba untuk tidak terlalu terikat pada pikirannya. Sari memperkenalkan Nura kepada banyak orang, tetapi Nura masih merasa canggung.
Tiba-tiba, seorang pria mendekatinya. Daffario Rashif Alfaiz, sosok yang menonjol di antara kerumunan. Tingginya di atas rata-rata, dengan wajah tampan dan senyuman yang ramah. Ia mengenakan kaos hitam yang dipadukan dengan jeans biru, penampilannya sederhana namun sangat menarik. “Hi, aku Daffario,” sapanya hangat.
Nura merasa jantungnya berdegup lebih cepat. “Nura,” jawabnya sambil tersenyum, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.
Daffario mulai berbicara tentang berbagai hal, dengan cara yang membuat Nura merasa nyaman. Mereka berbagi cerita, tertawa, dan dalam sekejap, Nura merasa terhubung. Namun, saat perasaan itu tumbuh, ingatan tentang Rian kembali menghantuinya. Rasa sakit yang tersembunyi, dan ketakutan untuk jatuh cinta kembali, melanda pikirannya.
“Jadi, apa yang kamu lakukan di waktu luang?” tanya Daffario, menarik Nura dari lamunannya.
Nura berpikir sejenak sebelum menjawab, “Aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan pekerjaan dan teman-teman. Mungkin… mencari hobi baru.”
Daffario mengangguk, “Itu bagus. Hidup harus dinikmati, bukan? Mungkin kita bisa melakukan sesuatu bersama-sama suatu saat nanti.”
Kata-kata itu membuat Nura tersentak. Seolah ada harapan yang mulai tumbuh di antara mereka. Namun, rasa takut itu masih ada. “Aku… masih butuh waktu,” balasnya pelan, berusaha tidak menyinggung perasaannya sendiri.
Daffario tersenyum, tampak memahami. “Tidak masalah. Aku di sini jika kamu butuh teman,” katanya dengan tulus.
Malam itu berakhir dengan rasa campur aduk dalam diri Nura. Dia tidak tahu apakah Daffario bisa menjadi sosok yang mampu mengubah pandangannya tentang cinta, atau justru akan mengingatkan akan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Namun, satu hal yang pasti: Nura berada di ambang sebuah perubahan, dan perjalanan baru mungkin saja dimulai.
Saat ia melangkah keluar dari kafe, melihat langit gelap yang penuh bintang, Nura merasakan harapan baru. Dia tahu bahwa meski sulit, dia harus berani melangkah maju. Cinta mungkin bukan untuknya saat ini, tetapi hati yang memilih pergi bisa saja menemukan jalan pulang.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang memilih pergi
Teen Fiction"Ketika hati memutuskan untuk pergi, itu adalah tanda bahwa saatnya untuk menyambut perubahan" --- Nura memandangi cermin besar di ruang tamunya, mencerminkan wajahnya yang lelah namun penuh harapan. Kecantikan dan kebaikannya sering kali menjadi su...