"Ketika hati yang sunyi mulai menyapa, itulah momen di mana hidup menemukan kembali cahayanya"
---
Pagi datang dengan langit yang cerah, dan Nura bangun lebih awal dari biasanya. Ada sesuatu yang berbeda pagi ini—sebuah perasaan ringan yang jarang ia rasakan selama bertahun-tahun. Ia duduk di tepi ranjangnya, menatap sinar matahari yang masuk melalui jendela kamar. Hatinya berbisik, memberitahunya bahwa mungkin, ia berada di ambang sesuatu yang baru.
Setelah mandi, Nura memutuskan untuk mengenakan pakaian yang cerah, sesuatu yang jarang ia lakukan. Gaun berwarna biru muda yang ia simpan untuk acara khusus kini terasa pantas dikenakan hari ini, meskipun hanya untuk bekerja. Ada energi baru dalam dirinya, seperti semangat yang tersembunyi lama, tetapi perlahan-lahan muncul kembali ke permukaan.
Di dapur, sambil menyesap kopi, Nura memikirkan Daffario. Malam tadi telah membuatnya berpikir keras. Dia tidak bisa mengingkari bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya sejak bertemu pria itu. Cara Daffario berbicara, cara ia mendengarkan, dan kesabarannya semuanya membuat Nura merasa aman—sebuah perasaan yang sudah lama ia rindukan. Namun, ia tetap hati-hati. Luka lama belum sepenuhnya sembuh, dan Nura tahu betapa rapuhnya hatinya saat ini.
Sebelum pergi ke kantor, Nura membuka ponselnya dan melihat ada pesan masuk dari Daffario. Pesan sederhana yang membuatnya tersenyum:
“Selamat pagi, Nura. Aku harap harimu menyenangkan! Jangan lupa sarapan, ya!”
Nura mendapati dirinya tersenyum lebih lebar dari yang ia bayangkan. Ia menanggapi dengan singkat, namun hangat,
“Selamat pagi juga! Terima kasih sudah mengingatkan. Semoga harimu juga menyenangkan.”
Sepanjang perjalanan ke kantor, pikirannya melayang ke arah Daffario. Rasa takut yang selama ini menguasai dirinya perlahan mulai memudar, tergantikan oleh rasa penasaran. Apakah mungkin untuk memberi kesempatan pada seseorang lagi? Apakah mungkin, pria ini berbeda dari yang lain? Pertanyaan-pertanyaan ini terus bermain di kepalanya.
Setibanya di kantor, suasana sudah cukup sibuk. Nura langsung terjun ke dalam pekerjaannya, mencoba fokus pada tumpukan dokumen yang harus ia selesaikan. Namun, pikiran tentang Daffario selalu muncul kembali, mengganggu konsentrasinya. Ia merasa sedikit kesal dengan dirinya sendiri. Mengapa ia membiarkan dirinya teralihkan? Ia pernah berjanji untuk tidak terlibat lagi terlalu cepat. Tetapi, ada sesuatu yang tak bisa ia tolak dari pria itu—sebuah kenyamanan yang sulit dijelaskan.
Sore harinya, saat jam kerja hampir selesai, Tika, rekan kerja Nura, mendekatinya dengan wajah ceria. “Hei, Nura! Malam ini ada acara kecil di kafe langganan kita. Semua anak kantor diundang. Kamu ikut, kan?”
Nura sempat ragu. Biasanya, ia lebih memilih pulang ke rumah setelah bekerja, menjauh dari keramaian. Namun, hari ini ada sesuatu yang mendorongnya untuk mencoba hal berbeda. Mungkin, ini adalah bagian dari dirinya yang ingin sembuh, bagian yang ingin kembali merasakan kehidupan. “Baiklah, aku ikut,” jawabnya akhirnya.
Malam itu, Nura tiba di kafe yang sudah dipenuhi teman-teman kantor. Suasana riang dan tawa terdengar di mana-mana. Tika langsung menghampirinya, menariknya ke meja yang telah disiapkan. “Aku senang kamu datang! Sudah terlalu lama kita tidak bersenang-senang bersama,” kata Tika sambil tersenyum lebar.
Mereka berbincang, tertawa, dan menikmati suasana malam itu. Nura mulai merasa lebih rileks, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia benar-benar menikmati kebersamaan dengan teman-temannya. Di sela-sela perbincangan, ponsel Nura bergetar. Ia melihat ada pesan masuk dari Daffario.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hati yang memilih pergi
Teen Fiction"Ketika hati memutuskan untuk pergi, itu adalah tanda bahwa saatnya untuk menyambut perubahan" --- Nura memandangi cermin besar di ruang tamunya, mencerminkan wajahnya yang lelah namun penuh harapan. Kecantikan dan kebaikannya sering kali menjadi su...