3

65 3 0
                                    

Air kran mengucur deras mengisi suara di dalam WC, Elza masih mencoba menenangkan pikiranya dengan membasuh muka berkali-kali sampai terlihat cipratan air membasahi bajunya.

Dinginya air kran belum mampu menenangkan pikirannya yang tengah berkecamuk. Elza mulai mengajak-ngacak rambutnya dan menatap pantulan dirinya di cermin.

Ia masih tidak menyangka bahwa pantulan dirinya di kaca merupakan dirinya sendiri. Ia melihat wajah laki-laki yang cukup tampan dengan alis tebal, sorot mata tajam dan garis rahang yang tegas. Namun penampilannya terlihat acak-acakan dan rambutnya yang terlihat agak gondrong tak terawat.

Namun itu tidak dapat melunturkan ketampanannya. Tapi alih-alih mengagumi rupanya yang di depan cermin, Elza justru melihat wajahnya dengan ketakutan yang ketara, sebab wajah orang inilah yang akan di siksa secara perlahan oleh wanita psikopat yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit itu.

Elza menjambak rambutnya, mengapa ia hidup kembali di raga Maherza Gustav yang notabennya akan mati dengan disiksa secara fisik maupun mental. Tentu Elza tidak terima dengan situasi yang ia alami, sungguh jika ia di ijinkan untuk hidup kembali. Mengapa ujung-ujungnya akan segera mati dan parahnya lagi mati dengan tidak manusiawi.

Jadi kematian ku saat tersedak kacang itu hanyalah permainan takdir agar aku mati dengan lebih kejam lagi. Apakah benar begitu? Aku tidak percaya kematian adalah takdir karena aku merasakannya sendiri.

Bukanya aku mati naik ke atas surga untuk berleha-leha. Ya, walaupun tampang ku bukan orang yang akan ke surga si menurut Arya. Tapi, sekali lagi aku malah kini hidup kembali di dalam film yang ku tonton. Dan lebih parahnya aku hidup di raga orang lain, ditambah orang ini yang nantinya akan di siksa oleh wanita psikopat itu sampai mati.

Sungguh takdir mempermainkan aku begitu efiknya sampai-sampai di hidupkan kembali hanya untuk merasakan oksigen di dunia ini yang mana aku tau sendiri bagaimana nasibku kelak. Sumpah, jika di suruh memilih maka aku lebih baik mati keselek kacang saja daripada mati di siksa wanita psikopat. Ya, walaupun kematianku tidak begitu keren karena hanya keselek kacang tapi menurutku itu jauh lebih baik.

Aku tidak terima dipermainkan takdir begini, oh my gosh! Aku baru menyadari ada aligator yang bersarang di selengkanganku. Takdir apa ini tuhan?

"Hai.. gue cewek ya! walau dada gue rata, masa pas idup lagi gue malah punya aligator. Takdir pukimak!!" Batin Elza mengumpat.

"Aarghhh.. gue harus gimana ini?" Frustasi Elza semakin kencang menjambak rambutnya. "Sumpah gue gamau mati di tangan wanita psikopat itu TUHAN!" Racau Elza menutup wajahnya dengan telapak tangan karena tanpa di perintah kini air mata meluncur dengan bebasnya di wajah Elza yang terlihat pucat.

"Mana gue goblok banget baru sadar situasinya sekarang, tadi bocah juga manggil gue ayah, arghhh otak tai memang!" Meracau atas ketololannya sendiri sambil kembali membilas wajahnya agar menghapus jejak air matanya "Eh.. ko gue bisa nyetir mobil ya? Padahal kan gue cuma bisa bawa motor supra butut kesayangan gue aja, apa mungkin karena tubuh ini ya? Yang bisa nyetir makanya reflek gitu aja. Auah takdir asuu! Gue pusing" menjerit semakin frustasi.

"Nggak, gue ga terima ya mati dua kali secepat ini. Gue harus bisa ngerubah alur! Minimal ngamanin nyawa gue dulu" menatap cermin dengan tajam dan mencoba membulatkan tekatnya. Dengan kasar Elza mengusap wajahnya dan menghentikan tangisnya yang tak bersuara.

"Ya! Gue harus bertahan hidup, haruuss" semangat Elza dengan menggenggam tanganya di depan dada.

Dengan langkah mantap Elza keluar dan mendekati ranjang pasien rumah sakit. Dengan jantung berdebar ia memutuskan untuk duduk di samping balita yang begitu erat menggenggam tangan wanita yang masih belum siuman itu. Sang balita cukup terkejut saat tiba-tiba seseorang duduk di sampingnya sehingga ia menoleh untuk menatap sang pelaku.

Netra matanya bergetar takut saat melihat Elza yang tengah duduk di sampingnya dan tentu Elza menyadari hal itu. Dengan wajah yang masih pucat pasih dan mata merah akibat menangis, ia coba untuk tersenyum. Namun, balita itu malah berusaha untuk menjauhkan tubuhnya dari dia.

"Ni anak napa dah, apa gue senyum kaya setan ya?" Batin Elza bertanya-tanya. "Eh goblok gue baru ingat ni anak Maherza Gustav, yang sering di perlakukan kasar sama si berengsek sampai-sampai ni anak meninggoy dan bikin tu cewe psikopat beraksi nyiksa si Maherza, berarti gue harus baik-baik sama ni anak biar aman nyawa gue"

Di tengah lamunanya entah kenapa ia menangkap sesuatu di penglihatanya, seperti ada lebam di dagu sang balita. Saat ia meneliti lebih jauh ternyata benar penglihatannya bahwa balita itu ada lebam di dagunya.

"Dagu kamu kenapa dek?" Mengangkat dagu balita dan dari sentuhan itu menjalar rasa hangat di tanganya. "Eh kamu demam kah dek?" Menyentuh jidat sang balita untuk meyakinkan pendapatnya.

"A-ku gapapa ayah" menggenggam tangan Elza dengan gemetar.

"Wahh ga bisa nih, klo tu cewe psikopat bangun dan tau anaknya demam, bisa-bisa makin pendek umur gue" tergesa-gesa menggendong sang balita untuk menemui dokter.

Setiap langkah yang Elza ambil membuat jantungnya semakin berdebar, ia merasa takut jika terlambat sedikit saja membawa anak ini untuk di obati. Dalam bayangan Elza tergambar jelas adegan Maherza Gustav yang tengah di kuliti hidup-hidup oleh Helen, gambaran itu membuat tubuhnya semakin gemetar ketakutan.

"Dokter tolong periksa anak ini demam, tolong cepat periksa dokter" dengan cemas Elza menghampiri dokter yang ada di hadapanya sekarang.

"Tenang Pak, kami akan periksa anak bapak. Sebentar ya Pak" tentu dengan cepat dan profesional sang dokter memeriksa keadaan pasien.

"Bagaimana kondisinya dok?" Tanya Elza dengan nada cemas.

"Anak bapak hanya demam dan belum makan. Dan di lihat situasinya anak bapak kekurangan gizi. Sebaiknya Bapak periksa lebih lanjut ke dokter spesialis anak, untuk obatnya sendiri akan saya resepkan dan segera di minum" jelas dokter panjang lebar.

"Baik terima kasih klo begitu dok" mendengarnya membuat Elza sedikit lega sekaligus miris mengetahui kondisi sang balita.

"Anak Bapak namanya siapa, dan umurnya berapa Pak, agar kami bisa melanjutkan administrasinya" tanya perawat di sana.

"Ah namanya Felicia Izora..." terjeda karena mengingat-ingat umur balita itu. "Oh iya klo umurnya 5 tahun" dengan bermodal mengingat film yang telah ia tonton akhirnya ia ingat umur sang balita.

"Baik, terima kasih atas kerja samanya Pak, ini kertas untuk menebus obat anak bapak. Semoga lekas sembuh sayang" mengelus surai sang balita dengan menampilkan sanyum ramahnya lalu sang berawat berlalu pergi.

"Terima kasih" cicit Elza mengulurkan tanganya untuk mengambil kertas yang di sodorkan.

Elza menunduk menatap sang balita dan entah kebetulan atau bagaimana, tatapan mereka saling bertemu dan terkunci satu sama lain. Elza dapat melihat tatapan jernih dari balita itu namun sorot matanya tergambar jelas bahwa ia takut dengan Elza, tangan Elza terangkan untuk mengelus surai rambut sang balita. Namun, lagi-lagi kejadian yang sama terulang, dimana sang balita menukupi kepalanya dengan sedikit gemetar.

Tanpa memperdulikan hal itu, Elza tetap mengelus surai sang balita dan tentu dia mendapat respon terkejut dari tatapan yang ia lihat dari sang balita. Melihat itu membuat Elza tersenyum dan terus mengelus surai sang balita dengan sayang walau mereka tidak bersuara tapi secara bertahap Elza dapat memastikan mereka sudah menjalin ikatan yang baik dengan sang balita

-27102024

PunarjanmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang