Bab 3

11 1 0
                                    

Sinar mentari menyapa lembut, melukis bayang-bayang daun yang menari di atas tanah. Dari balik jendela ruang kerjanya, Ayla terpaku pada sosok Ardi yang tengah asyik menyiram tanaman. Setiap gerakannya begitu halus, seolah tangannya menari di antara dedaunan hijau, menghantarkan butiran-butiran air seperti bisikan cinta. Adegan sederhana itu menghangatkan sudut hati Ayla, menciptakan kedamaian yang mengalir deras.

Dengan jantung berdebar, Ayla melangkah keluar, menghampiri Ardi yang masih berkutat dengan tanaman-tanaman di sekelilingnya.

Senyum hangat Ardi menyambutnya. "Selamat siang, Bu Ayla."

Ayla merasa pipinya memanas. "Siang," balasnya, suaranya hampir tak terdengar. "Bagaimana kabar tanaman hari ini?" tanyanya, berusaha menyembunyikan kegugupan di balik pertanyaannya yang biasa.

"Mereka baik-baik saja, Bu. Beberapa bahkan sudah mulai berbunga," jawab Ardi sambil menunjuk bunga-bunga yang baru mekar. "Saya selalu kagum dengan kehidupan. Melihat tanaman kecil berubah menjadi sesuatu yang indah seperti ini membuat saya merasa lebih hidup."

Ayla menatapnya, kagum pada kesederhanaan yang terpancar dari pria itu. "Jadi, itu kebahagiaanmu? Melihat tanaman tumbuh dan berbunga?" tanyanya lembut, ada rasa ingin tahu yang mendalam dalam suaranya.

"Ya," jawab Ardi, tatapannya bertemu dengan mata Ayla. Sorot matanya penuh ketulusan. "Kebahagiaan itu sederhana, Bu Ayla. Seperti melihat kuncup bunga mekar, mendengarkan kicauan burung, atau menikmati hangatnya teh di sore hari. Hal-hal kecil yang sering terlupakan." Ardi tersenyum lembut. "Dan tentu saja, berbagi momen itu dengan orang-orang yang kita cintai."

Ayla mengangguk perlahan, seolah mendapatkan pencerahan. "Aku... aku tak pernah melihat kebahagiaan seperti itu," akunya jujur, suaranya sedikit bergetar. Pandangannya teralih ke tanah, seakan ingin menyembunyikan perasaannya. "Selama ini, aku mengejar pengakuan, jabatan, dan kekaguman. Kupikir, itulah kebahagiaan sejati."

Ardi tersenyum, seolah mampu membaca isi hati Ayla. "Seperti kupu-kupu yang mengejar cahaya, Bu. Banyak yang terlalu fokus pada tujuan hingga lupa menikmati keindahan bunga di sepanjang perjalanan." Ia terdiam sejenak, memberi ruang bagi Ayla untuk merenung. "Padahal, kebahagiaan sejati ada pada prosesnya."

Kata-kata Ardi menembus hati Ayla seperti panah yang tepat sasaran. Ia terdiam, merenungi setiap kalimat yang terucap. Selama ini, hidupnya adalah perburuan tanpa henti menuju puncak kesuksesan, mengorbankan waktu, kesehatan, bahkan kebahagiaannya. Namun, di bawah sinar matahari yang hangat dan keasrian taman, semua pencapaiannya terasa kosong. "Apa artinya semua ini jika aku tak pernah merasakan kebahagiaan sejati?" gumamnya lirih dalam hati.

Ayla menatap Ardi, ragu dan pertanyaan berkelindan di benaknya. "Apakah kau... pernah merasa kecewa karena gagal mencapai sesuatu?" tanyanya dengan suara lirih, hampir seperti bisikan.

"Kekecewaan adalah bagian dari hidup, Bu Ayla," jawab Ardi bijak. "Seperti siang dan malam, suka dan duka, keberhasilan dan kegagalan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi yang bisa kita lakukan adalah menerima kenyataan dan mencari pelajaran di balik setiap kejadian."

Ayla meremas ujung blusnya, gelisah. Matanya tertuju pada bunga-bunga di kebun, menghindari tatapan Ardi. "Terkadang... aku merasa terjebak," gumamnya pelan, hampir tak terdengar. "Seperti berlari di atas treadmill—terus bergerak tapi tak pernah sampai ke mana-mana." Ia menarik napas panjang, beban terlihat jelas di matanya. "Aku mengejar sesuatu yang... entahlah, mungkin tidak pernah kutemukan."

"Apa yang kau kejar, Bu Ayla?" tanya Ardi lembut, suaranya penuh kehangatan yang menenangkan.

Ayla mendongak, menatap langit seolah berharap jawaban terselip di antara awan-awan yang berarak. "Cinta sejati," desahnya dengan kerinduan yang mendalam. "Sebuah impian yang mungkin tak akan pernah jadi kenyataan. Aku telah menukarnya dengan ambisi, dengan kekuasaan. Dan kini, aku harus menanggung konsekuensinya."

Ardi memandang Ayla dalam-dalam, sorot matanya penuh pemahaman dan empati. Perlahan, ia melangkah mendekat, jarak di antara mereka semakin kecil. Kehangatan tubuh Ardi dan aroma tanah basah terasa begitu nyata bagi Ayla. "Cinta itu seperti kupu-kupu, Bu Ayla," ucap Ardi lembut. "Jika kita mengejarnya terlalu keras, ia akan terbang menjauh. Tapi jika kita tenang dan membiarkan dia datang dengan sendirinya, mungkin ia akan hinggap di telapak tangan kita."

Ayla terdiam, jantungnya berdebar tak menentu. Kata-kata Ardi merembes melewati dinding kokoh yang selama ini ia bangun di sekeliling hatinya, memaksanya merenung. Dunia yang selama ini ia kenal keras dan penuh persaingan kini terasa rapuh di hadapan ketulusan pria itu. Ia merasa rentan.

"Sepertinya, aku harus belajar darimu, Ardi," ucapnya pelan, menghindari tatapan pria itu. "Kau... seolah punya kunci untuk membuka pintu kebahagiaan yang selama ini tertutup bagiku."

Ardi menatapnya lembut. "Kebahagiaan ada di dalam diri kita, Bu Ayla. Bukan sesuatu yang harus kita cari di luar. Ia adalah pilihan—cara kita memandang hidup dan mensyukuri setiap momen."

Ayla mengangguk pelan, jemarinya saling meremas, detak jantungnya tak beraturan. Dinding yang selama ini ia pertahankan dengan begitu keras, kini mulai retak, terkikis oleh kehangatan dan ketulusan Ardi. Sebuah perasaan asing namun menyenangkan mulai tumbuh di hatinya.

"Apa kau tidak ingin... lebih?" tanyanya, suaranya tertahan. Tatapannya berpaling ke hamparan bunga, mencoba menyembunyikan badai kecil yang mengguncang hatinya. "Lebih dari sekadar... ini?"

Ardi mengerutkan kening, sedikit bingung. "Lebih dari ini, maksudmu, Bu Ayla?" Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Hidup sudah cukup baik padaku. Aku punya pekerjaan yang kucintai, teman-teman yang peduli, dan..." ia terdiam sejenak, "kesempatan untuk menikmati keindahan dunia ini."

Ayla menarik napas panjang, perasaan rindu akan sesuatu yang lebih dalam mulai bersemi dalam dadanya. Kedamaian yang terpancar dari Ardi begitu memikat—sesuatu yang tak pernah ia temukan di puncak kesuksesannya. "Aku ingin mempercayaimu, Ardi," suaranya terdengar rapuh, hampir tak terdengar. "Tapi aku... aku tidak tahu caranya. Hidupku selalu tentang persaingan, tentang memenangkan setiap pertarungan."

Ardi tersenyum lembut, penuh pemahaman. "Hidup bukanlah permainan, Bu Ayla. Hidup adalah perjalanan yang seharusnya kita nikmati. Kadang, kebahagiaan ditemukan ketika kita berhenti mengejar kemenangan dan mulai belajar menerima serta mensyukuri apa yang kita miliki."

Waktu seolah berhenti saat tatapan Ayla dan Ardi bertemu. Di bawah sinar senja yang mulai datang, mata mereka saling mencari, menggali ribuan kata yang tak terucapkan. Ada getaran yang mengalir di antara mereka—campuran antara ketegangan, keingintahuan, dan sesuatu yang jauh lebih dalam. Sebuah jembatan tak kasat mata mulai terbentuk, menghubungkan dua dunia yang sebelumnya begitu jauh. Dunia Ayla yang penuh ambisi dan kegelisahan, serta dunia Ardi yang sederhana dan damai.

"Apa yang harus aku lakukan? Aku... benar-benar tidak tahu," bisik Ayla, suaranya bergetar, nyaris pecah. Rasanya seperti berada di tepi jurang dalam, di mana satu langkah maju berarti terjun ke dalam ketidakpastian yang menakutkan.

Ardi tersenyum lembut, matanya meneduhkan. "Tidak perlu terburu-buru, Bu Ayla. Mulailah dari yang kecil. Nikmati secangkir teh di beranda sambil menyaksikan matahari terbit. Cobalah berjalan di taman tanpa beban pekerjaan. Rasakan hembusan angin, hirup aroma bunga, dengarkan kicauan burung. Kebahagiaan itu ada di hal-hal kecil yang sering kita abaikan."

Ayla mengangguk pelan, setengah bingung, setengah tersentuh. Langkah kakinya terasa lebih ringan saat meninggalkan taman, namun pikirannya seolah berputar tanpa henti. Kata-kata Ardi bergema dalam benaknya, menggoyahkan keyakinan yang ia pegang erat-erat selama ini. Mungkinkah ia telah salah mencari kebahagiaan di tempat yang keliru? Mungkinkah Ardi—pria sederhana dengan hati yang tulus—adalah kunci untuk membuka pintu kebahagiaan yang selama ini ia tutup rapat-rapat?

Saat itu, jantung Ayla berdegup tak beraturan. Di balik hasratnya untuk berubah, tersimpan rasa takut yang mendalam. Takut akan ketidakpastian, takut kehilangan kendali atas hidupnya yang selama ini terstruktur rapi. Tapi sejenak matanya tertumbuk pada dedaunan di luar jendela, menari bersama hembusan angin. Alam mengajarkannya tentang ketidakpastian, tentang keindahan yang lahir dari kebebasan dan spontanitas. Mungkin, inilah saatnya untuk melepaskan keinginannya mengendalikan segalanya—untuk membiarkan hidup membawanya ke arah yang tak terduga.

To Be Continued...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ayla & ArdiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang