Chapter 4: Membuktikan?

3 1 0
                                    

Pagi itu, Aira terbangun. Langit masih gelap, tapi suara motor ayahnya sudah menggema di luar. Ia melirik jam dinding hampir pukul enam. Seperti biasa, Maya yang selalu diutamakan. Aira tersenyum sinis sambil bangkit dari tempat tidur, mendengar suara tawa ceria adiknya yang menyebalkan dari luar kamar.

Sambil merapikan seragamnya, ia menyadari tak ada sarapan yang disiapkan untuknya. Bukan hal baru, batinnya dengan getir. Setiap pagi, ibunya hanya fokus pada Maya, si anak emas. Aira keluar kamar dan menuju dapur, tapi hanya menemukan sisa-sisa roti tawar yang tak layak dimakan. Ia melempar roti itu ke tempat sampah dengan ekspresi dingin.

“Mereka bahkan tak peduli kalau aku lapar.”

Langkah Aira menuju teras depan terasa berat, bukan karena fisik, tapi karena kemarahan yang terus membara dalam dirinya. Di halaman, Maya sudah duduk di atas motor, mengenakan helm sambil tersenyum penuh kemenangan. Aira mendelik ke arah adiknya, tanpa menyembunyikan kekesalannya.
“Manja banget kamu. Nggak bisa jalan kaki sekali-sekali?” sindirnya, nadanya tajam.

Maya hanya melirik Aira dengan tatapan penuh rasa puas.

“Aku sih, kesayangan orang tua. Jadi ya, wajar dong,” balasnya dengan nada meremehkan, seakan menikmati momen itu.

Aira mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, menahan diri agar tidak meledak di tempat.Dasar anak sok manja, pikirnya, namun ia tidak ingin memperpanjang pertengkaran pagi ini. Ia tahu bahwa melawan hanya akan membuatnya semakin kesal. Ayahnya yang duduk di atas motor hanya melirik Aira sekilas. “Udah sana, jalan kaki aja. Kamu udah gede kan?” katanya datar, tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Aira tertawa sinis mendengar ucapan itu. “Ya, aku memang harus jalan kaki terus. Yang penting Maya bisa duduk manis di motor,” ucapnya tajam, tetapi tidak ada yang menanggapi.

Ayahnya dan Maya pun segera melesat pergi, meninggalkan Aira yang berdiri sendirian di depan rumah. Ia menatap kosong ke arah motor yang semakin menjauh, rasa benci makin menguasai pikirannya. Kalau mereka pikir aku bakal terus sabar, mereka salah besar.

Tanpa sarapan, tanpa semangat, Aira memulai perjalanannya ke sekolah dengan langkah yang berat. Jalanan sepi, namun dalam kepalanya, berbagai rencana balas dendam mulai terlintas. Suatu hari nanti, aku akan membuktikan siapa yang sebenarnya layak dihargai. Mata Aira menatap lurus ke depan, penuh tekad.

Sesampainya di sekolah, ia langsung menuju kelas, berharap bisa melupakan kepahitan pagi itu. Namun, begitu sampai, ia mendapati Rani, sahabatnya, yang sudah menunggu di bangkunya dengan wajah cemas.

“Aira, kamu nggak diantar lagi?” tanya Rani, tahu betul kebiasaan keluarga Aira.

“Enggak. Keluargaku nggak pernah peduli kok,” jawab Aira sambil melempar tasnya ke kursi dengan kasar.

Rani menatap Aira prihatin, tetapi tahu percuma kalau membahasnya lebih jauh. “Gimana kompetisi kamu? Udah siap?”

Aira mengangguk, matanya berbinar sedikit. “Aku bakal menangin ini. Biar mereka semua tahu siapa Aira yang sebenarnya.”

Tak lama kemudian, Daniel masuk ke dalam kelas, membuat suasana berubah. Dengan tubuh atletis dan wajah tampan, ia dengan cepat menarik perhatian semua murid perempuan di kelas, tak terkecuali Aira. Namun, ia berusaha menjaga sikap, meskipun dalam hati ada rasa penasaran yang mengusik.

Daniel berjalan menuju tempat duduknya yang kebetulan berada tepat di samping Aira.

“Pagi, Aira,” sapa Daniel dengan senyum ramah, tapi Aira hanya meliriknya sekilas, sengaja bersikap dingin.

“Pagi,” jawab Aira singkat, berusaha tidak terlalu menunjukkan ketertarikan. Anak baru ini kelihatan sok baik a, pikirnya, meski tak bisa memungkiri bahwa Daniel cukup menarik perhatian.

Selama pelajaran berlangsung, Aira mencuri-curi pandang ke arah Daniel, memperhatikan setiap gerakan dan ekspresinya. Dia kaya, ganteng, pintar, dan sepertinya disukai banyak orang. Tapi, apakah dia bisa dipercaya? Aira tak ingin cepat terbuai, terutama setelah tahu bahwa kepercayaan tak pernah datang dengan mudah dalam hidupnya.

Aira masih tenggelam dalam pikirannya saat tiba-tiba suara Daniel memecah keheningan di antara mereka.

“Eh, Aira,” Daniel memanggil, suaranya terdengar santai namun ramah. Aira menoleh perlahan, sedikit terkejut karena tak menyangka dia akan memulai pembicaraan.

“Aku dengar kamu selalu juara satu setiap tahun, hebat banget.”

Aira mengangkat bahu. “Biasa aja,” jawabnya datar, mencoba bersikap tidak terlalu peduli. Tapi dalam hatinya, ada sedikit kebanggaan yang sulit ia sembunyikan.

Daniel tersenyum tipis, seolah-olah bisa merasakan bahwa Aira sebenarnya senang dipuji. “Nggak usah merendah. Orang kayak kamu yang udah biasa jadi juara emang suka gitu ya,” canda Daniel sambil tertawa kecil.

Aira hanya tersenyum tipis, tapi tetap menahan diri untuk tidak terlalu terlibat. “Kamu juga pasti nggak jauh beda, kan? Aku dengar kamu pernah juara di kompetisi internasional.”

Daniel mengangguk sambil memasang ekspresi santai. “Iya, tapi itu cuma keberuntungan aja. Sekarang sih aku lebih fokus di olahraga.”

Aira menatapnya sejenak, merasa sedikit heran. “Olahraga apa?”

“Basket, renang, kadang-kadang ikut lomba lari juga,” jawab Daniel sambil memandang ke luar jendela, seolah menghindari tatapan intens Aira. “Aku suka tantangan yang bikin adrenalin naik. Kamu sendiri gimana? Apa ada hal yang kamu suka, selain belajar?”

Aira terdiam sejenak, merasa sedikit tersentuh karena Daniel bertanya hal yang jarang orang lain tanyakan padanya.

“Aku suka melukis,” jawabnya pelan, sedikit ragu untuk berbagi. “Tapi itu bukan sesuatu yang orang lain di rumah peduli.”

Daniel tampak terkejut. “Melukis? Wah, keren! Pasti bakat besar tuh. Kenapa mereka nggak peduli?”

Aira tertawa getir. “Keluargaku punya anak kesayangan lain. Aku bukan bagian dari prioritas mereka.”

Daniel menatap Aira lebih lama kali ini, raut wajahnya berubah serius. “Itu nggak adil. Tapi, ya, nggak semua orang bisa lihat bakat dari awal. Kadang kamu cuma butuh buktiin ke mereka.”

Aira menelan ludah, seakan kata-kata Daniel menyentuh sesuatu dalam dirinya. Tapi ia tak ingin menunjukkan kelemahan. “Iya, mungkin. Atau mungkin mereka emang nggak peduli sama sekali.”

Sebelum percakapan berlanjut lebih jauh, bel tanda masuk berbunyi. Aira langsung menunduk ke bukunya, meski pikirannya terus tertuju pada kata-kata Daniel.

“Apa mungkin dia benar? Apa aku cuma perlu membuktikan diri?”

Namun, di balik semua itu, Aira menyimpan niat yang lebih besar iat untuk menang di kompetisi seni tanpa sepengetahuan keluarganya dan memperlihatkan bahwa mereka salah mengabaikannya selama ini.

Cahaya yang Tersembunyi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang