Nara, atau yang sering dipanggil Ara, adalah gadis kecil yang selalu tampak ceria. Wajah manisnya dihiasi senyuman yang bisa membuat orang di sekitarnya merasa tenang. Namun, siapa sangka di balik senyuman itu tersimpan luka yang begitu dalam, menganga, dan tak pernah sepenuhnya sembuh. Ara, meski begitu muda, kerap merasa kebingungan akan arah hidupnya.
Sejak kecil, ia dibesarkan di bawah asuhan neneknya dari pihak ayah. Neneknya adalah sosok yang kaku, otoriter, dan memegang erat tradisi patriarki. Ia menganggap bahwa dunia harus tunduk pada aturan yang tak boleh diubah—bahwa seorang wanita, termasuk Nara, harus selalu berada di bawah kendali pria. Ibunya, Vania, hanya sesekali bisa bertemu dengan Nara, dan itupun secara sembunyi-sembunyi. Neneknya selalu melarang pertemuan itu, menanamkan kebencian pada Nara terhadap sosok ibunya.
"Nara, jangan percaya apa pun yang dikatakan ibumu! Dia hanya seorang miskin tanpa pendidikan. Jangan sampai kamu seperti dia," suara neneknya menggema keras di telinga Nara. Setiap kali, kalimat itu diucapkan dengan penuh penekanan, membuat Nara kecil kebingungan. Bagaimana bisa ibunya disebut jahat, sementara setiap kali mereka bertemu, ibunya selalu membelikan pakaian, makanan, dan hadiah?Namun, meskipun Nara diberi banyak barang, sebagian besar dari hadiah itu selalu hilang, diserahkan kepada sepupu-sepupunya yang tak pernah punya hati untuk berbagi dengan Nara. Barang-barang yang diberikan kepadanya lenyap begitu saja, tersapu oleh ego mereka, dan hanya menyisakan sisa-sisa kecil bagi Nara.
Malam hari adalah saat paling menyiksa. Di kamarnya yang kecil, Nara sering menangis, memanggil ibunya dalam hati. Namun, tak ada yang mendengar. Ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin dengan wanita lain yang kerap hadir dalam hidupnya. Kasih sayang ayah yang dia harapkan tidak pernah datang. Bahkan uang jajan untuk sekolah pun tak pernah ia terima. Sebaliknya, Nara harus membantu neneknya berjualan kue keliling setiap pagi. Sepanjang perjalanan, tubuh kecil Nara yang dibalut seragam sekolah lusuh harus kuat menahan lelah dan lapar.
Di sekolah, Nara sering menjadi sasaran bully teman-temannya. Mereka menyoraki, mengejek, bahkan kadang menghalangi jalannya di lorong kelas. Namun, Nara tidak pernah membalas, memilih untuk diam dan menerima perlakuan itu, meskipun hatinya perih. Pernah sekali, ia memberanikan diri untuk bertanya langsung pada nenek dan tantenya mengapa mereka begitu memusuhi ibunya, Vania. Namun jawaban yang ia terima selalu sama: Vania dianggap tidak mampu memberinya kebahagiaan. Nenek tirinya, dengan ekspresi angkuh, menyatakan bahwa hidup Nara hanya berguna jika ia tahu bagaimana membenci. Bahkan, setiap kali ibunya mencoba mengunjungi, mereka selalu memindahkan Nara ke tempat jauh, membuatnya sulit bertemu. Tanpa disadari Nara, sebagian besar uang yang ibunya kirimkan sebenarnya jatuh ke tangan nenek tirinya yang serakah.
Dalam keadaan seperti itu, hanya Kaina—anak dari adik ibunya—yang kadang-kadang memberikan bantuan. “Nara, ini ada sedikit makanan untukmu,” bisik Kaina, menyelipkan sebungkus nasi kecil di tas Nara. Tapi saat itu, Kaina kecil pun tak bisa berbuat banyak. Semua yang ia bisa lakukan hanyalah melaporkan penderitaan Nara pada ibunya.
Hari-hari Nara penuh dengan rasa takut. Ia tidak punya teman, hanya sepupu-sepupu laki-laki yang kejam. Mereka tak segan merebut barang-barangnya, memukul, dan mencemooh setiap tindakan Nara. “Kamu nggak berguna, kayak ibumu!” sering kali teriak sepupu-sepupunya, menambah sakit yang sudah ia rasakan di hatinya.
Nenek tirinya, yang bukan darah daging asli, selalu memperingatkan Nara agar jangan pernah bertemu dengan ibunya. “Dia bodoh. Tidak ada gunanya. Jangan sampai kau berakhir sepertinya!” ujar neneknya, matanya tajam menusuk seolah memastikan Nara benar-benar mentaati perintah itu. Nara hanya diam, kebingungan, hatinya penuh pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana mungkin ibunya bisa jahat.
Yang paling membuat Nara merasa hidup di neraka adalah tindak tanduk tantenya. Tante yang satu ini selalu bersikap kasar. Sedikit saja kesalahan Nara, hukuman fisik tak terelakkan. “Masuk kamar! Kamu di situ sampai aku bilang keluar!” Tante Nara mengunci pintu kamar Nara, meninggalkannya di sana berjam-jam, bahkan terkadang seharian penuh.
YOU ARE READING
ANTARA LUKA DAN DOA
Teen FictionNamanya Nara, dia dan ibunya adalah korban dari kerasnya kehidupan patriarki. Keluarga ayahnya layaknya Iblis yang terus membelenggu nya. Orang-orang selalu memuji kecerdasan Nara dan Ibunya, juga wajah manis Nara ketika tersenyum. Dari kecil Nara...