Di sebuah kantor yang sunyi di tengah malam, seorang pria duduk santai di kursinya, segelas whiskey di tangan. Tatapannya tertuju pada sebuah berkas terbuka di mejanya—dokumen tebal yang menyimpan segala informasi tentang seorang perempuan yang belakangan ini memenuhi pikirannya. Kim Irene. Rivalnya.
"Berapa lama lagi kau akan menatap berkas-berkas itu?" tanya seorang pria dari sofa di sudut ruangan, nadanya setengah menggoda.
Pria di kursi hanya mengangkat gelasnya sedikit, pandangannya tetap terpaku pada dokumen di tangannya. "Sampai aku tahu semua yang perlu kutahu," jawabnya tenang, matanya tak lepas dari setiap detail yang tertulis di sana.
Orang di sofa menghela napas panjang, sedikit jengkel tapi juga tak bisa menyembunyikan kelelahan dalam suaranya. "Yah, Sebastian Park. Pulanglah. Aku tidak bisa pulang kalau kamu masih di sini. Apa kamu tidak kasihan pada sekretarismu ini?"
Sebastian mengangkat bahu tanpa melepaskan pandangan dari dokumen. "Pulanglah kalau begitu."
"Apa kau gila? Aku bisa dibunuh oleh sepupumu kalau pulang sendiri! Lagi pula, kenapa kau harus menginap di rumah kami? Pulanglah ke rumahmu sendiri. Aku tidak bisa—" pria itu mendengus kesal, menahan diri, "—menikmati waktu dengan istriku kalau kau ada di sana."
Sebastian hanya tersenyum tipis, menikmati respons sahabatnya. "Baiklah, anggap saja aku memberi tantangan baru dalam hidup pernikahanmu," balasnya, kembali fokus pada dokumen di tangannya.
Pria di sofa itu mendengus, jelas kesabarannya sudah habis. Tanpa berpikir dua kali, dia mencopot salah satu sepatunya dan melemparkannya ke arah Sebastian dengan kesal.
Sebastian menunduk tepat waktu, nyaris tak terpengaruh. Sepatu itu terbang melintasi ruang kantor yang sepi dan mendarat di lantai dengan bunyi keras. Ia hanya tertawa kecil, tetap tak melepaskan tatapannya dari dokumen. "Kalau itu caramu meminta perhatian, aku bisa bilang kurang efektif."
Tak lama, ponsel pria di sofa itu berdering. Begitu melihat nama yang muncul di layar, ekspresinya berubah. Ia segera meraih ponsel itu dan mengangkatnya, mencoba terdengar santai.
"Halo, darling."
Suara tajam terdengar di ujung sana, tanpa basa-basi. "TRAVIS LIM. KAMU TIDAK LIHAT SEKARANG SUDAH JAM BERAPA?"
Travis Lim berasal dari keluarga kurang mampu, namun kecerdasannya membawanya meraih beasiswa untuk kuliah di universitas ternama, tempat dia bertemu dengan Sebastian Park. Setelah lulus, Travis memilih untuk bekerja dengan Sebastian sebagai sekretaris pribadi, mengandalkan kemampuannya dalam mengelola jadwal dan pekerjaan kompleks. Meski terkadang merasa terbebani dengan tuntutan pekerjaan, Travis selalu setia mendampingi Sebastian, baik dalam urusan bisnis maupun kehidupan pribadi.
Travis Lim
Travis menelan ludah, melirik sekilas ke arah Sebastian yang sudah mulai menahan tawa di balik berkas-berkasnya. "Uh... aku masih di kantor, sayang. Ini Sebastian nggak mau pulang-pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Kim's: Speak Now
FanficIrene Kim, putri sulung dari keluarga Kim, selalu hidup dalam sorotan. Kecerdasannya, ambisinya, dan kehadirannya yang mempesona telah menempatkannya di puncak dunia bisnis. Tiga tahun yang lalu, ayahnya mempercayakan pengelolaan mall keluarga kepad...