Chapter 4 : Kebencian Rangga Kepada Rama

19 5 5
                                    


Rangga dan Rama begitu asing setelah kejadian itu. Mereka tidak saling tegur sapa, hanya mengurusi diri sendiri. Rangga tetap bersekolah di SD, sementara Rama bersekolah di SMA. Keduanya fokus dengan kehidupan masing-masing.

Hingga suatu ketika, Rama baru saja pulang sekolah di jam lima sore karena sehabis ada acara besar di sekolah dan dirinya sebagai ketua OSIS yang melakukan banyak hal. Di depan teras rumah, tiba-tiba Rama merasa lemas dan napasnya sesak. Rama berusaha mengatur napasnya perlahan, tetapi kondisinya tidak kunjung membaik.

Pemuda itu mencari sesuatu di saku dan tasnya, tetapi tidak ketemu juga.

"Di mana obatnya?" Rama begitu panik tidak menemukan obatnya. Dengan napas yang semakin sesak ia masih berusaha mencari obatnya.

Sementara itu, Rangga yang tengah bermain bola di halaman, melihat kakaknya kesusahan, ia tidak peduli. Rangga berusaha cuek dan fokus bermain bola. Ia tidak akan menghiraukan Rama yang dianggapnya penyebab kedua orang tua mereka meninggal.

Rama menatap adiknya yang fokus bermain bola. "Rangga ... to-long ...."

Rangga tidak memedulikan lirihan dari kakaknya. Ia benci dan sangat marah kepada Rama, tidak akan ia membantu kakaknya sedikit pun.

Rama berusaha mengatur napas dan mencari obatnya, tetapi napasnya semakin sesak dan Rangga sama sekali tidak membantu Rama, hanya sibuk bermain bola sendirian di halaman depan.

Hingga akhirnya Rama pingsan di teras. Rangga tidak mengetahui jika kakaknya sudah tergeletak di teras karena ia asyik bermain bola.

Namun, saat ia melirik ke arah kakaknya, Rangga terbelalak melihat Rama tergeletak di teras. Rangga segera berlari menghampiri Rama. "Bang Rama!" teriak Rangga sambil menepuk pipinya. Namun, Rama tidak merespons.

"Abang! Bangun, Bang!"

Melihat Rama tidak bangun juga, Rangga pergi memanggil warga untuk menolong kakaknya. Mereka segera membawa Rama ke rumah sakit.

Sesampai di rumah sakit, Rama mulai ditangani dokter, sementara Rangga menunggu di luar. Tiba-tiba saja pikirannya melayang kepada hal lalu, sebuah pesan dari orang tuanya untuk dirinya.

"Adek sayang nggak sama Bang Rama?" tanya Maulana sambil mengusap kepala Rangga dengan lembut.

"Sayang, Ayah. Kenapa Ayah tanya begitu?"

"Abang lagi sakit keras. Kamu nggak apa-apa kan, kalau Abang kamu suatu saat minta tolong sama kamu?" tanya Maulana lagi.

Rangga mengangguk. "Ya, Ayah. Rangga bakal bantuin abang di saat abang minta tolong. Abang bisa sembuh kan, Yah?"

"Iya, pasti abang akan sembuh. Asal kita selalu dukung dia dan kasih semangat, serta membantunya. Jangan biarin abang sedih karena sakitnya, ya?"

Rangga kecil kembali mengangguk paham. "Iya, Ayah, Rangga nggak akan biarin abang sedih."

"Dek, kalau Ayah sama Bunda suatu saat pergi lebih dulu dari kamu dan abang Rama, tolong jagain abang, ya?"

Rangga bingung mengapa ayahnya berkata seperti itu? "Maksud Ayah apa?"

"Nak, umur kan, nggak ada yang tahu. Bisa aja Ayah sama bunda pergi dulu, Ayah minta jagain abang, ya. Selalu dukung abang, dan selalu temani dia, ya? Abang lagi sakit keras, dia sangat membutuhkan kamu kalau kami sudah pergi duluan. Kamu mau, kan?"

Rangga mengerutkan keningnya. "Emang Ayah sama bunda mau ke mana?" Rangga masih belum mengerti maksud dari ayahnya.

"Misal kalau Ayah sama bunda udah nggak ada di dunia ini, kamu harus jagain abang Rama, ya, Dek?"

Rangga menggelengkan kepalanya. "Ayah nggak boleh pergi. Ayah sama bunda harus tetap di sini sama Rangga dan abang Rama," sahut Rangga.

Maulana tersenyum. "Iya, Ayah sama bunda nggak akan ke mana-mana, Rangga. Namun, kalau itu terjadi, kamu harus ingat pesan Ayah ini, ya?" Pria itu mengusap kepala Rangga dengan lembut.

Rangga membuka matanya perlahan. "Jadi, itu maksud ucapan Ayah? Dan aku nggak tepatin janji Ayah. Aku nggak menolong abang," lirih Rangga.

Rangga masuk ke dalam setelah dokter memperbolehkan Rangga menjenguk Rama. Anak laki-laki itu menatap Rama yang terbaring lemah dan meraih tangan Rama yang dingin. "Aku akan menjaga Abang sesuai pesan ayah, tapi aku akan tetap membenci Abang, karena Bang Rama yang buat orang tua kita meninggal."

Rangga menunggu Rama sadar. Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya Rama mulai membuka matanya dan menatap adiknya yang menunggu dirinya. "Rangga ...."

"Mulai sekarang aku akan menjaga Abang. Aku nggak akan biarin Abang kambuh kayak tadi, tapi aku nggak akan baik-baik mengurus Abang karena aku sangat benci sama Abang. Selamanya, Bang Rama."

Rama baru sadar, terkejut dengan ucapan adiknya. Rasanya menyakitkan mendengar kalimat tajam dari adiknya.

Sejak saat itu, Rangga merawat Rama dengan rasa benci yang berkali lipat kepada Rama.

Kembali ke masa depan.

Rangga tertidur dengan posisi duduk sambil memeluk Fito keluarganya. Namun, tiba-tiba saja ia terbangun dan menatap sekelilingnya.

"Jam berapa ini?"

Rangga menengok ke arah jam dinding, sudah jam tujuh malam. Ia melewatkan salat asar dan magrib.

"Astaga, gue kelamaan tidur! Gue belum masak, sialan! Gue juga harus jenguk si Rama sialan itu!"

Rangga buru-buru mandi, membersihkan dirinya, berganti pakaian, kemudian pergi ke dapur.

Remaja berusia tiga belas tahun itu mulai menyiapkan bahan makanan. Karena di rumah hanya dirinya, Rangga hanya mengambil mi instan dengan sebutir telur, sayur sawi, dan cabai. Jika Rama masuk rumah sakit, Rangga selalu masak makanan yang cepat. Rangga tidak pernah memikirkan dirinya harus makan sehat kecuali jika ada Rama di rumah, ia harus masak makanan yang sehat.

Rangga mulai memasak mi kuah dengan cepat. Setelah matang, Rangga mulai menyajikan dan membawa makanannya ke balkon.

Rangga duduk di balkon sambil menyantap mi kuah dengan telur, sayuran sawi, dan potongan cabai. Ia makan sambil memikirkan bagaimana keadaan kakaknya saat ini.

"Itu orang apa bakal tidur lama?" gumamnya.

Rangga berusaha cepat melahap makanannya karena setelah ini ia akan pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi Rama.

Rangga telah menandaskan makanannya, segera bersiap pergi ke rumah sakit, melihat keadaan Rama. Remaja itu dengan naik sepeda menuju rumah sakit.

Beberapa menit kemudian, Rangga telah tiba di rumah sakit, ia segera berjalan menuju ruangan ICU, di mana kakaknya dirawat.

Rangga memasuki ruangan ICU dengan pakaian steril. Ia melangkah perlahan mendekati Rama yang terbaring lemah dengan dipenuhi peralatan medis.

"Tidur yang lama ya, Bang. Biar gue nggak capek-capek ngurusin lo di rumah. Di sini aja ya, lo. Biar nggak nyusahin gue. Kalau di sini ada perawat sama dokter yang ngurusin lo, gue nggak perlu repot-repot ngurusin lo."

Tiba-tiba Rama meneteskan air mata. Meski Rama sedang tidak sadar, kata-kata Rangga begitu menusuk Rama sama saja Rangga menginginkan Rama untuk terus dalam keadaan kritis.

Namun, Rangga tidak melihatnya. Ia menatap datar kakaknya. "Gue udah capek ngurusin orang yang gue benci dari tiga tahun yang lalu. Aktivitas gue terganggu buat ngurusin lo. Kalau bukan pesan ayah, gue nggak akan mau ngurusin lo, Rama ... Lo yang nyebabin kedua orang tua kita mati, lo harusnya bertanggung jawab! Bukan gue yang jadi perawat lo, sialan! Mati aja sana, Rama! Biar lo berhenti nyusahin gue! Gue capek sama lo!"

BAB 4 update, happy reading 🥰

Jembatan Luka | On Going Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang