Beberapa hari kemudian, kegiatan Rangga tidak terlalu padat, hanya saat pagi sebelum ke sekolah dan setelah pulang sekolah menjenguk kakaknya yang masih dirawat di rumah sakit karena Rama belum juga sadarkan diri.Rangga tengah tertidur tanpa sadar menggenggam tangan Rama dengan erat. Namun, tiba-tiba saja Rama menggerakkan jemarinya. Lalu, disusul kedua bola matanya mulai terbuka secara perlahan. Kedua bola matanya mengitari sekitar. Yang dilihatnya adalah ruangan bernuansa putih dan adiknya yang tengah tertidur di sampingnya.
"Rangga ...." Suara Rama begitu lirih bahkan tidak terdengar karena sangat kecil apalagi ia memakai alat bantu napas membuat suaranya tidak begitu terdengar.
Rama mencoba menggenggam tangan Rangga. Ia tersenyum tipis di balik alat bantu napasnya.
Adikku manis kalau lagi tidur. Kamu pasti capek banget ngurusin Abang, Ngga. Maafin Abang nggak bisa jagain kamu malah nyusahin kamu.
Rama terus memandangi wajah Rangga yang begitu tenang tertidur. Ia mencoba mengusap rambut Rangga dengan lembut. Rangga belum menyadari jika kakaknya sudah bangun, ia masih larut dalam mimpi.
Saat perawat masuk, mereka segera menghubungi dokter, tidak lama Rama mulai diperiksa oleh dokter.
Setelah pemeriksaan, perawat hendak membangunkan Rangga karena Rama akan dipindahkan ke ruangan rawat biasa, tetapi Rama melarangnya. Ia masih ingin memandangi wajah tenang Rangga yang sangat jarang ia jumpai sejak orang tua mereka meninggal.
Kapan kamu bisa maafin Abang, Ngga? Abang kangen kamu yang masih ceria kalau bersama Abang.
Tiba-tiba saja Rangga mulai membuka matanya dan menatap sekitar. Ia terkejut melihat Rama telah sadarkan diri. "Abang udah bangun?" tanya Rangga dengan suara serak.
Rama hanya mengangguk sambil tersenyum.
Rangga menatap dingin Rama. "Kirain Abang masih tidur lebih lama," cibir Rangga.
Senyum Rama memudar setelah ucapan tajam terlontar dari mulut Rangga.
"Enak loh Abang tidur di sini, gue nggak usah repot-repot ngurusin lo di rumah. Soalnya di rumah lo lebih nyusahin gue." Lagi-lagi ucapan Rangga menusuk relung hati Rama. Rama hanya terdiam membisu.
***
Rama telah dipindahkan ke ruangan rawat biasa. Saat ini Rangga tengah menyuapi Rama bubur dengan tatapan kesalnya.
"Harus habis ya, Bang. Jangan dimuntahin, bayar rumah sakit mahal!"
"I-iya, Abang akan berusaha habiskan."
"Awas aja kalau dimuntahin, gue tinggal pulang lo!" ancamnya.
Rama berusaha menelan bubur yang disuapkan Rangga padanya. Ia akan berusaha menghabiskannya daripada nanti Rangga marah padanya.
Namun, tiba-tiba Rama merasakan mual, tetapi sebisa mungkin ia tahan karena Rangga bisa marah padanya, Rama tidak ingin Rangga marah lagi kepadanya.
"Abang kenapa?" Rangga merasa Rama tampak aneh.
Rama menggeleng. Ia takut jika menjawab, ia akan muntah di depan Rangga.
"Abang mau muntah?" Rangga merasa sepertinya Rama sudah tidak sanggup menghabiskan buburnya.
Rama menggeleng, dan membuang wajahnya dari hadapan Rangga. Ia menutup mulutnya, berharap ia tidak muntah.
Rangga memutar bola matanya dengan malas. "Abang mau muntah, kan? Nggak usah ditahan-tahan gitu! Gue malah bingung!" gerutu Rangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jembatan Luka | On Going
Teen Fiction[Brothership - Family - Angst] Sebuah ikatan persaudaraan yang tercabik-cabik oleh luka masa lalu. Ramadhan Faturrahman biasa dipanggil Rama adalah seorang pemuda yang berjuang melawan penyakit mematikan, terjebak dalam pergulatan antara keingina...