E.

1.1K 13 0
                                    

"Kami pulang ya Pak?" tanya si waiter kepada Mas Bima.

Jam di dinding cafe sudah menunjuk angka 10.45, menandakan bahwa jam pulang karyawan telah lama berlalu. Listrik yang sempat padam beberapa menit tadi sudah menyala lagi.

Lampu di dalam cafe sudah mati sebagian, dan kelambu pun sudah ditutup.

Mas Bima berdiri di dekat counter barista sementara Dea berada di dekat mesin kasir, menyibukkan dirinya dengan entah apa.

"Masih hujan loh ini," Mas Bima menunjuk ke arah jendela cafe, yang basah kuyup oleh air.

"Ya kalau nunggu hujan, kan enggak tahu kapan reda nya Pak," timpal si waitress sambil mengenakan mantel jaket. Ia juga membawa kantong plastik untuk melindungi ponsel dan dompetnya.

"Yakin mau pulang hujan- hujan?" Mas Bima melipat lengannya, menyandar pada counter.

"Iya Pak, gak apa," ujar keduanya hampir bersamaan, sambil berjalan menuju pintu keluar.
"Biar gak kemalaman."

-Kling.

Suara lonceng kecil berbunyi saat pintu cafe menutup kembali. Menyisakan Dea dan Mas Bima berdua di dalam sini.

Mas Bima yang hendak meneruskan kerjaannya untuk inventory, berbalik dan seketika terhenti tatkala melihat Dea berdiri begitu saja menghadangnya.

-PLAK!!

Dea menampar Mas Bima keras. Wajahnya nampak begitu tajam, penuh emosi.

Mas Bima berdiri santai, mengusap pipinya.

"Kurang ajar," gumam Dea dengan suara gemetar menahan amarah.

"Kok marah? Bukannya kamu suka?" tanya Mas Bima- yang justru menambah panas telinga Dea.

Mata gadis itu melebar, dan dadanya mengembang. Ia merentangkan tangannya hendak menampar Mas Bima lagi, namun dengan mudah lelaki itu menangkap tangan Dea.

"..."

"Lepasin," Dea mencoba menarik tangannya. Namun perbedaan fisik mereka membuat usaha Dea tak ada gunanya. Baru ia menyadari betapa ia tak berdaya melawan Mas Bima.
"Lepasin tanganku!"

Namun satu tangan Mas Bima justru menahan kedua pipi Dea kasar, dan kembali melahap bibir gadis itu.

Tarikan tangan Dea mengendor akibat ciuman Mas Bima.

"See?" ujar Mas Bima lirih. "You do like it, no you?"

Dea mengusap bibirnya, balas menatap wajah Mas Bima. "Not at all."

"Lalu kenapa kamu tidak menolaknya?" Mas Bima masih memegangi pergelangan tangan Dea. Ia justru merapatkan badannya pasa gadis itu. "You could scream for help, but you didn't."

Dea menelan ludah, mengalihkan pandang dari Mas Bima.

Mas Bima yang baru saja merenggut ciuman pertamanya di dalam storage yang gelap saat mati lampu tadi. Mas Bima yang dengan mudahnya merengkuh badan Dea, menghimpitnya di antara tubuhnya dan rak. Dan menjamah bagian paling pribadinya walau masih memakai celana jeans.

Itu semuanya adalah yang pertama bagi Dea.
Dea seharusnya bisa berteriak, menampar atau melakukan apa.
Tapi kenapa Dea membiarkannya?

Kenapa justru Dea meleleh saat Mas Bima memperlakukannya seperti itu?
Kenapa justru ada bagian dalam diri Dea yang merasa kecewa saat lampu menyala kembali?
Apakah sebenarnya Dea-
menginginkannya?

Tidak! Jangankan berciuman, berpacaran saja Dea tak pernah. Hidupnya sebelum ini membuat Dea tak pernah berpikir untuk berpacaran.
Jadi mana mungkin jika sampai dia menginginkan di sentuh oleh lelaki?

Jadi apa sebenarnya yang Dea rasakan tadi di storage?

Dea menunduk dengan mata terasa panas. Sudut matanya mengalir, membentuk garis panjang di pipi.

"Huuu.." lirih Dea terisak. Bahunya berguncang karena tangis.

Melihat ini, Mas Bima melepas tangan Dea.
Mas Bima tertegun di hadapan gadis itu, memandanginya tanpa bisa berbuat apa- apa.

Ia telah melakukan hal yang membuat gadis sebaik dan sepolos Dea menangis. Mas Bima merasa sangat bersalah.

Kejadian tak sengaja saat Dea mendempet tubuhnya- dan mati lampu- seolah memutus akal sehat Mas Bima. Membuat lelaki itu berbuat spontan tanpa berpikir.

"..."

Dea berbalik sambil mengusap pipinya, berjalan menuju tangga untuk kembali ke kamarnya di lantai dua cafe.

"Dea," Mas Bima memegang pergelangan tangan Dea lagi. Namun kali ini berbeda, pegangan Mas Bima terasa lembut tanpa ada intensi menyakiti. "I do sorry for what i've done."

Dea tak menjawab. Ia berdiri di tempat sambil terisak, membelakangi lelaki itu.

Mas Bima mendekat, berdiri di sampingnya. Ia sedikit membungkuk untuk melihat wajah gadis manis itu.

"Maafkan aku ya?" Mas Bima mengusap lembut pipi gadis itu- yang entah kenapa Dea tak merasakan risih.

Dea tak tahu- dengan perasaannya sendiri. Dea tak bisa paham dengan keinginan terdalam nya.
Bahkan Dea merasa ia tak bisa mengenali dirinya sendiri.

Dea bingung.

Dan Dea hanya diam saja saat Mas Bima menggandeng tangannya, menaiki tangga si samping storage, menuju kamar di lantai dua.

CREAMY LATTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang