3

33 3 0
                                    

Kedatangan Kieran dan Leona ke sekolah itu seperti petir di siang bolong. Suara bisik-bisik segera memenuhi ruang kelas, menggema dengan semangat yang tak terduga. Leona menggeleng pelan, tak menyangka bahwa kehadiran mereka berdua bisa membuat gaduh sedemikian rupa. Bukankah ini hanya hal biasa? Abang dan adik yang datang bersama, seharusnya itu menjadi hal yang wajar. Namun, tampaknya, kehidupan Leona Amara yang baru ia sadari, menyimpan rahasia yang lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan.

Dalam kelas, Leona duduk sendirian, memandangi dinding-dinding yang seolah menyimpan banyak cerita. Pikiran dan perasaannya terbenam dalam lautan kebingungan. Kenangan yang seharusnya mengalir deras kini terhenti, seolah dibungkam oleh waktu yang tak mau berbagi. “Gue harus cari tahu,” gumamnya, berusaha meyakinkan diri. “Gak mungkin kan mereka seheboh ini kalau bukan ada hal yang terjadi?” Suara hatinya bergetar, menandakan ketegangan yang tak bisa diabaikan.

Dengan setiap detakan jantung, Leona semakin yakin bahwa kehidupan Leona Amara tidak semulus yang dibayangkan. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik tawa dan senyuman yang mungkin menyimpan kepedihan. Ia menghembuskan napas dalam-dalam, merencanakan langkah-langkahnya. Rasa ingin tahunya membara, dorongan untuk mencari tahu alasan di balik kegemparan itu tumbuh kuat dalam dirinya. Ia ingin menemukan kebenaran—siapa lelaki brengsek yang selalu menyakiti Leona Amara yang asli.

Tiba-tiba, teriakan nyaring memecah lamunannya. “LEONA!” Dua gadis berseragam ketat melangkah masuk ke dalam kelas, suasana yang semula tenang kini kembali bergemuruh.

Leona berdecih, mengenali siapa mereka. Sahabat munafiknya, yang pernah menjadi bagian dari kehidupan yang kini terasa asing. Islia, gadis yang selalu melangkah dengan percaya diri, di sampingnya ada Serena, teman yang selalu siap sedia.

“Leona, maaf ya waktu itu kita nggak sempat jenguk lo!” kata Islia dengan nada canggung, suaranya seolah dipenuhi rasa bersalah yang dipaksakan. Leona menoleh, tatapannya menelusuri name tag di dada kanan Islia, berusaha menemukan kehangatan yang dulu pernah ada, namun sekarang terasa dingin dan hampa.

Serena, dengan senyumnya yang biasa, menambahkan, “Gimana keadaan lo? Sumpah gue kangen nongkrong sama lo!"

Mata Leona menyipit tajam, menatap kedua gadis itu seolah sedang menembus wajah-wajah yang dulu terasa begitu akrab, namun kini seolah hanya topeng semu. "Kalian... siapa?" Suara Leona terdengar datar, namun terselip nada dingin yang membuat suasana di sekitarnya mendadak senyap. Dalam diam, ia memainkan perannya sebagai Leona Amara yang kini tak memiliki jejak masa lalu, meski hatinya menyimpan decihan kesal.

Islia dan Serena saling bertukar pandang, keterkejutan tampak jelas di wajah mereka. “Kita sahabat lo, Len. Lo kenapa?” gumam Islia dengan bingung, berusaha mencari kepastian di mata Leona.

"Sahabat?" Leona mengulang kata itu, suaranya bagai sayatan tajam di udara.

“Iya, Len. Masa lo lupa?” Serena mencoba meyakinkannya, namun Leona hanya menatapnya tanpa ekspresi.

"Sori," katanya singkat, bahunya terangkat acuh tak acuh. "Kata dokter, gue amnesia." Jawaban itu menusuk dengan keheningan yang aneh, membuat wajah Islia dan Serena seketika berubah.

"Astaga, Len. Lo serius?” Islia berseru terkejut, memajukan langkahnya, sementara Serena memegang lengan Leona, matanya berkaca-kaca seolah penuh kekhawatiran.

Leona mendengus pelan, menahan keengganan yang bergolak di hatinya. “Khawatir? Atau cuma penasaran,” katanya, melontarkan kata-kata itu dengan kepahitan yang tersembunyi di balik senyumnya yang dingin.

---

Sorak-sorai terdengar nyaring di lapangan basket, mencuat dari kerumunan penonton yang memanggil-manggil nama kapten basket. Namun bagi Leona, suara itu hanyalah hiruk-pikuk yang mengganggu, terlalu riuh untuk hatinya yang sedang larut dalam pencarian jati diri. Dengan langkah pelan, ia menjauh dari kerumunan, berusaha menghindari suara yang menggetarkan pikirannya.

Leona : Awal Yang Baru Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang