Kyai Sengkelat
“Kukira dengan berkumandangnya proklamasi kita benar-benar sudah merdeka. Ternyata justru baru dimulai, ya?”
Lawan bicaranya mengangguk.
“Perjuangan kita belum berakhir, lihat saja mereka yang duduk di pemerintahan sana pasti sedang kewalahan menghadapi rakyatnya sendiri juga tetek bengek lainnya.”
“Nasib rakyat di pelosok negeri seperti kita ini harus diperjuangkan juga dengan mandiri, jangan hanya bergantung dengan pemerintah. Mereka jauh lebih lelah daripada kita, ‘kan?”
Orang-orang berseragam serba putih dalam ruangan itu mengangguk. Mereka bergegas untuk shift selanjutnya. Juru rawat yang digaji dengan upah sukarela itu menuju kamar pasien dengan seperangkat ‘alat perang’-nya masing-masing. Satu di antara mereka adalah Dayu, yang sejak tadi hanya diam menyimak tidak ikut berkomentar dalam obrolan antar rekan sejawat. Pikirannya dipenuhi oleh sosok yang beberapa hari terakhir ini menangis di ruangan yang akan ia datangi lagi untuk kesekian kalinya.
“Sekar, kau sudah hendak pergi?” tanyanya setelah pintu terbuka sempurna, menampakkan sosok gadis berwajah pucat dengan mata sayu.
“Dayu, lagi-lagi aku merepotkanmu. Sudah kubilang kau bekerjalah saja, aku bisa mengurusnya sendiri.” Sekar pasrah melihat tangan Dayu dengan cekatan mengambil alih tas
jinjing besar dalam genggamannya.
“Aku sedang senggang dan aku ndak pernah merasa direpotkan olehmu.” Dayu melenggang keluar diikuti Sekar. Terdengar pintu ruangan ditutup dan keduanya berhenti sejenak di depan pintu kamar
bagsal itu.Sekar tersenyum, itu membuat Dayu merasa lega karena gadis itu sebenarnya tidak cukup tidur beberapa hari terakhir. Selain itu, berat badannya juga tampak merosot. Tapi, senyumnya itu meski hanya sekilas, membuatnya kembali tampak ‘hidup’.
“Terima kasih, Dayu. Kau selalu saja seperti ini. Peduli pada kami, juga orang-orang.”
“Itu … Sekar tahu itu kewajibanku, ‘kan?”
Sekar terdiam sesaat.
“Bukan itu maksudku. Kau memang pria yang baik, Dayu.”
Dayu memalingkan wajah, salah tingkah. Itu membuat Sekar terkekeh. Ia suka ekspresi Dayu saat seperti itu.
Dayu kembali menatap Sekar, wajahnya kembali serius. “Sekar aku–”
“Ah, Dayu, kau ingat pernah berjanji padaku, ‘kan?”
Dayu menyadari Sekar menghindari tatapannya.
“Janji? Ah, untuk menjaga sesuatu yang sangat berharga darimu?”
Sekar mengangguk.
“Tapi, apa maksudnya itu, Sekar?”
“Kau tak perlu mengantarku sampai rumah, aku bisa naik angkutan umum di depan. Sepulang kerja kalau kau tidak lelah, mampirlah sebentar ke rumahku. Terima kasih juga telah mengizinkan beberapa barangku menginap di sini beberapa hari, juga urusan administrasi yang
menyusul. Sesungguhnya aku tak enak hati.”“Bukan masalah, pihak rumah sakit juga memberikan izin agar Sekar fokus untuk pemakaman kakek. Syukurlah semuanya berjalan lancar. Tapi, bukankah ini berarti kau akan segera pergi?”
Lagi-lagi Sekar menghindari tatapan laki-laki di hadapannya. Ia menahan air matanya agar tidak tumpah, setidaknya dia tidak menangis di depan seseorang yang amat berharga baginya.
“Jadi, kau sudah tahu?” Sekar berkata lirih.
Dayu mengangguk lemah. “Maaf aku ndak sengaja mencuri dengar pembicaraanmu dengan kakek tempo hari. Mengenai wasiat kakek.”