Suatu Hari di Malam Tahun Baru (5)

1 1 0
                                    

Anjing Manis dan Kupu-kupu dalam Perut

Semakin lama aku mengenalnya, semakin lama pula waktu kami habiskan bersama. Kami menjadi semakin dekat. Dan dalam waktu yang cukup lama itu aku mengetahui satu hal. Pria tua itu ternyata bosku. Aku tidak pernah melupakan aroma khas itu. Aroma tubuh yang dibalut wangi khas pinus yang membuatku ingin muntah. Pantas saja bau itu juga melekat pada tubuh Ken. Pria itu ayahnya Ken.

“Apa kau terluka?” Nada suara Ken terdengar khawatir. Wajahnya juga menyiratkan hal serupa.

Dia berlutut di hadapanku yang masih tertunduk dengan jemari gemetar. Ini bukan yang pertama, tapi mengapa jemariku tidak mengindahkan apa yang kulakukan? Pisau dapur itu tergeletak tepat di sebelah anjing milik Ken. Anjing itu bersimbah darah. Anjing itu telah mati. Dan aku yang membunuhnya. Ken tahu itu.

“Dia pasti menyerangmu, tidak biasanya dia melakukan itu. Padahal kalian sudah lama saling mengenal bukan? Jangan terlalu dipikirkan, Loly memang sudah seperti adik sendiri bagiku. Tapi, hal seperti ini kerap terjadi, ‘kan? Sama halnya perceraian kedua orangtuaku yang sesungguhnya tidak kuharapkan. Itu semua jelas di luar kendaliku. Tidak perlu merasa bersalah atas semua yang sudah terjadi, Ai.”

Tidak, Loly—anjing putih itu—tidak menyerangku. Aku yang menyerangnya. Aku tidak menyukainya. Satu hal lagi yang kutahu setelah aku mengenal Ken. Loly adalah anjing peliharaannya yang tinggal bersama ayah Ken. Itu alasan Ken memilih kerja tak jauh dari rumah ayahnya, untuk menjenguk keduanya.

Jemarinya dengan lihai membebat tanganku yang terluka oleh pisau atas kesalahanku sendiri. Aku tidak berani menatap manik matanya. Itu membuatku semakin merasa kalah telak. Aku tidak boleh gentar hanya karena kata-katanya yang terdengar bijak dan membuatku merasa bersalah.

Ini bukan kesalahanku. Ini salahnya dan aku hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sejak dulu.

“Oh, iya. Kenapa memintaku memanggil ayah?”

Aku sedikit tergeragap dengan pertanyaannya yang tiba-tiba.

“Ah, itu … aku ingin membahas pekerjaan,” kilahku.

Ken menatapku lekat, ada sekelebat kesedihan di kedua matanya.

“Jangan bilang kau mau resign?”

Aku terdiam. Aku tidak tahu harus mengatakan apa padanya.

“Aku tahu ini hanya pekerjaan paruh waktu dan kau pasti sedang dalam masa pencarian untuk pekerjaan tetapmu. Tapi, sampai sebelum hari wisuda tiba, bisakah tetap bekerja di sini? Itu tidak akan membuang waktumu dalam mencari pekerjaan yang lain, ‘kan? Mengingat jaman sekarang segalanya serba digital,” lanjutnya membujukku.

Aku hanya menggeleng lemah.
“Maaf, Ken. Keputusanku sudah bulat.”

Aku melihat bahunya terkulai. Mata gelap itu semakin redup.

.
.
.

Seperti yang telah kukatakan padanya, aku tidak akan menarik kembali kata-kataku, keputusan yang sudah kubuat. Keputusanku sudah bulat. Aku akan menemui bosku. Tapi, bagaimana ini? Perutku mulai bergolak. Bukan karena aroma tubuh Ken. Ini cukup menyenangkan sekaligus mengganggu.

Kata orang, jika kau merasa ada kupu-kupu berterbangan dalam perutmu, itu artinya kau sedang mengalami suatu fase merah jambu dalam hidupmu. Ya, tidak salah lagi. Jatuh cinta. Ken, bagaimana ini? Terlalu banyak berinteraksi dengannya membuatku jatuh pula pada hatinya. Ini tidak boleh dibiarkan. Saat rasa itu semakin tumbuh, akar-akar yang menancap pun akan semakin kuat. Sebelum ini semua terjadi dan menjadi penghalang untukku melangkah, aku harus mengambil sikap. Dan tentunya, lebih cepat akan lebih baik.

Ken, maafkan aku. Semua kupu-kupu yang berterbangan indah dalam perutku, akan menjadi bangkai detik ini juga. Pembunuhan masal harus kulakukan pada mereka. Aku tidak ingin menjadi lemah seperti dulu. Aku tidak mau dan tidak akan pernah menjadi sperti itu lagi. Aku muak menjadi pecundang.

Ken, selamat tinggal.

.
.
.

Ruang kerja berukuran 3 x 3 meter ini membuatku terintimidasi. Ruangan sempit yang membuatku mau tidak mau mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang menjadi pintu gerbang atas apa yang akan kulakukan terhadap seseorang di hadapanku. Aroma yang menyengat ini, aku sangat mengenalnya. Sebuah masker medis sudah menutup sempurna di hidung dan daguku, tapi aroma itu terus berputar dalam pikiranku. Ya, mungkin itu hanya refleksi dari alam bawah sadarku atas penderitaanku. Kurasa.

“Ah, kau karyawan paruh waktu yang dipekerjakan oleh mantan istriku, ya?”

Sudah kuduga, dia tidak mengenaliku.

Ia menarik kursi di balik meja kacanya. Mata yang dibantu oleh kacamata itu memindai surat pengunduran diriku yang kini ada pada kedua tangannya.

L“Kerjamu bagus, kau tidak pernah membolos atau melakukan hal-hal yang dapat merugikan toko,” terangnya sesekali menatapku dan kertas di tangannya secara bergantian.

Aku hanya mengangguk.

“Oh, ada satu hal yang mengganjalku …”

Aku menatapnya, ia menaikkan kacamata yang melorot dari batang hidungnya.

“Kenapa kau membunuh anjingku? Itu kesayangan Ken—anakku. Kupikir, kalian cukup dekat. Kau dan Ken.”

Aku tersenyum mendengar pertanyaannya.

Nah, lebih cepat lebih baik, bukan?

“Anda sungguh ingin tahu alasannya, Pak?” Bermain-main mengulur waktu sebentar bukan masalah.Dia memiringkan kepalanya. Bingung. Baiklah, akan kuperjelas situasinya.

Aku mendekat, mengikis jarak di antara kami. Itu membuatnya menatapku lebih lekat. Aku nekat membuka masker dan melawan bau terkutuk ini.

“Anjing sialan itu yang membantumu menghancurkan hidupku kalau Anda lupa.” Aku menggiring pandangannya untuk menatap kendang kosong di luar jendela. Kandang Loly.

Keningnya berkerut, orang ini bodoh atau bagaimana?

“Kurasa Anda bingung dengan ucapan saya.”

“Ya, tentu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Dia mendekatkan wajahnya padaku memindai wajahku dengan saksama.

“Tentu,” ucapku percaya diri seraya menggulung lengan kanan hoodie-ku.

Matanya membelalak dan ia tersentak mundur hingga kursi empuknya yang beroda terdorong menabrak tembok di belakangnya.

“Sekarang kurasa Anda sudah tidak bingung.” Aku tersenyum penuh kemenangan meski kutahu ini belum bagian akhirnya.

Sebelum jemarinya menggapai pintu, aku yang jaraknya lebih dekat tentu lebih cepat memutar kunci.
Klik. Pintu terkunci.

Dan pisau dapur yang sejak tadi bersarang dalam saku hoodie kini beralih dalam genggamanku. Benda ini yang akan menjadi sang pemeran utama.

Jangan lupa vote!
Semoga suka, terima kasih sudah meluangkan waktu.
Kritik dan saran dipersilakan.

Hymne ElegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang