Suatu Hari di Malam Tahun Baru (2)

2 1 0
                                    

Masker Hitam dan Hoodie Oversize

Gadis itu sungguh misterius. Hampir setiap hari pada pagi dan sore aku bertemu dengannya, tapi aku tidak tahu di mana dia bekerja. Aku bisa menebak kalau dia seorang pekerja dilihat dari cara berpaikaiannya yang formal dan tentu saja kami selalu bertemu di jam berangkat dan pulang kerja budak korporat pada umumnya.

Kalau baru bertemu dengannya sekali dua kali, aku yakin kau akan mengatakan jika dia gadis yang biasa saja—tidak ada istimewanya. Namun, bayangkan, nyaris setiap hari dan dua kali dalam sehari aku bertemu dengannya. Mau tidak mau, secara spontan aku mengamatinya. Aku tahu polusi di ibu kota sangat tidak tahu diri, tapi berdesakan dalam kereta cepat dengan segala macam postur tubuh ini tidakkah membuatnya sumpek dan barang sekali ingin melepas masker hitamnya? Oh, hoodie oversize-nya juga, bukankah itu sangat panas dengan bahan setebal itu?

Aku mulai memikirkan gadis itu mungkin karena penatnya bekerja yang dilanjutkan berdesakan dalam transportasi umum. Itu membuatku tidak waras hingga aku mulai memperhatikan orang lain seperti tidak ada kerjaan. Sesungguhnya, aku sangat sibuk, aku tidak berbohong.

Pada suatu pagi, aku pernah melihat gadis itu terbatuk-batuk dalam maskernya. Seperti ada yang bergolak dalam perutnya karena dia terus memegangi perut dengan tubuh bergetar dan … sepertinya dia muntah dalam masker hitam itu.

Sorenya, kejadian itu berulang, tetapi sebelum sesuatu dalam lambungnya mencapai masker hitamnya, gadis itu bergegas ke kamar kecil. Kejadian seperti itu beberapa kali kusaksikan. Apakah dia sakit? Aku tidak tahu. Jika aku bertanya, sepertinya dia akan berpikir aku aneh karena mencampuri urusannya. Jadi, baiklah itu bukan urusanku. Tapi, jujur saja, itu sangat menggangguku. Kenapa? Tidak tahu, mungkin aku hanya penasaran atau khawatir? Ah, aku sungguh tidak tahu.

Sebenarnya, aku pernah mencoba mendekatinya. Aku selalu membawa minyak aroma terapi karena tubuhku gampang terserang flu. Aku ingin berbagi dengannya. Bisa saja dia masuk angin karena suhu di luar terkadang tidak menentu. Ramalan cuaca tidak terlalu bisa diandalkan. Sehingga, masuk akal jika aku ingin membantunya, ‘kan? Namun, belum genap langkahku mencapai sepelemparan batu darinya, dia menunduk dan tenggelam dalam sela-sela tubuh manusia yang berdesakan. Lagi, peristiwa itu tidak hanya terjadi satu dua kali. Dia tampak menghindariku.

Pada suatu waktu seraya menatap jendela kereta dan melirik gadis itu—yang berdiri di ujung gerbong—sesekali, aku menghela napas dan berkata pada diriku sendiri.

“Aku ingin berkenalan dengannya. Bolehkah?”

Jangan lupa vote!
Semoga suka, terima kasih sudah meluangkan waktu.
Kritik dan saran dipersilakan.

Hymne ElegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang