Paris and the Spotlight

4 0 0
                                    

Setelah percakapan terakhirnya dengan Nathaniel di ruang makan mewah itu, Bianca merasa kelelahan secara emosional. Semua yang terjadi hari ini terasa begitu berat. Begitu Nathaniel keluar dari ruangan, Bianca masih terduduk diam di tempatnya, memandang kosong ke cangkir teh yang kini sudah dingin. Pikirannya penuh, terutama dengan bagaimana hidupnya tiba-tiba berubah begitu drastis.

Ketika telepon dari ibunya berakhir, Bianca memutuskan bahwa dia butuh waktu untuk menjernihkan pikirannya. Dan untungnya, kesempatan itu datang di saat yang tepat. Sebagai salah satu model top dunia, jadwalnya selalu penuh dengan pemotretan, fashion show, dan pertemuan bisnis yang tak henti-hentinya. Hanya beberapa jam setelah pertengkarannya dengan Nathaniel, manajernya, Maya, menelepon dengan kabar penting.

"Bianca, kamu harus ke Paris besok pagi. Ada acara fashion week yang nggak bisa kamu lewatin. Para desainer udah nungguin kamu di sana. Kamu kan tahu ini bagian dari kontrak penting kita." Suara Maya terdengar penuh urgensi, seakan tidak ada yang lebih penting selain keberangkatan Bianca ke Paris.

Bianca terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi itu. Paris, kota mode dunia, selalu menjadi tujuan utamanya dalam beberapa tahun terakhir. Namun kali ini, ada sedikit keraguan di hatinya. Apa dia siap kembali ke dunia itu, setelah semua kekacauan yang baru saja terjadi? Tapi, dia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa dilewatkan, dan dia tak ingin mengecewakan timnya.

"Paris, ya?" gumam Bianca, setengah berbicara kepada dirinya sendiri. "Yaudah, aku akan siapin semuanya. Besok pagi aku berangkat."

"Bagus, aku akan kirim detailnya ke email kamu. Jangan sampai telat, Bianca. Dunia menunggu penampilan kamu." Maya menutup telepon, meninggalkan Bianca dengan perasaan campur aduk.

Malam itu, Bianca berkemas tanpa banyak kata. Di tengah hiruk-pikuk perjodohan yang tak diinginkannya, pekerjaan tetap menjadi pelariannya. Dunia modeling mungkin keras dan gelap, tapi itu adalah dunia yang dia kenal dan kuasai. Lagipula, lebih baik dia terbang ke Paris dan menenggelamkan diri dalam pekerjaan daripada terus memikirkan Nathaniel dan pernikahan yang akan datang.

Penerbangan ke Paris di keesokan harinya terasa panjang, namun Bianca lebih memilih duduk diam dan merenung. Pemandangan awan di luar jendela pesawat memberinya ruang untuk sejenak melupakan realitas yang ada. Di depannya, dunia mode yang penuh kilauan dan intrik sudah menunggu.

Bianca menghela napas panjang saat pesawat mendarat mulus di bandara Charles de Gaulle, Paris. Kota mode dunia ini bukanlah tempat yang asing baginya. Paris telah menjadi rumah keduanya, tempat di mana ia sering hadir untuk berbagai acara fashion show bergengsi dan pemotretan majalah internasional. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Pikirannya masih terus kembali ke pertemuan terakhirnya dengan Nathaniel. Pria itu... dingin, tegas, dan tak tersentuh, seolah perjodohan mereka hanya sekadar formalitas yang tidak berarti apa-apa baginya.

Dia mengerjapkan matanya, mencoba mengusir bayangan Nathaniel dari pikirannya. Bagaimanapun juga, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan masalah pribadi. Paris Fashion Week sudah menunggunya, dan dia harus berada di puncak penampilannya. Dunia modeling tidak mengenal belas kasihan. Sedikit saja kamu kehilangan fokus, posisimu bisa segera tergeser oleh model-model baru yang lebih muda dan lebih segar.

Setelah melewati kerumunan paparazzi yang berkumpul di luar bandara, Bianca menaiki mobil hitam mewah yang sudah menunggunya. Manajernya, Maya, duduk di dalam, tersenyum saat melihatnya masuk.

"Selamat datang di Paris, superstar," sapa Maya dengan nada ceria, meskipun matanya menyiratkan kelelahan setelah perjalanan panjang dari Jakarta. "Kamu siap untuk minggu yang sibuk? Jadwal kita benar-benar padat kali ini. Ada beberapa pemotretan untuk majalah Vogue dan Harper's Bazaar, plus acara runway untuk Chanel dan Dior."

Marriage In The Spotlight Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang