💐
Warung makan khas sunda ramai sekali saat akhir pekan. Gendis berada di sana sejak pagi bahkan saat belum buka. Ia sibuk di dapur membantu anak buahnya menyiapkan banyak hal.
"Tik! Meja sepuluh tanyain, pesanannya udah semua belum?" perintah Gendis.
"Baik, Bu!" sahut semangat Tika. Gendis menuju meja prasmanan berisi wadah-wadah delapan jenis sambal yang digratiskan.
"Jo, Jojo," panggilnya sambil melambaikan tangan. Jojo mendekat. "Sambal mangganya tinggal setengah, ambil di dapur, isi ya. Jangan sampai begini," bisiknya.
"Iya, Bu Gendis," tukas Jojo seraya berlari. Warung itu bersuansa putih dan hijau muda. Kapasitas bisa menambung seratus orang lebih, dengan konsep kekeluargaan, menu yang disediakan Gendis bahkan ada yang khusus untuk anak-anak dengan paket menarik juga porsi yang pas, jadi tidak terbuang makanannya.
Prinsip jualanannya begitu, jika tidak habis makanan yang dipesan, kena denda tiga puluh persen. Tidak takut pengunjung lari? Oh, tidak. Justru ia mau mengajarkan pengunjung supaya tidak membuang makanan, masih banyak orang susah makan di luar sana.
"Bu Agung," sapa seseorang. Gendis menoleh. "Apa kabar," sambung wanita yang tak lagi muda tapi tetap cantik. Pakaian pun sederhana.
"Siapa, ya?" Kening Gendis mengernyit.
"Saya Larasati, istrinya Alif."
Gendis masih lupa.
"Kita dulu lomba gerak jalan bareng, latihan voli juga. Kita juara berdua lomba tenis."
Gendis memekik senang, ia peluk Larasati. "Apa kabar, Laras! Ya Allah! Kamu bukannya pindah ke Semarang?" Gendis menggenggam jemari tangan Laras.
"Udah kembali ke sini lagi, Ndis. Udah dua bulan ini. Cuma baru tempatin rumah semingguan. Kamu makin sukses, keren kamu," puji Larasati.
"Bisa aja. Eh, maksudnya kamu kembali tinggal di rumahmu yang udah kosong itu? Bukannya rumah itu udah--"
"Nggak layak huni?" sela Laras. Ia tersenyum. "Masih, kok, Ndis. Pelan-pelan aku renov nanti. Ngomong-ngomong, aku mau beli makan siang, ya."
"Ayo ... ayo, ambil. Nggak usah bayar, seneng lihat kamu ke sini lagi. Kamu kurusan, Ras. Kamu sehat, kan? Udah berapa lama ya kamu pindah dari RT kita?" Gendis merangkul Laras.
"Delapan tahun. Anak-anak apa kabar?" Laras memegang piring kosong dan capitan makanan. Ia ambil ayam ungkep dua, lalu tempe dan tahu. Gendis memperhatikan sambil bertanya dalam hati, kenapa dikit banget?
"Anak-anakku sehat. Udah kerja, kecuali Nanda, dia baru mau lulus SMA. Kamu gimana? Anak-anak sehat?" Gendis mengambil alih piring, ia serahkan ke juru masak untuk di goreng.
"Sehat. Nilam kerja di departemen store kalau Aisyah kerja di toko temennya sambil selesaikan kuliah."
"Aisyah yang barengan sama Daffa, kan?" Gendis berjalan ke arah meja kasir diikuti Laras.
"Lebih tua Daffa dua tahun, Ndis." Laras membuka dompet yang dipegang sejak tadi.
"Oh, iya, ya, lupa. Kuliah jurusan apa Aisyah?"
"Ilmu perpustakaan. Beasiswa," tukas Laras.
"Wajar, Aisyah emang pinter. Kalau Nilam dulunya kuliah apa?"
"Nilam nggak kuliah, dia maunya langsung kerja. Eh, berapa semuanya?" Laras mengeluarkan uang seratus ribu.
"Bawa. Nggak usah bayar. Kamu mau sambel apa? Ayo ambil bebas." Gendis menggamit lengan Laras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mertua masa gini?
Fiksi UmumTidak semua mertua jahat seperti ibu tiri kejam bak dongeng. Namun, tidak semua mertua selalu salah dalam bertindak apalagi mencampuri urusan anak dan menantunya. Mari kenalan dengan Ibu Gendis. Wanita beranak empat yang anti manja-manja club apa-a...