IV. PERTENGKARAN

64 25 15
                                    

Udara sore itu mengisi kamar hotel dengan hawa berat, seolah menyimpan rahasia yang enggan dibuka. Gorden beludru tebal menjuntai menutupi jendela besar, menyisakan redup cahaya lampu tidur yang sesekali berkedip, menciptakan bayangan samar di dinding. Ruangan itu begitu sunyi, namun penuh dengan ketegangan yang tak terucap.

Leon berdiri, sosoknya memancarkan wibawa seorang pria yang terbiasa memegang kendali. Sebagai CEO dari kerajaan Food and Beverage yang terkenal, setiap keputusannya selalu dihitung matang.

Namun, menghadapi Karin—wanita muda yang keras kepala—ia mulai kehilangan kesabaran.

"Karin," suara Leon terdengar berat namun terkontrol, "Berhenti meronta. Kamu hanya membuat segalanya lebih sulit."

"Jangan menyentuhku, Leon!" Karin berusaha meronta, tubuhnya mencoba melepaskan cengkeraman lelaki itu. Suaranya nyaring, dipenuhi emosi yang membuncah. "Aku sudah bilang, Aku tidak ingin dipaksa seperti ini!"

Leon menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Tapi, kesabarannya terkikis setiap kali Karin melawan.

"Perjodohan ini sudah diputuskan. Tidak ada yang bisa mengubahnya. Cepat atau lambat, kamu harus menerima kenyataan."

Karin menatap Leon dengan pandangan tajam. "Kenyataan yang seperti apa? Hidupku dikendalikan oleh orang lain? Masa depanku dijadikan alat untuk ambisi keluarga?"

Jarak di antara mereka semakin memendek hingga hanya ada sehela napas yang memisahkan.

"Ini bukan tentang ambisi. Ini tentang membangun sesuatu yang lebih besar dari kita."

Karin mendengus, wajahnya penuh kebencian. "Lebih besar bagi siapa? Kamu? Keluargamu? Pernikahan ini hanya membuat aku kehilangan semuanya."

Leon meraih bahu Karin, cengkeramannya kokoh. "Jangan selalu berpikir egois. Pernikahan ini adalah tanggung jawab kita. Saya berusaha melindungi kamu, memastikan masa depanmu tidak hancur."

"Melindungi?" Karin tertawa sinis, suaranya sarkastik. "Kamu tidak tahu apa-apa tentangku. Aku tidak butuh perlindungan, apalagi dari seseorang seperti kamu."

Amarah Leon perlahan mendidih. Ia melepaskan cengkeramannya, tetapi hanya untuk menekan Karin ke dinding. Tubuhnya membingkai Karin dengan intensitas yang membuat udara terasa menyesakkan.

"Kamu terlalu banyak bicara, Karin," bisiknya. Suaranya rendah, hampir seperti geraman.

Karin tidak tinggal diam. Ia mendorong dada Leon dengan kedua tangannya, tetapi tubuh lelaki itu tidak bergeming. Ia tahu kekuatannya tidak sebanding.

"Lepaskan aku, Leon! Aku tidak akan tunduk pada keinginanmu!"

Leon meraih pergelangan tangan Karin, menahannya di atas kepala. Tatapannya tajam, menusuk, seolah ingin menembus semua perlawanan gadis itu.

"Kamu tahu saya tidak suka diabaikan," ucapnya, dingin.

Karin membalas tatapannya tanpa gentar, meskipun di dalam hatinya ada rasa takut yang tidak bisa ia sangkal. "Dan aku tidak suka diperintah. Jadi, berhentilah memaksakan kehendakmu!"

Keheningan berat menyelimuti. Leon menarik napas, berusaha menekan emosi yang bergejolak.
"Saya tidak memaksamu, Karin. Saya hanya memberi pilihan terbaik untukmu."

Karin memalingkan wajah, menatap keluar jendela ke arah gemerlap kota yang jauh di bawah sana. Matanya berkaca-kaca, tapi suaranya tetap tegas.
"Pilihan? Kamu menyebut ini pilihan? Hidupku bukan sekadar alat untuk kesepakatan bisnis."

Leon menunduk sedikit, wajahnya semakin dekat dengan Karin. Ia bisa merasakan aroma manis dari parfum gadis itu.

"Karin," suaranya melembut, tetapi tetap berlapis ketegasan, "Semua ini tidak akan menyakitimu. Saya berjanji."

Je T'aime (Lost in the Dark)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang