II. PEMAKSAAN

72 23 27
                                    

Karin keluar dari kamar, menyeret kopernya dengan langkah malas. Setiap langkah yang ia ambil menimbulkan suara berisik dari roda koper yang menyentuh lantai, seolah mengiringi langkahnya yang terburu-buru.

Di taman depan rumah, Leon sedang berbincang dengan kedua orang tua Karin. Meskipun pandangannya tetap terfokus ke depan, Leon bisa merasakan kehadiran Karin yang semakin mendekat.

Tidak ada yang berubah dari sikapnya. Ia tetap berdiri tegak, berbicara dengan ramah, wajahnya tersenyum namun tatapan matanya tetap tajam, seolah menilai setiap detail yang ada di sekitarnya.

Namun, saat matanya bertemu dengan Karin, senyum itu perlahan memudar, dan raut wajahnya kembali menjadi dingin.

Karin berdecak kesal, melihat perubahan wajah Leon yang begitu cepat. Seperti ada dua sisi berbeda dalam dirinya—sisi yang ramah dan sisi yang penuh kekakuan. Karin menatapnya, dari atas hingga ke bawah, tak bisa menahan amarah yang mulai membakar.

“Dia memang tidak punya baju selain hitam? Kemarin hitam, hari ini juga hitam. Dia bilang hidupku tidak menarik, tapi hidupnya sendiri yang kelam,” batin Karin sambil memutar matanya kesal.

Tiba-tiba, Leon menangkap tatapan tajam Karin yang terarah kepadanya. Mereka bertemu dalam keheningan yang seolah menciptakan ketegangan di antara keduanya. Tanpa kata, Karin segera mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan kekesalan yang semakin mencuat.

Harris, ayah Karin, menyikut pelan lengan anaknya, terkekeh kecil. Seakan mengerti betul bagaimana Karin tidak bisa menyembunyikan perasaan kesalnya setiap kali berada di dekat Leon.

Harris kemudian menepuk pundak Leon dengan gerakan santai, namun penuh kepercayaan.

“Saya titip Karin, Leon,” ujar Harris dengan nada ringan, namun penuh makna.

Leon menanggapi dengan senyum tipis yang terlukis di bibirnya, meskipun hatinya tidak merasa sama.

“Tentu, Tuan Osmond. Saya akan membimbing dan mengarahkan Karin,” jawabnya dengan nada tegas namun tetap sopan. “Saya yakin dia akan cepat memahami bidang bisnis ini.”

Sementara itu, Karin yang mendengar ucapan Leon, semakin mendelik tajam. Ia merasa Leon begitu penuh kepura-puraan di hadapan orang tuanya. Tapi, ia tak bisa membantah bahwa, dalam beberapa hal, kata-kata Leon bisa terdengar begitu meyakinkan.

“Karin,” Harris melanjutkan, matanya menatap serius pada anaknya. “Kamu harus mematuhi apa yang diarahkan Leon. Jangan bertindak aneh atau merepotkannya selama kalian di luar kota.”

Karin memelototi ayahnya dengan tatapan tajam, namun tak mengucapkan sepatah kata pun. Leon mengalihkan perhatian kembali ke Karin, dan kali ini, ia memberikan sebuah kedipan yang semakin membuat Karin kesal.

Setelah pamitan, Leon membuka pintu mobil depan dan dengan sopan mempersilakan Karin masuk terlebih dahulu. Namun, Karin justru memilih membuka pintu penumpang belakang.

Leon dengan cepat menahan gagang pintu yang hendak dibuka oleh Karin.

“Saya bukan sopir kamu,” ucapnya datar, suaranya dingin seperti es. “Duduk di depan, sekarang!”

“Aku ingin duduk di sini,” Karin masih bersikeras, tak mau mengikuti perintah Leon.

Leon menghela napas, seolah sudah tidak sabar. “Mau masuk sendiri atau saya paksa?” Tanyanya, nada suaranya mengancam, namun penuh kendali.

“Kenapa kamu suka memaksa orang?” Karin membentak, matanya membara menatap Leon dengan penuh kemarahan.

Leon menyentuh pelipisnya, menyesuaikan posisi kacamata, sebelum menjawab dengan ketenangan yang berbanding terbalik dengan situasi yang sedang terjadi.

Je T'aime (Lost in the Dark)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang