The Charm of The Cadet

72 19 18
                                    

Selamat Datang di Dunia Baruku

Cerita ini adalah fanfiction yang mengambil latar peristiwa tahun 1965. Dengan mengadaptasi tokoh pahlawan Revolusi, Pierre Tendean, saya ingin menyampaikan kisah yang berakar pada semangat nasionalisme dan pengorbanan. Tanpa bermaksud menyinggung atau mengabaikan fakta sejarah, tulisan ini merupakan hasil imajinasi penulis yang terinspirasi oleh karakter Pierre Tendean dan pengaruhnya terhadap perjalanan bangsa.

Peringatan: Mengingat latar waktu yang dipilih, beberapa peristiwa dalam cerita ini diambil dari sumber sejarah yang mungkin sensitif. Saya berharap pembaca dapat lebih bijak dalam membaca cerita ini. 


Aluna terlihat kesulitan membawa tas berisi biola dan beberapa buku di tangan kanannya. Buku-buku yang diberikan oleh dosennya ini sangat berharga, karena cukup sulit untuk mendapatkannya, dan ia merasa beruntung bisa memilikinya. Sekarang, Aluna duduk di tahun kedua di ITB. Suasana kampus tampak ramai karena sedang berlangsung pertandingan basket antar kampus.

Dalam pertandingan kali ini, tidak hanya mahasiswa dari universitas saja, tetapi juga taruna Atekad ikut memeriahkan suasana. "Jeni!" sapa Arum, teman sekelas Aluna, sambil melambaikan tangan menyuruh Aluna mendekat.

"Duduk sini dengan aku," ucap Arum, dan Aluna pun duduk di sebelahnya. Arum tampak berseri-seri. "Jen, menurut kamu siapa yang akan jadi juara kali ini?" tanya Arum.

Sejenak, Aluna melihat para peserta dan pandangannya tertuju pada seorang lelaki dengan seragam Atekad. Matanya bertemu dengan seseorang yang cukup ia kenal, Pierre, teman sepupunya Drajat. "Sepertinya anak basket kita," ucap Aluna berusaha menebak. Meskipun postur tubuh tim basket Atekad terlihat lebih tinggi, ia merasa bahwa tim basket kampusnya tidak kalah jago.

Ketika tim basket ITB bertemu dengan Atekad, riuh gemuruh memenuhi suasana. Arum tampak berteriak menyemangati tim basket kampusnya. Meskipun terkadang saat Pierre memegang bola, suara "Londo" menggema membuat sang empu terlihat marah.

"Kenapa harus begitu? Bukankah itu jatuhnya rasis?" tanya Aluna pada Arum ketika melihat raut marah Pierre dari tempat duduknya.

"Mengganggu konsentrasi pemain lawan itu bisa menguntungkan tim kampus kita, Jeni!" teriak Arum di tengah riuhnya sorakan.

"Tapi tetap saja nggak bagus. Meskipun 'londo', dia malah jadi tentara. Kalau diteruskan, yang ada jadi kebiasaan," kata Aluna. Arum tak terpengaruh sedikitpun, ia terus bersorak bersama teman-teman yang lain, mengganggu konsentrasi lawan. Pertandingan dimenangkan oleh tim basket Atekad, dan riuh teriakan menghina Pierre membuat wajahnya marah.

"Berhenti mengata-ngatainya, 'londo'!" ucap Aluna keras. Orang-orang di sekitarnya pun berbalik menatap Aluna. "Tingkah kalian yang rasis membuat negara barat mengatai kita monyet, karena monyet tidak punya adab sama kaya kalian," sambungnya.

Arum menarik tangan Aluna, mencoba menghentikannya, tetapi Aluna sudah terprovokasi. "Apa kaliangenerasi yang tidak berattitude? Apakah semboyan Bhinneka Tunggal Ika cuma sebatas kata saja?"

"Nggak malu kalian sama dia yang kalian sebut 'londo'? Dia yang kalian kata-katain malah jadi tentara, sedangkan kalian enak-enak dikuliahi. Jangan cuma mengisi otak, tapi juga adab dan perilaku diperbaiki! Adab dulu, baru berilmu," celetuk Aluna lalu mengalungkan tasnya dan pergi meninggalkan lapangan. Mood-nya tiba-tiba saja turun.

Aluna berjalan menuju tempat yang sepi untuk meredakan amarahnya. Ia perlu memainkan biolanya. Ia memainkan sebuah lagu karangan Niccolò Paganini yang berjudul La Campanella. Lagu ini terkenal sulit dimainkan dengan biola. Bahkan, konon, Niccolò pernah dirasuki iblis saat berhasil memainkan lagu ini dengan sempurna.

Time's DriftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang