“Hei! Jangan berlarian di lorong!” seru seorang pria dengan nada tegas, suaranya bergema di sepanjang koridor megah.
Di dalam istana yang menjulang megah dengan pilar-pilar berukir, seorang raja mengernyitkan dahi ketika melihat bayangan putrinya melesat melewati pintu-pintu besar. Jubah panjang putrinya berkibar seiring langkah ringannya, jejak tawanya memenuhi udara.
“Ahahaha! Aku hanya pergi sebentar, Ayahanda!” gadis itu berseru riang tanpa memedulikan teguran. Langkah-langkahnya meluncur cepat, meninggalkan sang Raja dalam keadaan tak berdaya.
“Dasar anak itu…” Raja menghela napas panjang, tangannya mengusap wajah dengan pasrah. Di dalam nada keluhannya, terselip kasih sayang seorang ayah yang terbiasa dengan kenakalan putri tunggalnya.
Di sisi Raja, seorang pria berjubah hitam dengan motif kuning berdiri tegap. Jubahnya berkerut sedikit ketika ia bergerak. Wajahnya tersembunyi di balik topeng logam, hanya sorot mata tenangnya yang tampak. Di punggungnya, sebuah pedang hitam kelam berkilauan samar dalam cahaya istana. Kristal hijau pada gagangnya tampak berdenyut lembut, seakan bernapas perlahan bersama cahaya kuning yang redup dan menyala bergantian.
“Apa saya perlu mengejarnya, Yang Mulia?” tanya pria berjubah itu dengan suara rendah, nyaris tak berintonasi.
Raja melirik pria itu, lalu menggeleng pelan. “Tidak, biarkan saja. Ini sudah biasa terjadi. Setiap hari seperti ini.”
Ia berbalik menuju pintu besar di ujung lorong, membukanya perlahan. “Ayo masuk, ada hal penting yang perlu kita bicarakan.”
Ruangan di balik pintu itu adalah aula pribadi sang Raja. Mewah namun tidak berlebihan, dihiasi permadani tebal dan lukisan-lukisan kuno. Di tengah ruangan terdapat dua sofa kulit mewah, saling berhadapan dengan meja bundar berlapis emas di antara mereka. Lilin di sudut-sudut ruangan menebarkan cahaya hangat, menambah kesan tenang namun serius.
Raja duduk di salah satu sofa, mengisyaratkan tamunya untuk duduk di seberang. Pria berjubah itu menurut, gerakannya anggun namun penuh kewaspadaan, seolah setiap langkah adalah bagian dari tarian pertempuran.
Setelah beberapa saat hening, Raja menatap tamunya dengan tajam. “Aku sudah mendengar banyak tentangmu.” Suaranya tenang, tapi sarat dengan kewibawaan. “Kau petualang yang menembus peringkat S dengan cepat. Seekor naga pernah kau kalahkan seorang diri, dan hingga kini kau tak pernah bergabung dengan kelompok manapun. Dua ratus dua puluh tiga misi—semua diselesaikan dengan tingkat keberhasilan sempurna.”
Raja berhenti sejenak, menimbang-nimbang kata-katanya. “Namun, aku ingin tahu… Apa alasanmu ingin menjadi ksatria kerajaan ini?”
Pria berjubah itu diam sejenak. Di balik topengnya, ia menunduk sedikit, seolah mencari kata yang tepat. Matanya kemudian melirik keluar jendela, menatap langit sore yang merona jingga.
“Aku lelah…” bisiknya pelan, suaranya sarat dengan kejujuran. “Selama ini aku selalu bertarung sendirian. Semua pertarungan itu hanya untuk diriku sendiri—untuk bertahan hidup dan menjadi lebih kuat. Tapi sekarang…” Ia menelan ludah, suara di balik topengnya sedikit bergetar. “Aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Aku ingin tahu bagaimana rasanya bertarung bukan hanya untuk diriku sendiri… tapi untuk melindungi orang lain. Mungkin… suatu hari nanti, aku bisa menemukan seseorang yang layak kulindungi.”
Raja terdiam, menatap pria di hadapannya dengan ekspresi rumit. Kata-kata pria berjubah itu sederhana, namun di dalamnya terselip harapan dan kerinduan yang mendalam—kerinduan akan makna, dan tujuan baru dalam hidup.
Akhirnya, Raja tersenyum tipis. “Aku mengerti….” Ia bersandar sedikit ke belakang, lalu mengangguk mantap. “Baiklah. Mulai hari ini, kau adalah ksatria kerajaan ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Tomboi Dan Kesatria Vampir
FantasyDi sebuah kerajaan hiduplah seorang putri yang memiliki rambut pirang panjang dengan mata biru berkilau. Dia selalu membuat masalah dan mendapatkan julukan putri tomboi dari orang-orang. Di sisi lain ada seorang kesatria yang cukup misterius, dia s...