Satu

708 48 0
                                    


Ini MINI SERIES terbaru aku guys, aku akan UP kelanjutannya Minggu depan jika udah 40 Vote ya!

***
Miranti, yang biasa dipanggil Mira, adalah seorang wanita muda berusia 28 tahun dengan pesona yang sulit diabaikan. Sebagai dosen di universitas ternama, kesehariannya dipenuhi dengan tumpukan berkas, diskusi ilmiah, dan ruang kelas yang selalu riuh. Di balik rutinitas yang sibuk itu, ada satu hal yang mampu membuat senyum merekah di wajahnya dan jantungnya berdegup sedikit lebih cepat
Ridho Ibadurrahman Rasyid, atau yang selalu ia panggil dengan sebutan khusus, Mas Rasyid. Hanya Mira yang memanggilnya begitu, dan baginya, ada makna yang dalam di balik sebutan itu. Ia ingin menjadi satu-satunya yang mengukir nama itu dengan nada keakraban dan kehangatan.

Pertemuan pertama mereka terjadi di suatu pagi yang sibuk di aula kampus. Mira, dengan cekatan, sedang menata dokumen-dokumen seminar di atas meja panjang. Suara kertas yang bergesekan dan percakapan yang ramai di sekitarnya menjadi latar belakang saat Rasyid berjalan melewatinya. Postur tubuhnya tegap, wajahnya teduh, dan sorot matanya tenang. Tidak ada yang mencolok dari penampilannya, namun ada sesuatu dalam sikapnya yang memancarkan wibawa dan daya tarik tersendiri. Sekilas pandang itu cukup untuk menyadarkan Mira bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya, sesuatu yang membuat dadanya berdesir.

Rasyid bukan pria yang mudah didekati. Pembawaannya yang kalem dan seringkali serius membuat orang lain berpikir dua kali sebelum mengajaknya berbicara. Namun, Mira melihat lebih dari sekadar permukaan. Di balik pembawaan yang tenang itu, ia melihat seseorang dengan pandangan hidup yang dalam dan pemikiran yang selaras dengan prinsip-prinsipnya. Keduanya sering terlibat dalam diskusi tentang topik-topik besar, seperti rencana pengembangan kurikulum atau diskusi panjang tentang filosofi pendidikan dan kehidupan.

Mira, dengan caranya yang lembut tapi pasti, mulai menunjukkan perhatian. Pagi-pagi saat Rasyid datang ke kampus, ia sering melihat Mira sudah di sana, menyapa dengan senyum hangat dan membawa secangkir kopi. Dia tahu, Rasyid lebih suka teh hangat tanpa gula pahit dan kuat, sama seperti prinsip-prinsipnya yang tegas.

"Mas Rasyid, teg pagi ini. Aku bawa lebih, siapa tahu Mas belum sempat buat," ujar Mira sambil menyodorkan cangkir itu. Matanya berbinar-binar penuh harapan.

Rasyid tersenyum kecil, menerima cangkir tersebut dan menatap Mira dengan sorot yang penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Mira. Kamu selalu ingat, ya?" Katanya sambil menyeruput teh itu perlahan. Mira hanya mengangguk, merasakan debar di dadanya yang semakin tak terkendali.

Setiap perhatian kecil yang diberikan Mira seolah menjadi puzzle yang menyusun perasaannya. Tidak hanya berhenti di kopi pagi, Mira mulai membawa masakan rumah buatan tangannya sendiri. Ketika ia menyadari bahwa Rasyid kerap pulang terlambat dan mungkin melewatkan makan malam, ia memutuskan untuk membawakan bekal. Sesekali, saat jam istirahat, ia akan muncul dengan wadah makanan di tangannya.

"Mas, aku buat ini kemarin malam. Mungkin Mas mau coba," katanya dengan nada riang yang disertai sedikit gugup. Rasyid, yang selalu menghargai setiap usaha, menerima tawaran itu dengan senyum dan komentar sederhana, "Masakanmu enak, Mira."

Mira merasa hatinya menghangat setiap kali mendengar pujian itu, sekecil apapun. Bagi orang lain, mungkin itu tak lebih dari kata-kata sopan, tapi bagi Mira, itu adalah bukti bahwa perhatiannya diperhatikan dan dihargai.

Namun, di balik semua perhatian dan usaha yang ia tunjukkan, ada rahasia yang hanya diketahui Mira. Sejak kecil, ia tumbuh sebagai anak tunggal yang terbiasa hidup mandiri. Kehidupannya mengajarkannya untuk mengandalkan diri sendiri, menyelesaikan masalah tanpa bantuan, dan berdiri teguh meskipun angin kehidupan berhembus kencang. Tapi di depan Rasyid, ia membiarkan dirinya terlihat rapuh, seolah-olah ia butuh perhatian dan perlindungan darinya.

Ketika rumah mereka yang kebetulan searah memberinya kesempatan untuk lebih dekat, Mira tak menyia-nyiakannya. Ia kerap meminta tumpangan, meski sebenarnya ia memiliki mobil sendiri dan tak kesulitan untuk pulang sendirian.

"Mas Ras, aku boleh nebeng ya, Mas?" tanyanya suatu sore saat matahari mulai tenggelam dan langit berwarna jingga.

Rasyid mengangguk tanpa ragu. "Tentu, Mira. Ayo, kita berangkat."

Di dalam mobil, percakapan mereka mengalir ringan. Kadang membahas buku baru yang mereka baca, film yang ingin ditonton, atau bahkan hal-hal kecil yang membuat mereka tertawa. Bagi Mira, setiap perjalanan bersama Rasyid terasa seperti petualangan singkat, di mana hanya ada mereka berdua di dalam dunia kecil mereka yang hangat dan akrab.

Namun, waktu terus berjalan, dan perasaan yang dipendam Mira semakin dalam. Ia mulai merasakan kebutuhan untuk tahu lebih, untuk mengubah perasaan tak terdefinisi itu menjadi sesuatu yang pasti. Hingga akhirnya, satu sore yang basah oleh hujan, Mira memutuskan untuk berbicara.

Di dalam mobil yang melaju perlahan di jalanan yang basah, Mira menatap ke luar jendela, menyaksikan tetesan hujan yang membasahi kaca. Suara hujan yang jatuh berpadu dengan suara mesin mobil menciptakan suasana yang hening, namun penuh ketegangan.

"Mas," Mira memecah keheningan, suaranya pelan tapi tegas.

Rasyid menoleh sebentar sebelum kembali fokus pada jalan. "Ya, Mira?"

"Kita ini apa, Mas?" tanyanya, tanpa basa-basi, tanpa berusaha menyembunyikan kegelisahan yang selama ini dipendamnya.

Pertanyaan itu menggantung di udara, seolah menyatu dengan rintik hujan yang terus menari di atas kaca mobil. Rasyid tidak langsung menjawab. Mata tajamnya menatap lurus ke depan, mencoba mencerna pertanyaan itu. Suara mesin mobil terdengar samar, terselip di antara suara hujan. Sementara itu, Mira merasakan detak jantungnya berdentam lebih cepat, seiring dengan ketegangan yang menggulung di dadanya.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Rasyid menarik napas panjang. "Mira," katanya, suaranya dalam dan lembut, tetapi ada nada keraguan di sana. "Apa pentingnya status untuk kita?"

Mira terdiam, menatap wajah Rasyid dari samping. Ia tahu Rasyid tipe pria yang suka berpikir panjang, yang mempertanyakan segalanya sebelum membuat keputusan. Namun, saat ini, jawaban itu terlalu samar, terlalu mengambang.

"Itu penting buatku, Mas," balas Mira, suaranya serak karena menahan emosi. "Aku butuh kepastian, bukan sekadar perhatian tanpa arah. Aku ingin tahu apa arti semua ini untukmu."

Mata Rasyid berkedip pelan, seolah menimbang setiap kata yang baru saja ia dengar. "Kalau aku bilang aku mencintaimu, lalu kamu juga bilang cinta, apa yang berubah, Mira? Untuk apa kita menyematkan status kalau kita sudah tahu perasaan itu ada?"

Mira menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa perih yang tiba-tiba menyeruak. "Mas, bagi perempuan seperti aku, status itu bukan sekadar label. Itu adalah tanda bahwa ada arah, ada tujuan. Aku tidak ingin terjebak dalam ketidakpastian ini selamanya."

Suasana di dalam mobil mendadak terasa sesak. Hanya suara hujan yang terus menambah beban di antara mereka. Tanpa disadari, air mata yang Mira coba tahan akhirnya jatuh. Ia tidak tahu apakah Rasyid melihatnya atau tidak, tapi ia tidak peduli lagi. Rasa kecewa yang membanjiri hatinya melebihi segalanya.

Rasyid meliriknya sejenak, matanya melembut, seakan ingin mengulurkan tangan dan menghapus air mata itu. Namun, ia hanya diam, membiarkan momen itu berlalu tanpa tindakan apa-apa.

Tanpa pikir panjang, Mira membuka pintu mobil. Hujan langsung membasahi tubuhnya, membuat rambutnya lengket di wajah. Suara pintu yang terbanting membuat Rasyid tersentak.

"Mira, tunggu!" serunya, tapi langkah Mira sudah terlalu cepat, penuh tekad. Hujan yang deras menutupi segala suara, termasuk panggilan Rasyid yang semakin lirih.

Mira terus berjalan, membiarkan dinginnya hujan meresap ke dalam kulitnya, seakan ingin menggantikan rasa sakit yang mendera hatinya. Setiap langkah terasa berat, tapi ia tahu ini keputusan yang harus ia ambil. Ia tidak bisa terus berada dalam bayangan perasaan yang menggantung, menunggu jawaban yang mungkin tak akan pernah datang.



One Love Two Souls  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang