Dua

439 49 18
                                    

Aku akan lanjut lagi kalau udah 30 VOTE 10 KOMEN (edisi kangen)

****

Hari itu, Mira masih menyibukkan diri di kafe kecil dekat kampus. Tempat yang seharusnya menjadi persinggahan sementara malah menjadi semacam tempat berlindung bagi Mira dalam sepi dan sunyi yang tak bisa lagi ia hindari. Rasa kehilangan mulai menjalari ruang-ruang kosong di hatinya. Setelah percakapan yang begitu jujur namun penuh ketegangan di mobil malam itu, Rasyid mulai menjauh darinya. Hari demi hari berlalu dalam keheningan yang membuat Mira semakin tersesat dalam bayangannya. Yang awalnya hanyalah kebersamaan kecil di antara jam mengajar, secangkir teh pagi, atau obrolan ringan kini meninggalkan kekosongan yang terasa mengoyak-ngoyak dirinya.

Puncak dari perubahan ini datang ketika Rasyid tiba-tiba memutuskan untuk mengundurkan diri dari kampus. Seakan tak ingin lagi meninggalkan jejak, dia tidak hanya menarik diri dari Mira, tapi juga dari seluruh lingkungan yang dulu begitu akrab baginya. Bagi Mira, keputusan itu menampar hatinya lebih keras daripada pernyataan-pernyataan samar Rasyid saat mereka berbincang di mobil. Sejak saat itu, Mira tahu bahwa Rasyid telah memilih untuk benar-benar menjauh, tanpa tanda atau alasan yang ia pahami.

---

Hari itu adalah hari terakhir Rasyid di kampus. Sebelum benar-benar pergi, ia berjalan perlahan menuju kafe favorit Mira di sekitar kampus. Ia tidak bermaksud menghampirinya atau berlama-lama, hanya ingin sekilas melihat perempuan yang telah memberinya kebahagiaan yang tak pernah ia akui sebelumnya. Dari jauh, Rasyid memandang Mira yang duduk di pojok kafe, asyik dengan laptop di hadapannya. Senyumnya tipis, seperti mengenang sebuah kenangan indah yang hanya ia simpan sendiri.

Dalam hatinya, ia berbisik, Mira, mungkin bagimu aku seperti orang jahat yang memberimu harapan kosong, yang mempermainkan perasaanmu. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, aku melakukan ini karena aku tidak ingin membuang waktumu. Aku tidak tahu kapan waktuku akan berakhir, dan aku tidak ingin meninggalkan luka di hatimu.

Ia menelan sesak yang muncul di tenggorokannya. Tidak ada yang bisa mengubah rasa yang ia pendam untuk Mira, tetapi inilah kenyataannya. Perasaannya yang mendalam harus ia kubur, karena ia tahu ada satu hal yang tidak bisa ia tawarkan kepada Mira yaitu masa depan.

Tetapi tiba-tiba, sebuah rasa sakit menusuk kepalanya. Pandangannya mulai kabur, dan ia menahan napas, berusaha tetap berdiri. Tubuhnya terasa lunglai, seakan tidak mampu lagi menopang beban yang ia pikul. Ia tahu bahwa serangan ini adalah pertanda, bahwa waktu yang ia miliki semakin sempit. Dalam keterburuannya, ia berjalan cepat meninggalkan kafe agar Mira tak melihatnya dalam keadaan lemah.

Rasyid berhasil mencapai halte yang agak jauh dari kafe. Berdesak-desakan di antara keramaian yang tidak ia kenali, ia mencari obat di saku celananya. Namun, sialnya, ia menyadari bahwa obat yang biasa meredakan sakitnya tertinggal. Rasa sakit itu semakin mendera. Ia tidak mampu lagi bertahan. Perlahan, tubuhnya terhuyung, lalu jatuh di antara keramaian, tak sadarkan diri.

---

Saat Rasyid membuka matanya, ia mendapati langit-langit putih yang terasa asing. Di sebelahnya, seorang dokter tengah memeriksa kondisinya dengan sorot mata yang tajam namun lembut. Dokter itu mendesah, menyadari bahwa Rasyid sudah siuman.

"Kanker di otak Anda sudah memasuki stadium lanjut, Pak Ridho," kata dokter dengan nada datar namun penuh keprihatinan. "Kami harus segera memulai pengobatan kemoterapi. Jika tidak, kondisi ini akan cepat memburuk."

Kata-kata itu menghantam Rasyid, menghujamkan rasa sakit yang tak kalah perihnya dengan sakit kepala yang baru saja ia alami. Segala pemikirannya, seluruh perasaannya, mendadak terasa hampa dan mengerikan. Kematian yang selama ini terasa seperti bayangan jauh di belakang kini seakan merayap mendekat, menyelubungi dirinya dalam kegelapan yang tidak dapat ia hindari. Ia hanya bisa menatap ke depan, di balik sorot matanya yang letih.

Rasyid terdiam, mencoba menahan semua emosi yang bergejolak di dalam dadanya. Ia ingin menolak, ingin mencari jalan keluar, tetapi ia tahu bahwa ini adalah garis hidup yang tak bisa ia lawan.

Apa yang akan kulakukan sekarang? pikirnya dalam hati. Bagaimana aku bisa meninggalkan semua ini begitu saja?

Dalam kepasrahan yang terbungkus ketegaran, ia teringat kembali pada wajah Mira. Seandainya saja ia bisa memberikan masa depan kepada perempuan itu. Seandainya ia memiliki cukup waktu untuk melihat senyumnya lebih lama, mendengar tawa renyahnya ketika ia menceritakan cerita lucu, atau sekadar melihat cara Mira meliriknya saat ia tak menyadari. Tetapi yang ada hanya sejumput kenangan yang mulai ia rasakan memudar, digantikan oleh rasa takut dan kepasrahan yang sulit ia enyahkan.

---

Hari demi hari di rumah sakit menjadi rutinitas baru bagi Rasyid. Di balik tembok-tembok yang dingin dan suara mesin-mesin yang berdenyut, ia mulai menjalani serangkaian kemoterapi, menghadapi efek-efek samping yang melelahkan. Rambutnya mulai rontok sedikit demi sedikit. Tubuhnya yang tegap kini terlihat kurus dan rapuh. Wajahnya yang dulu teduh kini menyimpan kelelahan yang amat dalam, seolah setiap detik di rumah sakit semakin mengikisnya dari dalam. Dalam segala penderitaannya, ada satu nama yang terus ia bisikkan dalam hati: Mira.

Namun, Rasyid tetap berkeras untuk tidak memberi tahu Mira apa yang sedang ia alami. Ia tidak ingin perempuan itu menanggung beban yang tidak seharusnya ia pikul. Mira sudah cukup terluka karena kepergiannya yang tiba-tiba dari kampus. Dan baginya, biarlah Mira mengingatnya sebagai sosok yang kuat, yang pernah menjadi tempat ia berbagi diskusi dan kebersamaan yang menyenangkan.

Sementara itu, jauh di luar dinding rumah sakit, Mira masih terus melanjutkan kehidupannya. Setiap hari ia datang ke kampus, namun ada kekosongan yang ia rasakan. Mira sering menemukan dirinya termenung, memikirkan sosok Rasyid yang seolah hilang tanpa jejak. Ada banyak pertanyaan di hatinya yang tidak pernah terjawab, dan kepergian Rasyid yang tiba-tiba membuatnya merasa tersesat.

Ia merindukan saat-saat bersama Rasyid, obrolan ringan, canda yang sesekali muncul di sela-sela keseriusan mereka. Namun, yang kini ia temukan hanyalah ruang kosong dan kebisuan yang mengingatkannya pada sesuatu yang hilang.

One Love Two Souls  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang