02

1 0 0
                                    


02
.
.
Kata Mama, Mahesa itu pembohong.
.
.
Papa berpamitan pada mereka semua saat jam menunjukkan pukul 8 malam. Cukup lama beliau ada disini. Sekedar bercengkrama dengan putra sulungnya dan memberi beberapa wejangan tentang hidup dan bagaimana kondisi mereka saat ini.

Mama sudah mendekam dalam kamar setelah pembicaraan mereka tentang pernikahan yang berakhir. Mama melimpahkan semua salah pada Papa.

Tentang bagaimana teganya Harsa yang sudah ia nikahi 16 tahun, memilih berpaling dan menikahi wanita lain di belakang punggungnya.

Tentang seberapa sakitnya hati Enika yang hancur karena di madu.

Papa sedikitpun tidak membela diri. Lelaki paruh baya itu hanya meminta maaf pada wanita tua yang berstatus ibu mertua nya itu tentang keadaan dan kesalahan nya. Tanpa sedikitpun mengungkit apa salah istrinya hingga ia bisa bertindak sejauh ini. Bagi Enika, ini semua murni salah suaminya.

Enika wanita egois asalnya. Sebagai anak perempuan satu-satunya diantara saudara laki-lakinya, ia menganggap bahwa poros keluarga ada pada dirinya. Dirinya hanya boleh diratukan dan disayang seperti sebelum menikah dulu. Ia egois yang harus semua maunya di turuti entah bagaimana cara sang suami mendapatkan apa yang ia mau. Itu asal dari Harsa mencari pelampiasan pada wanita yang dirasa lebih penurut dan menerima nya. Tapi itu semua salah memang.

"Arjuna." Suara berat papa memenuhi telinga Arjuna yang sedang berdiri di depan pintu untuk mengantarkan perginya sang ayah. Si sulung dengan mata berkaca berusaha memberikan senyum terbaiknya.

Di hadapannya, ayah yang hanya beberapa kali ia temui secara langsung, akan kembali memisahkan diri darinya. Ia akan kembali di tinggalkan.

"Arjuna, Papa minta maaf atas semua hal buruk yang terjadi. Maaf karena Arjuna harus memiliki orang tua seperti Papa. Maaf karena menaruh Arjuna dalam kondisi yang buruk ini. Papa minta maaf ya nak." Arjuna yang setinggi pundak sang ayah di bawa masuk dalam pelukan. Pelukan hangat yang sudah lama sekali tidak dia dapatkan.

"Hiks." Isakan lirihnya terdengar.

"Arjuna, terimakasih sudah menjadi anak yang baik. Terimakasih sudah menjadi anak yang hebat meski papa dan mama tidak menemani Arjuna. Papa minta maaf karena menyerahkan adik-adik pada Arjuna."

"Hiks. Nan-nanti kalau aku kangen, boleh main?" Tanyanya dengan tersendat karena tangisnya.

"Tentu boleh dong. Arjuna tetap anak Papa." Anak remaja itu mendapat kecupan sayang pada keningnya.

Harsa melepaskan peluknya. Mengusap dua kali pada rambut lebat putra sulungnya.

Mahesa beralih pada si tengah dan si bungsu yang duduk pada dipan kayu depan rumah. Berjarak 2 meter dari kakak sulungnya.

"Pa.," panggil Mahesa.

"Iya nak?" Harsa menjawab.

Anak 11 tahun itu menggigit bibir bawahnya sembari memainkan jemari kecil adik di pangkuannya yang sedang menonton kartun dari ponsel. Seolah ragu ingin menyampaikan pendapatnya.

"Hesa sama adek boleh ikut papa aja?" Cicitnya pelan. Membuatnya hanya bisa di dengar oleh Harsa dan Kaleo yang sangat dekat posisinya.

"Kenapa nak?" Papa mengusap rambutnya.

"Kakak tidak suka padaku." Cicitnya lebih pelan.

"Hesa hanya belum mengenal kakak. Kan kalian hanya bertemu beberapa kali dengan kakak. Kalian akan dekat setelah ini. Percaya pada Papa eum?" Mahesa menunduk murung. Ia tidak suka berada dalam situasi yang tidak nyaman. Saat semua orang sepertinya memberi sinyal tidak suka padanya.

Dari awal, Enika memang tidak terlalu dekat dengannya. Ibunya itu lebih menaruh perhatian besar pada sang adik dan sang kakak. Ia cukup dekat dengan ayahnya, tapi kini ia di tinggalkan di tempat asing dengan orang asing.

Kaleo mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi. Jadi tangan mungilnya merentang meminta untuk di gendong dan di timang ayahnya seperti biasa. 

Kaleo kecil merengek. Tubuh mungilnya terlalu lelah menghadapi situasi saat ini. Ia mengantuk tapi ibunya tidak kunjung keluar kamar dan menidurkannya. Memilih untuk terlarut sendiri tanpa memikirkan balitanya.

"Kalau Hesa tidak bisa disini, Hesa boleh nyusul Papa?" Lirihnya.

Lelaki paruh baya itu mengusap surai tebal hitam anak tengahnya.

Senyum pahit ada disana.

"Kalau Hesa mau di jemput, bilang Papa ya. Papa sayang Hesa dan Leo." Dua anak itu masuk dalam rengkuhan ayahnya. Yang entah kapan akan mereka lihat kembali.

"Papa sering-sering main kesini ya." Mata dengan deraian deras itu menatap memohon pada si ayah. Berharap ayahnya akan luluh sedikit dan tidak akan pergi.

Satu anggukan ragu ia dapatkan sebagai balasan. Mahesa tau, ayahnya mungkin saja tidak akan datang menjenguk ataupun menjemput mereka. Tapi tidak papa. Satu janji palsu yang terucap dari sang ayah, cukup untuk menumbuhkan harapannya.
.
.
.
.
Harsa benar-benar pergi pada pukul 9. Berpamitan pada semua orang. Enika keluar sebentar dan berpeluk beberapa detik. Mereka memulai dengan baik, dan paling tidak meski tidak berakhir baik, mereka menunjukkan bahwa kedua orangtua itu akan berhubungan baik kedepannya.

Lagu galau tahun 2012 an terputar lirih dari ponsel samsung galaxy core putih itu. Arjuna yang memutarnya. Memutuskan untuk semakin tenggelam dalam kesedihan karena hari ini ia resmi menjadi anak broken home.

Manik matanya yang terpejam itu masih basah. Ia yang sudah terbiasa di tinggalkan keluarga, tapi nyatanya rasanya masih sama sakitnya.

Ia tak tau ternyata hidupnya akan seburuk itu. Lebih buruk dari bayangannya selama ini.

Lain si sulung, lain pula si tengah.

Anak 11 tahun itu tengah duduk bersandar pada tembok putih kamar yang di tempatinya dengan sang adik. Ia duduk beralaskan ranjang tingkat yang ia tempati pada bagian bawah.

Menatap prihatin pada adik kecilnya yang sedang tertidur dengan dot yang masih ia sesap. Hesa berhasil menidurkan adiknya pada pukul 10 malam. Setelah balita itu lelah menangis dan telah kenyang dengan susu formulanya.

Kemana ibunya? Kenapa harus ia yang menimang si bungsu?

Hesa masih bisa sayup-sayup mendengar pertengkaran ibu dan neneknya. Meski mereka terpisah 2 kamar milik si sulung dan kamar nenek. Nenek dan ibunya berada di kamar paling depan. Sedang ia di tempatkan pada kamar belakang sebelah dapur.

Suara ibu nya yang terus saja membela diri atas apa yang di tuduhkan oleh sang nenek. Mungkin bukan tuduhan sebenarnya, wanita tua itu hanya ingin tau apa yang sebenarnya terjadi. Tapi karena ibunya terus saja bersikap defensif dan menaikkan suaranya, jadilah pertengkaran kembali disana. Padahal hari sudah hampir tengah malam.

Mahesa mengusap pelan anak rambut basah yang jatuh di kening adiknya. Matanya nanar memikirkan akan bagaimana mereka kedepannya.

Menggigit bibirnya keras-keras saat rasanya air mata kembali menyeruak memikirkan keadaannya saat ini. Nafasnya sesak karena menahan kesedihannya. Tapi mau menangis keras ia juga tidak bisa.

"Kaleo, maafin kakak yang ga bisa buat keluarga kita tetap utuh, ya adik. Hiks." Satu isakan lolos diakhir kalimat lirihnya. Sebuah permintaan maaf atas apa yang terjadi di luar kendalinya.

Mahesa berakhir menangis sembari membenamkan wajahnya pada bantal yang sudah memiliki bulatan basah disana. Bekasnya menangis tadi.

Semoga esok ia bisa jadi lebih kuat untuk adiknya. Ia akan menjadikan dirinya cukup untuk membuat Kaleo tidak merasa bagaimana hancurnya hidup mereka.

Bahkan Mahesa lupa akan batasnya sebagai anak 11 tahun.
.
.

Tu bi continu

DERANA ~ Dream AuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang