Bidikan kamera mengintai objek. Dia berdiri di teras kelasnya yang berada di lantai tiga, berhadapan langsung dengan lapangan super besar. Teriknya matahari yang menembus kulit tidak membuatnya lantas segera berteduh atau sekedar merubah posisi. Mengigit bibir bawah dan menahan napas ketika lensanya menangkap objek paling memukau dibawah sana.
Tetapi tak lama teralihkan dengan sekaleng minuman yang menempeli sebelah wajahnya. Dia menatap si pelaku yang tersenyum ramah. “Kau melupakan waktu, lihat wajahmu sampai semerah kepiting bakar. Sudahi saja memotret mereka.”
Celio dan Auggie, merupakan teman baiknya disini. Laki-laki dan perempuan yang telah dia anggap sebagai saudara. Keduanya kini menatap jengah pada Serenity, yang mengudarakan telapak tangan — isyarat menanti, dan kembali mengambil potret objek yang dia inginkan.
“Sebentar.” Beberapa suara jepretan kamera terdengar. Serenity berkedip-kedip menetralkan fokus matanya yang sejak tadi memotret.
“Coba lihat.” Auggie penasaran lantas meminta kamera Serenity untuk melihat hasilnya. Dia menatap wajah Serenity dan hasil potret secara bergantian dengan pandangan rumit, lantas berdecak dan mengembalikan kasar. “Aku belum pernah menjumpai orang setengah waras seperti mu.”
Perempuan itu berkacak pinggang, omelan panjang berikutnya tak bisa dicegah. “Otak mu berpindah ke mata kaki? Hanya memotret pohon dan tanaman liar? Ku kira kau memotre mereka makanya aku biarkan saja, tau begitu, sejak awal aku memukul kepala mu.”
Serenity tertawa. Kemudian mengibaskan tangannya, “Sudah terjadi, berhenti memarahiku.”
“Temanmu gila.” adu Auggie pada Celio. Kemudian dia menjerit keras sebab sisi pinggangnya dicubit oleh orang yang baru saja dia hina. Auggie mengusap bekas cubitan di pinggangnya, kembali berbisik pada Celio. “Dan, galak.”
Celio tertawa. Membiarkan Auggie merangkul sebelah lengannya erat, mereka sudah biasa melakukan sentuhan semacam ini, jadi tidak lagi canggung bahkan sekedar mengecup pipi. Celio menatap Serenity, menghela napas. “Jovian bilang kamu akan pindah sekolah?”
Serenity mengangguk menanggapi.
Celio agaknya terkejut mengetahui fakta yang barusan dia dengar. Tidak ada yang memberitahunya. Tapi, upaya penetralan wajah dengan kilat dilakukan hingga tidak nampak raut terkejutnya. Bersikap biasa. “Aku bahkan tidak diberitahu. Jahat sekali. Kenapa tiba-tiba pindah?”
“Entah. Ibu tidak memberitahu alasannya.” Serenity sibuk mengamati hasil potretnya, menjawab tanpa menatap lawan bicara.
“Kita tidak bisa bertemu.” Wajahnya suram ketika mengatakan hal tersebut. Nampak berat hati. Celio menunjukkan ketidaksetujuan secara tidak langsung.
Serenity tersenyum cantik. Mengelus lengan atas lain temannya dan memberi pengertian halus. “Siapa yang bilang? Kamu masih tahu alamat rumahku, datang saja kesana. Lagian, aku cuman pindah sekolah, bukan pindah negara.” Bibirnya mengeluarkan tawa ringan yang berusaha mencairkan suasana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eleftheria
ChickLitBerada dalam belenggu sosok penguasa membuat si jelita harus menelan kepahitan runtuhnya harga diri dan menjadi budak yang di permainkan demi keselamatan keluarganya - tekanan yang tidak bisa dia sepelekan hingga hari yang tak diinginkan justru terj...