Prolog

6 2 0
                                    

Kelima sahabat, Yudha, Sadara, Bayu, Tanaya, dan Harjana, merebahkan tubuh mereka di sofa, menghela nafas lelah setelah seharian penuh menjalani penyuluhan tentang penyelamatan lingkungan yang darurat. Rasa letih itu bukan hanya fisik, tetapi juga mental, mengingat betapa sulitnya mengubah pandangan masyarakat yang acuh tak acuh terhadap kerusakan yang terjadi di sekitar mereka. Mereka merenungkan kenapa manusia terus menerus mengeksploitasi alam secara besar-besaran, dan bertindak ketika bencana datang menghantui.

"Aku sudah sangat lelah memberitahu mereka" keluh Yudha, suara penuh kekecewaan.

"Kak Sadara, kenapa pemerintah hanya mengandalkan kita untuk melakukan pekerjaan ini? Padahal jika pemerintah membuat aturan yang ketat dan memberikan sanksi yang besar, masyarakat pasti akan takut" Bayu melontarkan pertanyaan yang sudah sering mereka diskusikan, nada suaranya penuh semangat, meski wajahnya menunjukkan keletihan.

"Aku tahu itu" jawab Sadara singkat, menatap kosong ke arah langit-langit ruangan.

Tanaya menimpali dengan nada pesimis, "Bagiku ini sudah sangat terlambat. Tinggal menunggu wilayah ini hancur saja" suaranya acuh tak acuh, menggambarkan betapa lelahnya dia menghadapi situasi ini.

Harjana menambahkan, "Aku tadi menemukan seseorang sedang membuang sampah ke sungai. Saat aku menegurnya, dia malah memarahiku balik" Raut wajahnya terlihat lesu dan sedih, seolah beban dunia ini terlalu berat untuk dipikulnya.

Mendengar pernyataan Harjana, mereka semua terdiam. Kesunyian menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar. Kelelahan fisik mereka tampak sepele dibandingkan dengan kekecewaan mendalam yang menyelimuti hati mereka. Di tengah kebisuan itu, pemikiran berkecamuk dalam benak masing-masing bagaimana caranya membuat wilayah ini kembali seperti semula, sebelum semuanya terlambat.

Keberanian dan harapan tampak mulai pudar, tetapi di dalam hati mereka, keinginan untuk menyelamatkan lingkungan tetap menyala, menunggu saat yang tepat untuk bangkit dan beraksi. Mereka tahu, jika tidak ada perubahan, wilayah yang mereka cintai ini akan hancur, ditelan oleh keserakahan dan ketidakpedulian.

Sadara Indra Dewangga

"Kau harus bisa mengendalikan amarahmu"

Ketua kelompok penyuluhan yang lemah lembut


Yudha Drana Karsana

"Sialan, sudah kukatakan jangan membakar sampah sembarangan"

Paling tertua dan pemarah di kelompok penyuluhan


Bayu Pratama Jayantara

"Aku tidak bisa menghembuskan udara ini tanpa oksigen"

Si paling usil dan ceria di kelompok penyuluhan


Tanaya Bandakala

"Ayo kita menanam pohon"

Paling dingin dan sarkas di kelompok penyuluhan


Harjana Gandakusuma

"Sebaiknya kita harus mengatur wilayah ini agar penduduknya merata"

Si bungsu yang selalu menuruti kata ketua kelompok 

Bangkitnya Sang Penjaga: Memulihkan Alam Yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang