12. insensitive

18 3 0
                                    

Yui duduk membelakangi lelaki itu, melipat kedua tangannya di depan dada, wajahnya tampak sedikit muram. Pandangannya lurus ke depan, menatap kosong ke arah dedaunan hijau yang menari lembut tertiup angin.

“Ada apa?” ​​tanyanya tanpa menoleh sedikit pun. Suara Yui begitu datar, menunjukkan betapa ia tidak peduli dengan kehadiran lelaki di sampingnya.

Kei, menyadari Yui yang cemberut dan mendengar nada datarnya, tertawa kecil. Dia memutuskan untuk menggodanya dengan ringan, berharap bisa sedikit meredakan suasana.

Dia menyeringai kecil dan bertanya dengan nada main-main, "Apa kau akan marah padaku selamanya?"

"Hmph, tidak tau."

Kei mengangkat sebelah alisnya mendengar jawaban si lawan jenis, merasa gemas dengan sikap keras kepala Yui.

"Kau tahu, kau tidak bisa terus-terusan marah padaku," ucap Kei.

"Aku bisa!"

"Hee~ kau bisa? Jadi kau bertekad untuk terus marah padaku, ya~", senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia merasa sikap Yui yang penuh tekad itu menyebalkan sekaligus lucu.

Tanpa aba-aba, Kei mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekatkan mulutnya ke telinga Yui. Napasnya menyentuh kulit saat ia berbisik,





"Maafkan aku, ya?"





Suaranya melembut, tidak lagi terdengar menjengkelkan seperti biasanya. Sepertinya Kei benar-benar merasa bersalah atas kejadian tadi.

Yui langsung tersentak, berdiri tegak seolah-olah terpacu oleh adrenalin yang tiba-tiba. Dengan cepat, ia berbalik menghadap Kei, matanya yang hitam terbelalak karena tak percaya. Bibirnya sedikit terbuka, tetapi tidak sepatah kata pun keluar; seolah-olah ia kehilangan kata-kata.

Rona merah muda mulai muncul di pipinya, semakin dalam dan dalam, menyebar ke telinganya yang sekarang merah karena malu. "K-kau kenapa sih?!"

"Apa? Nggak tahan dengar bisikan kecil di telinga?" goda Kei.

Kei tak kuasa menahan tawa melihat wajah Yui yang memerah dan gugup. Ia merasa pipinya yang memerah dan mata yang lebar benar-benar menggemaskan dan ingin terus menggoda sang gadis.

"Merah banget~," Kei terkekeh, seringai tersungging di bibirnya. "Aku hanya berbisik, tapi kau bertingkah seolah-olah aku melakukan sesuatu yang memalukan."

Tawa Kei mereda, digantikan ekspresi yang lebih tulus. "Okey okey, aku minta maaf. Aku ngga bermaksud membuatmu malu," katanya, nadanya lebih lembut dan lebih tulus.

"Tapi aku bersungguh-sungguh dengan apa yang kukatakan. Aku minta maaf atas perlakuanku padamu sebelumnya. Aku hanya... cemburu."

Mata Yui melebar ketika dia mendengar kata tak terduga keluar dari mulut Kei—cemburu

"Cemburu?" tanya Yui. Matanya menyipit, seolah menuntut penjelasan dari Kei.

Kei menarik napas dan menenangkan diri, mencoba bersikap santai.  "Ya, cemburu....Aku cemburu karena kau gak memberiku cokelat hari ini seperti yang kau lakukan pada lelaki itu tadi."

Kei mencoba mengatakannya dengan santai, seolah-olah itu bukan masalah besar, tidak ingin mengungkapkan kedalaman perasaannya yang sebenarnya.

Kei melanjutkan, "Aku hanya berpikir aku harus menjadi yang pertama menerima cokelat karena aku sahabatmu, kan? Kau seharusnya memprioritaskanku, bukan yang lain."

Yui terpaku sejenak, mencerna pengakuan Kei yang menurutnya aneh: alasan Kei cemburu hanya karena ia tak memberinya cokelat! Yui mengerjapkan mata beberapa kali, memastikan ia tak salah dengar. Detik berikutnya, ledakan tawa terdengar memenuhi ruangan.

Meski Yui mencoba menutup mulutnya dengan tangan, tawa itu tak terbendung lagi. Gelak tawanya pecah.

"Jadi...," ucap Yui di antara tawa yang masih mengguncang bahunya, "Kau cemburu karena... cokelat? Hanya karena itu?"

Kei menyilangkan lengannya, pipinya sedikit merah karena malu dan jengkel.
"Aku ngga paham apa yang lucu," gerutunya membela diri.

"Aku hanya... maksudku, aku hanya kesal karena kau tidak memberiku cokelat. Hanya itu saja."

"Padahal kemarin aku memberimu cookies, apa itu masih kurang untukmu?"

Kerutan di dahi Kei semakin dalam. Dia tidak dapat menyangkal bahwa Yui telah memberinya kue kemarin, dan dia tahu bahwa dia bersikap agak serakah. Namun, dia tidak dapat menahan perasaan cemburu yang menggerogotinya saat dia melihat Yui memberikan cokelat kepada orang lain.

"Itu beda," gerutunya. "Cookies ya cookies. Cokelat di Hari Valentine itu... sesuatu yang berbeda."

Yui mengambil tasnya dan menyampirkannya di bahunya, bersiap meninggalkan kelas. Ia melirik Kei sebentar, "Padahal menurutku cookies lebih enak daripada cokelat."

"Lagipula, bukankah kau ngga suka makanan manis?" Yui melanjutkan, dengan alis terangkat, mengingatkan Kei akan seleranya sendiri. "Kecuali... strawberry shortcake, kan?"

"Ya, tapi bukan itu intinya....ahhhh sudahlah. Ayo pulang bareng."

                                     ☆

"Kei, aku penasaran karena aku ngga pernah melihatmu bersama gadis mana pun. Padahal kulihat gadis-gadis di sekolah kita cantik-cantik. Atau....jangan-jangan kau...?!?!?"

"Apa yang kau bicarakan huh? Berhenti berpikir hal yang ga masuk akal," ucap Kei dan menjetikkan jarinya ke kepala Yui. "Hanya karena aku ga dekat dengan gadis manapun bukan berarti aku seperti yang kau pikirkan."

"Lalu kenapa kau ngga mencoba mencari atau mendekati salah satu dari mereka?"

"Yahh aku memang suka seseorang, sih. Cuma belum ngapa-ngapain," akunya dengan nada datar. Bukan akuan, tapi tipuan.

Yui mendadak menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Kei dengan ekspresi terkejut yang sulit ia sembunyikan. Matanya melebar, penuh rasa tak percaya, alisnya berkerut dalam.

"Apa?!" suaranya melengking sedikit lebih tinggi dari biasanya. "Ternyata kau tidak menceritakan apa pun tentang gadis itu~"

Kei menahan erangan frustrasinya, menyadari bahwa Yui salah memahami maksudnya, lagi. Sepertinya gadis di depannya tidak mengerti bahwa dia sedang berbicara tentangnya.
Kei mengutuk dalam hati kenapa Yui begitu tidak peka. Bagaimana dia bisa membuatnya lebih jelas? Dia tidak mungkin secara gamblang mengatakan bahwa crush nya adalah Yui, kan?

"Bisakah kita lupakan saja topik ini?"

"Setidaknya beritahu aku ciri-cirinya~"



'Bagaimana dia bisa begitu bodoh?'

"Oke," akhirnya dia mengalah, nadanya masih datar. "Dia... menyebalkan dan berisik, dan dia sering membuatku kesal."

Yui mendecak lidahnya, ekspresi kesal jelas tergambar di wajahnya. Ia memutar matanya, merasa seolah Kei sedang mempermainkannya lagi dengan jawaban yang menggantung.

“Bagaimana aku bisa mengenal gadis itu kalau ciri-cirinya seperti itu?”

Kei tidak dapat menahan senyum tipis, geli melihat reaksi Yui yang mulai jengkel.

"Kau bertanya dan aku memberitahumu," balasnya. "Kau mengharapkan jawaban apa dariku? Dia cantik, baik, sempurna dalam segala hal? Itu beneran, bukan dongeng."

Yui memiringkan kepalanya sedikit, matanya menerawang ke atas seolah-olah mencoba menelusuri ingatannya untuk mencari jawaban. Ia bergumam pelan, “Hmmm….dia siapa yaaa?"

















'Bodoh! Yang sedang kubicarakan itu kau! Sialan, kenapa dia ga peka? Argh!'

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 02 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Melodi Kecil || Tsukishima Kei Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang