3

56 12 1
                                    

Di pagi hari berikutnya, Peat mendapati dirinya terbangun dalam kamar megah yang penuh dengan hiasan mewah dan perabotan kerajaan. Segalanya masih terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Rencana semula, di mana ia hanya akan hadir dalam perjamuan dan kemudian pulang seperti biasa, ternyata berantakan. Para pelayan mengantarkan pesan dari Queen Dowager yang memintanya untuk tinggal di istana dan mempersiapkan diri sebagai calon mempelai sang Raja.

“Ini pasti sebuah lelucon…” gumam Peat, menatap sekeliling kamar luas yang memaksanya untuk berhadapan dengan kenyataan. Rencana besarnya untuk membatalkan pernikahan malah berubah menjadi rangkaian peristiwa yang menggiringnya semakin dekat dengan tahta dan kewajiban yang tak pernah ia bayangkan akan ditanggungnya. Dalam hati, ia merutuki kesialannya. Apa dia harus kabur? Ahhh... Apa bedanya masa lalu dan masa kini kalau begitu? Dia akan benar-benar membuat mereka semua mati sia-sia.

"Aku telah menyeret diri ku sendiri dalam lubang kesialan, mati aku..." Rengek peat menyesal.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan seorang pelayan perempuan masuk dengan sopan, membawa baki perak berisi jubah, beberapa aksesoris, dan catatan kecil. Peat menatap pelayan itu dengan bingung.

“Selamat pagi, Yang Mulia. Ini adalah jadwal hari ini yang telah ditetapkan untuk Anda,” kata pelayan itu, suaranya lembut dan penuh penghormatan.

Peat menghela napas panjang sebelum membuka catatan itu. Di dalamnya tertera jadwal penuh aktivitas mulai dari sesi pelatihan tata krama kerajaan, pelajaran tentang adat istiadat, pelatihan pengetahuan politik, hingga cara berbicara dan bersikap di hadapan bangsawan lainnya. Jadwal tersebut berlangsung dari pagi hingga sore tanpa jeda. Baginya, jadwal itu adalah kabar buruk yang nyata.

"What the?!" Peat tak bisa percaya dengan apa yg dia lihat, kali ini dia benar-benar sial.

“Hah, jadi ini yang namanya pelatihan calon mempelai?” ucap Peat pelan dengan nada sarkastis.

“Maafkan saya, Yang Mulia? Apakah ada yang perlu saya bantu?” tanya pelayan itu, tampak khawatir dan bingung.

“Oh, tidak… tidak ada apa-apa. Terima kasih. Tolong bawa keluar baki ini; aku akan bersiap sendiri,” jawab Peat cepat-cepat, berusaha agar tidak menampakkan kebenciannya pada situasi ini.
...

Sesi pelatihan pertama adalah belajar duduk dan berdiri dengan anggun. Instrukturnya adalah wanita tua dengan tatapan tajam, yang memantau setiap gerak-gerik Peat seolah ia sedang mengawasi seekor elang.

“Yang Mulia, seorang calon ratu harus memiliki postur sempurna. Harap perhatikan cara Anda berdiri dan melangkah,” ucap sang instruktur dengan nada tegas.

"Ya... Ya aku mengerti!" Kesalnya tanpa bisa banyak mengeluarkan protes.

Peat hanya mengangguk dan mencoba mengikuti arahan, meskipun hatinya dipenuhi kekesalan. Gerakannya kaku dan canggung, membuatnya terus dikoreksi berulang kali. Ia mulai lelah dan berpikir betapa mustahilnya tugas ini baginya, hingga akhirnya ia mendengar langkah berat mendekat dari balik pintu aula latihan.

Pintu terbuka dan sosok  Fort muncul. Mata tajamnya menatap Peat sejenak sebelum bibirnya menyunggingkan senyum sinis.

“Lihat siapa yang sudah belajar menjadi ratu sejati,” ucap Fort sambil berjalan menghampiri Peat dengan tenang, berdiri dengan tangan bersilang di dadanya.

Peat meliriknya sekilas, lalu mengalihkan pandangan. “Ah, Yang Mulia Raja. Senang sekali Anda meluangkan waktu untuk menyaksikan… penampilan kecil ini.”

Fort mengangkat alis, senyumnya semakin lebar. “Penampilan kecil, ya? Kupikir ini adalah momen besar, mengingat kau sebentar lagi akan menjadi bagian penting kerajaan ini.”

To Wear the Crown: A King's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang