Langit sore Desa Sprotbrough terpampang dengan indahnya di balik jendela kediaman keluarga Hillman. Burung-burung berterbangan, menghiasi langit yang tampak keunguan. Musim gugur di bulan Oktober membuat pemandangan semakin indah. Banyak dedaunan yang jatuh meninggalkan tangkainya.
Semua itu terpantul di kedua mata Isa, yang kini tengah duduk santai di kursi rotan menghadap ke jendela. Wanita itu memandang ke luar sambil menyeruput teh dari cangkir krem yang dibawakan ibunya beberapa tahun silam dari Indonesia.
Rasanya sepi sekali. Orangtuanya masih belum kembali. Mereka sangat sibuk. Ayahnya merupakan seorang dosen di departemen tata boga di sebuah universitas di Doncaster, sementara itu ibunya adalah seorang juru masak di sebuah restoran makanan Asia di dekat perumahannya.
Tujuan mereka ke Indonesia kali ini adalah karena Sean, ayah Isa, mendapat panggilan untuk mengisi seminar di sebuah universitas di Indonesia. Kebetulan universitas itu berada di dekat kampung halaman Ningsih, ibu Isa, jadi wanita paruh baya itu mengambil cuti dan ikut Sean ke Indonesia.
Isa sempat diajak keduanya, namun wanita itu menolak. Bukan karena dia tak suka dengan Indonesia, dia hanya malas menanggapi tante-tantenya yang sering menanyakan pertanyaan konyol seperti kapan-kau-menikah? atau apa-kau-belum-punya-pasangan? dan yang paling buruk adalah mendengar kalau-tidak-cepat-nanti-kau-terlalu-tua-dan-tidak-ada-yang-mau-menjadi-suamimu.
Walau begitu, Isa tetap sayang mereka. Hanya saja pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya risih dan malas untuk bertemu mereka. Di luar itu, gosip-gosip yang dilontarkan tante-tantenya juga interesting baginya. Terkadang dia menikmati waktu kebersamaan mereka.
Drrrt! Drrrt!
Ponsel Isa bergetar, menandakan ada telepon masuk. Perlahan, wanita itu meletakkan cangkir di tangannya, lantas dia meraih ponsel dan membaca nama penelpon.
Mom.
Ternyata ibunyalah yang menelpon. Dengan senang, dia pun mengangkat telepon tersebut.
"Halo, Isa. Sekarang di sana pasti sudah sore. Aku harap aku menelponmu di saat kau sudah tidak sibuk dengan pekerjaanmu." Suara Ningsih terdengar dari seberang telepon.
Isa meringis, dia teringat kesibukannya kemarin. "Yah, aku sudah tidak sibuk. Ada apa, Mom?" tanyanya, matanya menerawang langit, penasaran dengan apa yang saat ini tengah dilakukan oleh orangtuanya.
Suara dari seberang telepon kembali terdengar. Isa mendengarkan dengan sabar. "Aku dan ayahmu akan naik pesawat enam jam lagi. Aku membawakanmu oleh-oleh yang banyak, aku yakin kau akan senang. Lalu …." Untuk beberapa detik, suara Ningsih tidak terdengar. Isa sempat kebingungan kenapa tidak ada suara Ningsih. Tapi akhirnya suara wanita tersebut kembali terdengar. "Tante Nia ingin bicara denganmu."
Mata Isa membulat. Nia adalah salah satu dari tantenya yang sering membuatnya risih karena sering menyuruhnya cepat-cepat menikah. Wanita berkepala dua itu menggigit bibir bawahnya, berharap Nia tidak jadi bicara padanya.
"Halo, Isa?"
Ah, dia tetap kena.
"Halo, Tante. Ada apa?"
Untuk beberapa waktu, Nia terdiam. Sepertinya dia butuh waktu untuk menerjemahkan beberapa kata ke bahasa Inggris agar bisa berkomunikasi dengan baik bersama Isa.
"Bagaimana kabarmu, Isa? Apakah kau sehat? Minum dan makan dengan teratur?"
Isa berhenti menggigit bibir bawahnya, dia tersenyum. Wanita tersebut menerawang langit seraya berkata, "Kabarku baik. Ya, aku makan dan minum secara teratur. Bagaimana denganmu, Tante? Lalu bagaimana kabar anak-anakmu? Mereka sehat, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Past & Our Future [Louis Tomlinson]
Fanfiction"I only date to marry." "And I'll marry you." *** Karena kecelakaan tragis yang dialami Isa, sebagian ingatan masa remajanya pun harus menghilang bersamaan dengan menghilangnya ingatan tentang sahabatnya. Dia kehilangan ingatannya mengenai banyak ha...