BAB 3

2.3K 134 11
                                    

"Maafin kita yaa Sa. Niatnya kita sebenarnya baik, pengen kalian ada waktu berdua."

Sakura terdiam seolah bersikap acuh tak acuh atas semua perkataan kedua manusia paruh baya di hadapannya. Matanya tertuju pada sosok lelaki yang kini terbaring lemah di atas brankar hingga hembusan panjang keluar dari mulutnya.

Dia sangat lemah sekali yah?

"Kamu mau maafin kami kan, Sakura?"

Sakura menoleh. Merasa tidak tega kala melihat raut wajah memelas mereka, hingga hati kecilnya luluh mengangguk memaafkan.

"Tapi aku butuh waktu." Mendengar itu. Orang tuanya dan juga orang tua Keivan saling pandang. "Aku mau pulang."

"Sakura!" Tegur Nami dengan cepat. "Bun, aku tuh masih takut, sampe sekarang aja tanganku masih gemetaran. Aku-" Sakura menunduk tidak tau harus menjelaskan bagaimana tanpa ada sedikit pun niat darinya untuk menyakiti perasaan sang Ibunda Keivan.

"Ma...." Panggilan lirih membuat atensi mereka teralihkan. Mata yang tadinya terpejam kini mulai membuka dengan gerakan pelan. Semua mendekat, selain Sakura. Gadis itu lebih memilih memundurkan diri menjaga jarak.

Keivan bisa melihat raut bahagia Ibundanya, tangannya mengusap hingga Keivan sejenak menutup mata menikmati. "Keivan perlu sesuatu. Mau Mamah panggilkan Dokter?" Keivan menggeleng lemah. Tiba-tiba kejadian beberapa jam yang lalu terjadi padanya berputar kembali. Keivan kembali menatap sang Ibunda. "Sakura mana?" Ia jadi teringat sebagaimana ketakutannya gadis tersebut saat dirinya collapse.

Keivan berusaha menoleh tapi lehernya begitu sakit digerakkan. Mungkin saat kejang tadi lehernya sedikit salah gerak hingga berakibat nyeri ketika Keivan berusaha menoleh. "Lehernya sakit ya." Rasanya bukan hanya lehernya saja. Sepertinya iya juga kesulitan menggerakkan anggota tubuh lainnya. Tapi, Keivan lebih memilih diam.

Keivan merasa denyutan nyeri di bagian tubuh bawahnya, kepalanya bergerak untuk mengintip. Ada sebuah selang panjang di mana di ujungnya terdapat kantung dengan isi cairan kekuningan yang ia yakini ada air kemihnya. Itu memalukan.

Seolah mengerti. Amira mengusap bahu sang anak menguatkan.

"Kenapa Keivan engga mati aja sih, Mah," seru Keivan tiba-tiba.

"Hush, jangan bilang kaya gitu."

"Aku engga berguna, cuma jadi beban. Pasti Mamah malu kan punya anak kaya aku?" Entahlah. Tiba-tiba suasana hatinya menjadi buruk. Padahal hal seperti ini sudah menjadi hal biasa baginya. Rumah sakit adalah makanan sehari-hari Keivan. Tapi kenapa sekarang Keivan merasa hal ini begitu menyakitkan untuknya.

"Keivan tidak ada orang tua yang merasa malu atas kekurangan anaknya." Keivan menoleh. Ia bahkan lupa ada Ibunda Sakura di sisi Mamahnya. Keivan berusaha menahan tangis hingga rasa tercekik menggerogoti tenggorokannya.

"Sesek ya?" Keivan menutup mata sayu. Dia sudah memakai nasal oxigen canulla harusnya nafasnya stabil. "Keivan kami disini selalu ada buat kamu, begitu juga dengan Sakura."

Mendengar itu. Keivan membuka matanya. "Ingat, kamu bertahan sampai sini untuk siapa?"

Keivan tau tapi....

"Sakura sini, kenapa malah disitu?"

Dia sepertinya melupakannya.

Keivan sedikit merasa kikuk, tidak tau ternyata sedari tadi gadis itu berada disini. Ia jadi sedikit malu karena terlihat seperti lelaki nyerahan. Ada rasa mengganjal di hatinya begitu Sakura sama sekali tidak ingin melihat kearahnya. Hatinya tergores sakit.

Gadis itu tidak bergeming di tempat. Padahal Keivan harap Sakura mendekat kearahnya. Sakura jijik ya dengannya. Rautnya seperti tengah melihat benda yang begitu menjijikan bagi Sakura.

"Katanya Keivan mau berterima kasih sama kamu, sini," seru Amira mencari cara agar Sakura mendekat. Perlahan Sakura mulai menyeret kakinya untuk melangkah. Ada benarnya, Keivan memang harus berterima kasih dengan Sakura.

Niatnya Keivan ingin tersenyum, tapi karena hatinya sudah menebak jika Sakura tidak akan membalas senyumannya. Ia lebih memilih mengurungkan niatnya.

Dari rautnya. Sakura seperti berkata 'Apa' dengan nada ketusnya.

Keivan menatap Sakura lalu beralih ke sang Ibundanya. "Dokter."

Amira mendekat. "Keivan mau dipanggilin Dokter?" Keivan mengangguk kecil. "Bentar Mamah panggil."

Sakura juga berniat keluar begitu Ibundanya juga menyusul dibelakang orang tua Keivan. Ia tidak mau sendirian bersama Keivan. Tetapi sebuah cekalan di tangannya menghentikan. "Sini aja."

•••

"Gimana, Engga kekencangan kan?"

Keivan mengangguk sebisa mungkin. "Mau di ganti masker oksigen? Keliatannya kamu kesulitan b-"

"Engga Dok. Ini udah cukup," sela Keivan. Ia tidak mau menggunakan benda itu karena benda tersebut membatasi ruang bicaranya. Ia juga merasa risih merasa di bekap sebagian wajahnya jika memakai oksigen mask.

Dokter baru saja memasangkan penyangga leher untuk meminimalisir terjadinya hal yang semakin buruk dengan lehernya. Menjaga pergerakan bebas yang semakin membuat lehernya sakit.

Dokter dengan jenis kelamin perempuan itu mencuri pandang pada genggaman tangan dirinya dengan Sakura, lalu senyum kecil terbit menghiasi wajahnya. "Ini ya Keivan?"

Keivan hanya tersenyum malu. "Iya." Mengerti arah maksud sang Dokter.

"Syukurlah, jadi sekarang engga sedih-sedih terus dong."

"Hm. Semoga Dok."

Sakura hanya mengerutkan keningnya tidak mengerti.

"Yaudah, saya keluar dulu ya."

"Iya Dok, terimakasih."

Setelah kepergian sang Dokter. Suasana menjadi senyap. Keivan mencuri pandang pada Sakura.

"Ra."

Gadis tersebut menoleh tanpa sepatah kata. "Boleh ambilin minum engga?"

Sakura bergerak bangkit. Menuangkan secangkir air putih lalu menyodorkan kepada Keivan tanpa sepatah kata apapun. "Aku engga bisa minum sendiri."

"Tangan lo?"

Keivan sedikit terkejut dengan nada bicara Sakura.

"Lo?" Ulang Keivan dengan alis terangkat satu.

"Iya elo. Lo kan punya tangan. Nih cepet, pegel tau."

Keivan menatap gelas dihadapannya. Mengigit bibir. Ia berusaha menggerakkan tangannya, tapi nihil, bahkan jari-jari tangannya sama sekali tidak bergerak. Lalu apa lagi dia mengangkat tangannya untuk menerima sodoran minuman dari Sakura.

"Lo jadi cowok lemah banget, najis!"

To be continued.

Boleh minta vote 30 buat lanjut engga sih?😓💖

One We Get Married [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang