"Mimpi menjadi nyata, tetapi tak ada yang memperingatkan bahwa kenyataan kadang datang dengan harga yang tak mampu kuprediksi." -Liamendra Madaharsa
***
Sejak kecil, Liam selalu membayangkan dirinya berdiri di atas panggung besar, di bawah sorotan lampu yang terang, dengan ribuan penonton bersorak untuknya. Sekarang, itu bukan lagi mimpi. Mimpi itu sudah menjadi kenyataan-ia telah merasakan sendiri bagaimana menakjubkannya berada di sana, bernyanyi dengan seluruh jiwa untuk penggemar yang mengaguminya. Namun, mimpi yang menjadi kenyataan ini datang dengan harga yang tak terduga.
Sebagai penyanyi yang tengah naik daun, jadwal Liam padat tanpa henti. Konser, wawancara, sesi latihan-semuanya terasa begitu cepat. Bara, asistennya yang setia, sering mengingatkan Liam untuk makan dan beristirahat. Namun, sifat keras kepala Liam kadang membuatnya mengabaikan nasihat itu, sampai lupa akan kesehatannya sendiri. "Aku baik-baik saja, Kak. Penggemar lebih penting," katanya setiap kali Bara mencoba meyakinkannya untuk mengambil waktu sejenak.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Liam berdiri di atas panggung yang megah. Sorot lampu menyinari wajahnya yang tampan, menampilkan senyum yang selama ini memikat hati jutaan orang. Seperti biasa, sebelum mulai menyanyikan single terbarunya, ia melambaikan tangan dan menyapa penonton. Riuh sorakan membahana, memenuhi ruangan dengan energi yang membara.
"Apa kabar, semua!?" serunya dengan senyum lebar. Sorakan penggemar semakin menggema, membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Ketika musik mulai mengalun, Liam tenggelam dalam alunan melodi dan lirik yang ia nyanyikan dengan sepenuh hati. Suaranya melengking sempurna, menggetarkan setiap sudut ruangan, membuat para penonton terpesona. Ia tampil tanpa cela-begitu memukau. Namun, di tengah-tengah klimaks lagu, ada sesuatu yang salah.
Perlahan, pandangannya mulai kabur. Awalnya samar-samar, tetapi kemudian semakin tak jelas. Suara yang tadi tegas kini sedikit goyah, dan sensasi pusing yang tiba-tiba datang mulai menusuk kepalanya. Ada apa ini? batinnya, cemas mulai menjalar di tubuhnya. Namun, senyumnya masih terukir di wajah, mencoba menutupi gejala yang semakin memburuk. Penonton belum menyadari, tetapi di dalam, Liam mulai panik.
Dadanya tiba-tiba terasa sangat sesak. Napasnya terengah, seolah paru-parunya tertindih oleh beban berat yang tak terlihat. Ia berusaha tetap tegak, mencoba melanjutkan penampilannya, tetapi tubuhnya mulai mengkhianatinya. Rasa sakit di dada semakin kuat, memaksa senyum di wajahnya menghilang.
Di balik panggung, Bara melihat ada sesuatu yang tidak beres akan artisnya itu. "Liam?" gumamnya pelan, alisnya berkerut penuh kekhawatiran.
Liam mencoba melangkah ke sisi panggung, berharap bisa menyelesaikan lagu dengan mulus. Namun, kakinya lemas. Lututnya bergetar hebat, dan sebelum ia menyadarinya, mikrofon di tangannya jatuh ke lantai dengan dentuman yang bergema di seluruh panggung. Suasana yang tadinya penuh sorakan, kini berubah senyap. Penonton terdiam, bingung melihat idola mereka tampak goyah.
"Liam!" Bara berteriak dari belakang panggung, suaranya dipenuhi ketakutan. Ia bergegas menghampiri saat melihat Liam mulai jatuh berlutut.
Dengan tangan yang gemetar, Liam meraih ear monitor-nya, mencoba memberi isyarat kepada kru bahwa ia tak bisa melanjutkan. Ia hampir tak bisa bernapas, pandangannya semakin kabur, dan seluruh tubuhnya seolah lumpuh. "Aku ... nggak bisa ..." lirihnya pelan, sebelum seluruh dunianya menjadi gelap.
"Liam!" teriakan Bara semakin panik saat melihat tubuh Liam terjatuh ke lantai. Dia langsung mengeluarkan perintah cepat kepada para kru. "Cepat panggil dokter! Bawa dia ke rumah sakit sekarang!"
Kepanikan melanda seluruh area panggung. Kru segera menghampiri Liam, mengangkat tubuhnya yang tak sadarkan diri. Penonton mulai menyadari bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi dan bisikan-bisikan kecemasan mulai menyebar di antara mereka.
Bara berlutut di samping Liam, memegang tangannya yang dingin. "Bertahan, Li ... kamu akan baik-baik aja," lirihnya, suara seraknya penuh ketegangan.
***
Liam membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat, seolah mencoba melawan gravitasi. Cahaya putih yang menyilaukan menyambut retinanya dan rasa pening yang tajam segera menyerang kepalanya. Dia meringis, menahan rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya. Di mana aku? batinnya. Suara mesin detak jantung yang berirama monoton di sampingnya memberi petunjuk, tetapi pemandangan ruangan yang asing membuat dadanya semakin sesak.
"Li, udah sadar?" suara serak penuh kekhawatiran menyusup di telinganya. "Mana yang sakit?" Bara, dengan wajah penuh kecemasan, mencondongkan tubuh ke arah Liam.
Liam mencoba menggerakkan kepalanya, tetapi rasa pusing membuatnya melenguh pelan. Matanya bertemu dengan tatapan asistennya yang gelisah. Dia berusaha tersenyum di balik masker oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya, senyum itu terasa lemah. "Pusing, Kak," katanya pelan, suaranya serak. "Dadanya sesak."
Bara mengangguk, meski matanya tak bisa menyembunyikan betapa khawatirnya dia. "Dokter sebentar lagi datang buat cek kondisi kamu. Tahan dulu, ya," suaranya terdengar tenang, tetapi Liam tahu Bara tengah menahan rasa takut. Selama ini, Bara selalu melihat Liam sebagai sosok yang kuat-tak pernah sekalipun jatuh seperti ini.
"Maaf, Kak." Suara Liam bergetar, bibirnya gemetar seiring kata-kata yang keluar. "Aku ... aku hancurkan semua. Pertunjukannya, penggemar ... mereka pasti kecewa." Pikirannya mulai dipenuhi bayangan tentang ribuan penggemar yang menyaksikan dirinya terjatuh di panggung, media sosial yang pasti ramai dengan perbincangan tentang insiden tersebut. Semua kesalahan terasa bertumpuk di pundaknya. "Aku bikin rugi semua orang."
Bara mendekatkan kursinya, duduk di samping ranjang Liam, meraih tangan dingin penyanyi muda itu dan menggenggamnya erat. "Udah, jangan pikirkan itu sekarang." Suaranya lembut, tapi tegas. "Yang penting sekarang kesehatanmu. Ini bukan salahmu, Liam. Ini terjadi di luar kendali kita."
Liam menatap asistennya, matanya basah oleh perasaan bersalah yang tak mampu ia tahan. Namun, dia tahu Bara benar. Bahkan jika dia ingin mengubah sesuatu, tubuhnya telah mencapai batasnya.
Beberapa saat kemudian, seorang dokter masuk bersama perawat, wajah mereka serius namun tenang. Mereka segera mendekat ke ranjang Liam, memeriksa monitor dan catatan kesehatan sebelum menanyakan kondisi Liam. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya dokter itu, suaranya penuh perhatian.
Liam menelan ludah, kemudian mencoba menjawab dengan tenang. "Pusing, Dok. Dada masih terasa berat, tapi tidak seburuk tadi."
Dokter mengangguk, mencatat sambil bertanya lebih detail tentang gejala yang Liam rasakan. "Sakit di dada, napas pendek, pusing. Apakah kamu sempat merasa jantungmu berdetak tidak teratur?"
Liam mengangguk ragu. "Iya, tadi di atas panggung rasanya begitu. Hmm, saya pasti cuma kecapekan, kan, Dok?" tanyanya penuh harap, berusaha tersenyum meskipun hatinya cemas. "Nggak apa-apa, kan?"
Dokter menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Untuk sekarang kondisimu sudah lebih stabil, tetapi melihat gejala yang kamu alami, saya sarankan kamu dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu. Kami juga perlu melakukan serangkaian pemeriksaan lebih lanjut. Ini bisa jadi lebih dari sekadar kelelahan, dan kami harus memastikannya."
Kata-kata dokter itu menghantam Liam seperti palu. Dirawat? Pemeriksaan lebih lanjut? Pikiran-pikiran gelisah mulai membanjiri benaknya, ia tetap diam, hanya memandangi langit-langit dengan tatapan kosong.
Bara, yang berdiri di sampingnya, mengerutkan dahi. "Li, ikuti saja, ya. Ini juga buat kebaikanmu. Kita nggak bisa ambil risiko."
Liam menghela napas panjang, menelan kecemasannya, dan mengangguk pelan. "Iya, Kak," gumamnya pelan. Bara memegang bahunya dengan lembut sebelum pamit untuk mengurus berkas-berkas administrasi.
Setelah Bara keluar, Liam kembali terdiam. Ruangan terasa sunyi dan dingin. Pikirannya mulai bermain-main dengan kemungkinan buruk. Apa yang sebenarnya terjadi dengan tubuhnya? Apakah mimpinya sebagai penyanyi akan terancam? Semua pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya, menambah beban yang menghimpit dadanya.
"Iya, pasti cuma kecapekan," gumamnya pada diri sendiri, berusaha menghibur pikirannya yang kalut. Namun, rasa takut itu terus membuntutinya, seperti bayangan gelap yang tak bisa diusir.
Dia memejamkan mata, mencoba melupakan semuanya, tetapi detak jantungnya yang pelan terdengar terlalu keras di telinganya, mengingatkannya bahwa ia tak lagi bisa mengabaikan tubuhnya sendiri.
[]
Lampung, 03112024
![](https://img.wattpad.com/cover/378312748-288-k38805.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lagu Terakhir untuk Pulang ✓ (Open PO)
Fanfiction[Diikutsertakan Dalam Event Great Author Batch 2] Liam adalah seorang pemuda berbakat yang sejak kecil bermimpi menjadi penyanyi. Namun, impiannya itu ditentang keras oleh kedua orang tuanya yang menganggap bahwa musik tidak akan memberinya masa dep...