Tiga

176 41 0
                                    


Perpisahan bukanlah solusi namun untuk apa terus bersama jika akhirnya sama-sama menggoreskan luka.

***

"Kak," sapa Leon saat ia hendak berangkat sekolah. Wulan sudah siap lebih dulu. Sudah dua ini ia kucing-kucingan dengan papahnya yang tidak tau Wulan bekerja. Leon melindungi kerahasiaan Wulan.

Untungnya, papahnya lebih sering di kantor. Di rumah justru merasakan sesak, bisa jadi karena proses perceraiannya yang sudah berjalan.

"Apa?" sahut Wulan seraya memeriksa bawaannya tak ada yang ketinggalan.

"Nggak jadi, deh." Leon segera berdiri. Ia raih kunci motor, pagi itu akan mengantar Wulan dulu sampai sekolah.

"Kenapa? Bilang," desak Wulan.

Leon memakai helm lalu menghela napas diiringi raut wajah sendu. "Mama kenapa pergi gitu aja. Nggak pamit kita dari malam itu?"

Kedua bahu Wulan terangkat, ia juga tak tau apa alasan mamanya. Segera mereka berangkat sekolah. Papanya sudah dua hari menginap di kantor. Setidaknya Wulan dan Leon tenang.

Baru keluar pagar, mereka dicegat pak RT. Wulan turun perlahan, menanyakan ada apa pak RT pagi-pagi ke rumah.

"Lan, saya mau kasih catatan tagihan iuran warga. Tiga bulan belum di bayar." Pak RT memberikan catatan.

"Oh, iya, Pak. Papah saya mungkin lupa. Boleh dibayar sekalian semuanya di tanggal dua lima, Pak?" Bukan tanpa alasan, karena tanggal segitu Wulan akan gajian pertama kali.

"Boleh, Lan. Makasih, ya, sebelumnya." Pak RT pergi, Wulan kembali naik ke atas sepeda motor. Leon hanya diam tak komentar apapun.

Leon mengantar sampai depan gerbang sekolah. Ia tadi sempat sarapan telor ceplok, itu juga berdua Wulan karena belum belanja lagi.

"Nanti siang makan beli aja, ya. Nih, uangnya." Wulan memberikan uang dua puluh ribu. "Jemuran baju diangkatin, biar gue yang nyetrika balik kerja. PR lo jangan lupa dikerjain. Kalau ada tugas suruh bawa apa ke sekolah, bilang, jangan kayak kemarin."

Leon tetap diam.

"Leon! Heh!" pelotot Wulan. Leon terkesiap, ia respon hanya dengan senyuman. "Hati-hati," tukas Wulan lagi.

Selama di sekolah, kedua mata Wulan terasa mengantuk. Sudah pasti kurang tidur, ia tahan sekuat mungkin.

Saat jam istirahat, ia gunakan untuk tidur. Leo yang mampir ke kelas Wulan, hanya bisa mendesah prihatin. Akan tetapi keras kepala yang dimiliki Wulan tak bisa dipatahkan siapapun.

Setiap tiba waktu pulang sekolah, Wulan berlari ke depan gerbang. Menyetop angkutan umum menuju tempatnya bekerja.

Sampai ditujuan ia juga langsung berlari,tak mau terlambat sama sekali.

"Sore Mas Shandy!" sapa Wulan saat melewati Shandy yang asik merokok di belakang resto.

"Sore. Hati-hati jatuh!" teriak Shandy khawatir. Wulan masuk ke ruang karyawan. Meletakkan tas di loker lalu mengambil baju ganti.

Langit tidak selalu biruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang