XIII

62 24 0
                                        

Ruang itu gelap dan sunyi, hanya terdengar suara tetesan air yang jatuh di kejauhan, menggema di antara dinding-dinding beton dingin. Bau besi yang menyengat memenuhi udara, bercampur dengan aroma lembab khas penjara bawah tanah.

Wilian duduk di sudut ruangan, tubuhnya terpasung rantai berat yang mengikat pergelangan tangannya ke dinding beton. Rantai itu tebal, kokoh, dan tampak mustahil untuk dilepas.

Namun, meski terkurung dalam kondisi yang begitu suram, ekspresi Wilian tetap tenang. Matanya tidak menunjukkan ketakutan, melainkan keteguhan yang tak tergoyahkan. Ia sudah menerima nasibnya. Apa pun yang akan terjadi, Wilian tahu bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk melindungi Eleonora.

Baginya, keselamatannya sendiri kini hanyalah masalah kecil, tidak berarti dibandingkan dengan kebebasan Eleonora.

Sesekali ia menarik napas panjang, mendengar gema di penjara yang sepi itu. Setiap suara terdengar lebih nyaring dalam keheningan yang mendalam.

Tak ada jalan keluar dari tempat ini, dan Wilian menyadari hal itu sepenuhnya. Meski begitu, di dalam hatinya tidak ada rasa sesal. Ia melakukan apa yang harus dilakukan.

Pintu besi besar berderit terbuka, cahaya dari obor di luar menerangi sedikit bagian ruangan yang gelap. Seorang penjaga masuk, menatap Wilian dengan dingin, lalu tanpa sepatah kata pun, meletakkan nampan makanan di lantai.

Wilian memandangi nampan itu sejenak, tapi tak tertarik. Pikirannya melayang pada Eleonora.

Prajurit itu sejenak berdiri di sana, memandangi pria yang kini terpasung di hadapannya. Wajah prajurit itu tampak dipenuhi rasa pilu, meskipun ia mencoba menutupi perasaannya dengan sikap dingin dan formal.

Setelah beberapa saat, ia tak bisa menahan diri untuk berbicara.

"Kau benar-benar berani, Wilian," ucapnya dengan suara yang rendah namun penuh ketulusan. "Melakukan hal seperti ini... untuk seorang gadis. Apalagi dengan statusmu sebagai orang biasa, seorang rendahan."

Wilian hanya menatapnya sekilas, matanya tenang namun penuh makna. Ia tak butuh pengakuan, tak butuh pujian. Apa yang dilakukannya bukanlah untuk dianggap berani atau mulia—hanya sebuah keputusan yang lahir dari cinta dan tanggung jawab.

"Keberanian itu tak diukur dari siapa kita," jawab Wilian akhirnya, suaranya terdengar datar namun dalam. "Tapi dari seberapa besar kita siap kehilangan untuk orang yang kita sayangi."

Prajurit itu terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Wilian. Hatinya tersentuh, meski ia tidak bisa memperlihatkannya. Ia tahu bahwa nasib Wilian sudah tergantung pada keputusan penguasa, dan tidak banyak yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan pria ini.

Namun, di dalam hatinya, ia merasa ada rasa hormat yang mendalam tumbuh untuk Wilian—seorang pria yang dengan rela mempertaruhkan segalanya demi seorang gadis, meskipun dunia mungkin melihatnya hanya sebagai orang biasa.

"Aku harap penguasa menunjukkan belas kasihan padamu," lanjut prajurit itu pelan. "Tapi... kita semua tahu betapa kejamnya dunia ini."

Wilian tersenyum tipis, matanya memancarkan keyakinan yang tak tergoyahkan.

"Aku sudah melakukan yang terbaik untuk Eleonora. Itu sudah cukup."

Prajurit itu menghela napas panjang, lalu mengangguk kecil. Ia tahu bahwa tak ada lagi yang bisa dikatakan, dan tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Dengan langkah berat, ia meninggalkan ruangan itu, membiarkan Wilian terkurung dalam sunyi yang pekat, dikelilingi dinding-dinding beton yang dingin.

Suara derap langkah kaki terdengar semakin jelas di lorong sempit penjara bawah tanah. Dentumannya begitu keras, bergema, semakin mendekat ke arah sel tempat Wilian ditahan. Wilian tak sempat berpikir lama, karena tak lama kemudian, suara pintu jeruji besi terbuka dengan kasar, menciptakan dentuman yang menusuk telinga.

Love letter Eleonora || TamatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang