Prolog

11 1 1
                                    


Di sebuah sudut kota Medan yang sibuk, berdiri seorang gadis berusia 17 tahun dengan pandangan yang dalam dan penuh teka-teki. Nara Alisya Pramesti memandang ke luar jendela kamarnya, menyaksikan hujan yang turun dengan irama yang menenangkan. Jendela itu seolah menjadi gerbang antara dunia nyata yang penuh kesibukan dan dunia kecilnya sendiri, tempat ia menumpahkan mimpi, harapan, dan semua perasaannya yang tersembunyi.

Nara adalah siswa kelas 12, seorang gadis berkacamata dengan senyuman manis yang jarang terlihat kecuali di momen-momen tertentu. Di sekolah, dia dikenal aktif di organisasi OSIS sebagai sekretaris dan anggota English Club yang selalu penuh semangat. Namun, di balik semua aktivitasnya, Nara adalah seorang introvert yang sering merasa sepi di tengah keramaian. Banyak teman yang mengaguminya karena dedikasinya, tetapi tak seorang pun tahu betapa kosongnya hatinya.

Dalam kehidupan sehari-harinya, Nara berusaha keras untuk menjaga keseimbangan antara akademik dan organisasi. Di rumah, ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya, Arvin Pramesti, seorang mahasiswa arsitektur yang ambisius, selalu sibuk dengan proyek-proyeknya, sementara adiknya, Lila Pramesti, adalah gadis ceria yang selalu membawa tawa dalam keluarga. Bapak Aryo Pramesti, seorang pegawai negeri yang bijaksana, dan Ibu Sari Pramesti, guru yang penuh kasih, melengkapi kehidupan keluarga yang terlihat sempurna di mata orang lain.

Namun, hanya Nara yang tahu bahwa ada bagian dalam hatinya yang tak pernah sepenuhnya pulih. Sebuah cinta pertama yang singkat namun membekas pernah mewarnai hidupnya. Emir Aydın, remaja 17 tahun asal Turki, adalah orang yang pernah membawa kebahagiaan dan harapan dalam hidup Nara. Mereka bertemu melalui sebuah aplikasi chatting internasional, di mana percakapan ringan berubah menjadi diskusi mendalam tentang mimpi, budaya, dan cita-cita. Bagi Nara, Emir adalah angin segar yang membawanya ke tempat-tempat jauh tanpa harus meninggalkan kamarnya.

Namun, semua yang indah pasti menemui akhirnya. Emir perlahan menjauh, meninggalkan kata-kata yang penuh penyesalan dan alasan yang tak sepenuhnya dipahami Nara. Hatinya remuk, dan sejak saat itu, ia berjanji untuk tidak membiarkan dirinya jatuh cinta lagi. Luka itu membekas, menutup pintu hatinya rapat-rapat.

Waktu berlalu, dan Nara kembali terjebak dalam rutinitasnya. Hingga suatu hari, di sebuah grup obrolan English internasional, ia bertemu dengan Youssef Hassan El-Sayed. Youssef, mahasiswa teknik sipil semester akhir di Zagazig University, Mesir, lima tahun lebih tua darinya. Percakapan awal mereka sederhana, bertukar cerita tentang budaya, bahasa, dan kebiasaan. Namun, dari interaksi-interaksi itu, Nara merasakan sesuatu yang tak terduga.

Youssef memiliki kepribadian yang dewasa dan hangat. Dia mendengarkan tanpa menghakimi, memberi nasihat tanpa memaksa, dan berbicara dengan nada suara yang membuat hati Nara merasa tenang. Nara, yang awalnya ragu, mulai merasakan kehangatan yang dulu ia pikir tak akan pernah kembali. Youssef membawa warna baru dalam hidupnya, perlahan menghapus bayangan masa lalu yang pahit.

Warna Cinta Diantara Dua Benua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang