4

51 7 0
                                    

Malam itu di rumah sakit, suasana sunyi terasa mencekam. Cahaya lampu lorong yang temaram menambah kesan dingin di tempat itu. Di dalam ruang istirahat Keidionel, keluarga Alastar berusaha mengistirahatkan diri setelah seharian penuh diliputi kekhawatiran.

Di lorong rumah sakit, Zegra melihat Asha yang tergesa-gesa menarik tangan Ribi. Wajah mereka menunjukkan kecemasan yang tak bisa disembunyikan.

“Asha,” panggil Zegra, menghentikan langkahnya.

“Hai, Kakak Dokter,” jawab Asha dengan senyum tipis namun terlihat terburu-buru. “Kita mau ke ruang Papa dulu, sudah ditunggu dari tadi,” ujarnya cepat sebelum melanjutkan langkahnya bersama Ribi.

Zegra hanya mengangguk, memperhatikan mereka pergi sebelum melanjutkan jalannya menuju ruang ICU. Di depan pintu ruang ICU, ia melihat Lunara duduk sendiri, matanya yang sembap menatap lantai tanpa fokus.

“Luna, istirahat aja gih, Kazumi biar saya yang jaga,” ujar Zegra pelan.

Lunara menggeleng, menahan air matanya yang hampir tumpah. “Gak, aku gak mau ninggalin adikku sendiri di sini.”

“Kamu ke ruangan Pak Onel aja, keluarga kamu semuanya di sana,” bujuk Zegra, mencoba memberikan ketenangan pada rekan lamanya itu.

Lunara masih terlihat ragu ketika tiba-tiba Rasya datang, bersiap untuk pamit pulang. Namun, sebelum sempat mengatakan apa pun, Zegra segera memberi isyarat.

“Rasya, tolong antar Lunara ke ruangan Pak Onel. Biar saya yang di sini,” pinta Zegra tegas.

Rasya menatap Lunara, lalu mengangguk. “Ayo, kak Luna. Kamu butuh istirahat,” katanya lembut sambil meraih tangan Lunara yang gemetar.

Setelah Lunara dan Rasya pergi, Zegra masuk ke ruang ICU dan mendekati tempat tidur Kazumi. Keadaannya masih terlihat mengenaskan, dengan luka-luka yang menutupi sebagian besar tubuhnya. Suara mesin medis yang berdetak stabil menjadi pengingat bahwa perjuangan Kazumi masih berlanjut.

“Cepat sembuh, Kazumi Febriolla,” gumam Zegra dengan nada penuh harapan.

Beberapa saat kemudian, Zegra keluar dari ruang ICU. Di luar, keluarga Alastar sudah berkumpul, termasuk Keidionel dan Indah, yang wajahnya penuh kecemasan.

“Bagaimana, Dokter Zegra?” tanya Indah, suaranya bergetar.

Zegra tersenyum tipis untuk menenangkan mereka. “Alhamdulillah, sudah lebih baik dari sebelumnya.”

Ribi, yang berdiri di dekat Keidionel, menatap penuh harap. “Ribi boleh masuk gak, Pa?” tanyanya, suaranya lirih.

Keidionel menatap Zegra, seakan meminta persetujuan. Zegra, yang mengerti isyarat itu, mengangguk perlahan. “Boleh, tapi sebentar saja ya, Ribi,” ujarnya lembut.

Ribi tersenyum kecil dan menggenggam tangan Keidionel, siap untuk melihat kakaknya yang terbaring dalam perjuangan hidupnya.

~~~

Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Rumah sakit masih diselimuti suasana sunyi yang mencekam, hanya sesekali terdengar langkah kaki perawat yang berpatroli di koridor. Zegra dan Rasya masih setia berjaga, memenuhi perintah dari Keidionel.

Lunara telah dipaksa pulang oleh ayahnya untuk beristirahat, sementara Adrel kini berada di ruang ICU, menjaga kakak perempuannya, Kazumi. Ekspresi wajahnya tegang, memancarkan kemarahan yang terpendam.

“Bagaimana? Sudah tahu penyebab Kak Zumi kecelakaan?” tanya Adrel dengan nada dingin kepada seseorang di telepon.

“…..”

“Besok, bawakan kedua teman Kazumi ke hadapan saya,” lanjutnya dengan tegas.

“…..”

Langkah kaki Zegra dan Rasya yang hendak masuk ke ruang ICU terhenti sejenak saat melihat Adrel yang tampak sedang menahan amarah.

“Oh, maaf dokter, saya tidak tahu kalian akan ke sini,” ujar Adrel dengan nada datar, menutup teleponnya.

“Tidak masalah,Kami hanya mau periksa Kazumi sebentar,” kata Zegra sambil menepuk bahu Adrel.

“Silakan,” balas Adrel sambil mundur sedikit, memberi ruang bagi Zegra dan Rasya untuk masuk.

Di dalam ruang ICU, Zegra mendekati ranjang Kazumi yang masih terbaring lemah dengan wajah penuh luka. Dengan cekatan, Zegra mulai memeriksa kondisi adik perempuan Adrel, sementara Rasya mencatat hasil pemeriksaan dengan teliti.

“Sudah lumayan membaik dari sebelumnya. Tapi kalau diperhatikan lebih teliti, Sya, di bagian kepalanya ini sepertinya ada bekas pukulan, bukan cuma benturan biasa,” ujar Zegra, suaranya terdengar serius.

Rasya menatap Zegra dengan alis terangkat. “Di mata saya sih kelihatan kayak bekas benturan aspal, Bang.”

Tok! Zegra memukul kepala Rasya pelan dengan stetoskopnya.

“Ini kenapa Pak Onel ngelulusin kamu buat kerja di sini ya,” gumam Zegra sambil menghela napas, setengah bercanda.

Rasya meringis kesakitan, tangannya mengusap kepala yang dipukul. “Iya, Bang, jangan marah-marah dong. Saya, ada kakak cantik mau gak?” candanya, mencoba mencairkan suasana.

Zegra menggeleng sambil tersenyum kecil, kemudian menunjuk luka di kepala Kazumi. “Kalau bekas aspal itu biasanya ada goresan, Sya. Ini memar, lihat deh. Bentuknya bulat dan lebam, seperti bekas benda tumpul.”

“Iya, iya, Bang. Saya ngerti,” Rasya mengangguk cepat.

Setelah selesai memeriksa Kazumi, mereka bersiap untuk kembali ke ruangan mereka.

“Rel, gak tidur?” tanya Rasya sebelum pergi.

“Gak,” jawab Adrel, matanya tak lepas dari Kazumi.

“Dari yang saya lihat, Rel, ada bekas pukulan di kepala Kazumi,” ujar Zegra, kali ini dengan nada yang lebih serius. Adrel menatap kedua dokter muda itu, matanya tajam, memancarkan kemarahan yang siap meledak.

“Bekas luka di kepala sebelah kirinya itu beda dari yang lain. Memarnya bulat, mirip bekas pukulan,” jelas Zegra sambil menatap mata Adrel dengan tegas.

“Ya sudah, kita misi dulu ya, Rel. Udah mau subuh soalnya,” kata Rasya cepat, menarik tangan Zegra untuk segera meninggalkan ruangan. Rasya merasa udara di sana terlalu tegang dengan amarah yang dipancarkan Adrel.

Ketika Zegra dan Rasya keluar, mereka bisa merasakan tatapan berat Adrel di punggung mereka. Situasi ini seolah menjadi awal dari pengungkapan misteri kecelakaan Kazumi yang lebih dalam.

Setelah keluar dari ruang ICU, Zegra dan Rasya kembali ke ruang kerja mereka di rumah sakit. Ketika Zegra baru saja duduk di kursinya, ia melihat ponselnya menyala. Nama mamanya, Shania, tertera di layar. Zegra menarik napas panjang, yakin bahwa mamanya pasti tidak tidur nyenyak karena khawatir.

Dengan cepat, Zegra menjawab panggilan itu. “Iya, Ma,” sapanya lembut.

“Masih lama pulangnya, Zoy?” tanya Shania dengan suara lembut namun terdengar letih.

Zegra melirik jam di pergelangan tangannya. “Kira-kira jam 5 pagi nanti, Ma. Mama tidur aja, ya. Zegra aman-aman saja di sini, nggak usah khawatir,” ujarnya, berusaha menenangkan ibunya.

“Ya sudah, hati-hati ya, Zoy. Mama tunggu,” balas Shania sebelum panggilan berakhir.

Setelah telepon itu berakhir, Zegra meletakkan ponselnya di meja dan menyandarkan punggungnya di kursi. Hatinya hangat mendengar kekhawatiran mamanya, tapi juga terasa berat mengingat keadaan Kazumi yang belum sepenuhnya stabil. Dengan sigap, ia mulai mencatat semua hal penting yang perlu dilaporkan dan dicatat dalam laporan medisnya.

" Bang, saya duduk nya di ruangan bang zee aja ya," ujar rasya yg baru saja masuk keruangan zegra

" Kamu takut sya?"

Rasya hanya cengengesan, zegra menggelengkan kepalanya, merasa heran dengan dokter baru di hadapannya ini.

" Masa iya dokter takut"



Vote!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fighting for her Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang