Pagi itu, rumah keluarga Rakandya dipenuhi kehangatan. Cahaya matahari menerobos jendela besar, memantulkan keindahan ruang keluarga. Shaniel Bhirawa Rakandya sibuk membahas rencana ekspansi bisnis dengan Shania, yang menyambutnya dengan senyum tenang. Di sudut ruangan, Chika duduk sambil memangku Christy, yang sibuk melihat buku cerita bergambar.
Anggelina, melangkah mendekati Zee yang sedang bersiap-siap untuk berangkat. "Abang , kamu beneran nggak ikut rapat sore ini?" tanyanya dengan nada serius, sembari melipat tangan di depan dada.
Zee menatap adiknya sejenak, senyumnya tipis namun matanya menunjukkan keteguhan. "Maaf, Dedek. Abang harus ke rumah sakit. Ada pasien yang butuh Abang."
Anggelina menghela napas pendek. "Kalau begitu, nanti jangan lupa kasih update ke Dedek soal pertemuan itu. Papah kelihatannya makin khawatir kamu ninggalin semua ini, dan Dedek nggak mau lihat Papah makin tegang."
Zee tersenyum dan mengangguk. "Tenang aja, Dedek. Abang bakal tetap ada buat keluarga ini, cuma jalannya sedikit berbeda."
Shaniel menatap Zee dengan sorot tegas namun penuh kebanggaan. "Zegra, Papa berharap kamu tetap bisa memperhatikan perusahaan, meskipun fokusmu di tempat lain."
Shania menambahkan, sambil menatap Shaniel, "Zoya tahu apa yang dia lakukan. Kita dukung saja."
Chika menyelipkan senyum kecil. "Semangat, Zeg. Kakak tahu kamu bisa handle semuanya."
Christy yang duduk di pangkuan Chika ikut bicara dengan polos, "Aunty njel, nanti cerita sama Christy tentang kantor ya?"
Anggelina tersenyum lembut pada Christy. "Pasti, Christy. Aunty janji cerita banyak hal."
Setelah berpamitan, Zee melangkah keluar. Perjalanan menuju rumah sakit sudah menantinya, dengan tantangan baru di dalamnya.
~~~
Di rumah sakit, suasana tenang dengan beberapa pasien yang terlihat berlalu-lalang di lorong. Rumah sakit milik Keidionel Alastar memiliki reputasi sebagai salah satu yang terbaik di kota, dengan dokter-dokter andal dan fasilitas modern. Di sinilah Zee, atau Alzerga Ghazanvar Rakandya, bekerja sebagai dokter spesialis muda yang penuh dedikasi. Meski ia juga memiliki latar belakang pendidikan bisnis, hasratnya selalu pada dunia medis.
Zegra baru saja tiba dan langsung menuju ruang kerjanya. Di lorong, ia berpapasan dengan Lunara Mireya Alastar, putri pertama dari pemilik rumah sakit, yang juga seorang dokter di sana.
"Pagi, Dokter Luna," sapa Zegra dengan senyum ramah.
"Pagi juga, Dokter Zegra," jawab Lunara dengan sedikit senyuman.
"Mau ke mana nih, Dok? Kok arahnya bukan ke ruanganmu?" tanya Zegra, alisnya terangkat penasaran.
"Ini loh, ada dokter baru. Papah nyuruh aku buat lihat kinerjanya. Kalau bisa, kamu juga sekalian, ya," jelas Lunara sambil memegang clipboard di tangannya.
"Boleh, Dok. Dokter duluan saja, saya mau naruh tas ke ruangan dulu," balas Zegra sambil berlalu ke ruangannya.
Beberapa menit kemudian, setelah meletakkan barang-barangnya, Zegra menyusul Lunara yang sedang memerhatikan dokter baru bekerja. Dengan senyum iseng, Zegra berbisik, "Brondong nih, Dok."
Lunara langsung menoleh, matanya melebar sambil berusaha menahan senyum. "Alah, kamu, Zegra," ujarnya, pipinya mulai memerah.
Dokter baru itu adalah Rasya Ardarenza, adik tingkat mereka saat kuliah dulu. Rasya yang berdarah Manado itu memiliki reputasi sebagai dokter muda cerdas dengan senyum menawan. Dulu, Lunara sempat menyimpan perasaan pada Rasya, dan melihatnya kembali setelah bertahun-tahun memunculkan berbagai kenangan lama.