10 Kehilangan

509 66 32
                                        


"Mas Andi, kok tadi nggak tanya ya, siapa yang jadi istri Tuan Leon?"

Pertanyaan Ronald sebenarnya sebuah pernyataan, karena dia baru saja ingat setelah Opa Tom pergi. Pun, dia hanya penasaran. Tidak terlalu penting untuk tahu siapa nenek dari kakeknya itu. Ronald juga tidak membutuhkan jawabannya. Tidak ada urgensinya.

"Eh, iya. Kok gak tanya ya. Memangnya kamu perlu tahu banget, Ron? Biar aku telepon Opa Tom," tawar Mas Andi.

"Nggak usah, Mas. Cuma penasaran aja. Lagian buat apa. Nanti malah mengganggu Opa Tom," ucap Ronald sambil duduk kembali ke meja dimana mereka tadi duduk bersama. "Opa Tom udah baik banget beli tu mobil. Mana nggak pake nawar lagi."

Mas Andi tersenyum. Idenya mempertemukan dengan Opa Tom sepertinya memang sangat dibutuhkan Ronald untuk saat ini. "Nanti aku kirim nomor Opa Tom, siapa tahu kamu butuh. Nanti bisa tanya sendiri. Kamu mau juga?" Ujar Mas Andi, dia langsung membuka hp-nya dan melakukan apa yang baru saja dia katakan. Tidak menunda, supaya tidak lupa. Pesan itu langsung menggetarkan hp Ronald. "Aku kirim ya..."

Ronald mengangguk sambil mengecek pesan di hp-nya.

"Lo masih berharap sama harta itu? Kan lo baru dapet duit?" Tanya Fernando dengan entengnya. Dia sudah bosan melihat temannya badmood kalau sedang pusing di awal bulan.

Ronald mencebik sambil melirik ke temannya.

"Dih, orang gue cuma nanya," gerutu Fernando mendapat lirikan Ronald yang menyebalkan.

"Kan tadi gue udah bilang, cuma penasaran. Nggak tahu juga nggak ada ruginya buat gue," ujar Ronald ketus. Untungnya dia cukup sabar karena baru mendapat uang. Paling tidak urusan tagihan-tagihan bisa teratasi untuk beberapa bulan ke depan. Ronald mengambil sebatang rokok untuk menemani menghabiskan sisa kopinya.

"Terus kenapa muka lo butek banget. Males banget lihatnya."

Lagi-lagi Ronald hanya mencebik. Malas menanggapi.

"Eh, Mas Andi bakal lama di Jakarta? Apa balik ke Singapore lagi?" Tanya Fernando mencari lawan bicara, Ronald sedang tidak bisa diharapkan.

Mas Andi tersenyum ramah dan senyum itu terlihat begitu manis, "Kali ini, nggak. Aku mesti balik Singapore. Udah ditanyain anak-anak. Besok udah balik, " jawab Mas Andi. Dia melihat Ronald yang menoleh ke arahnya, menaruh perhatian. Kemudian dia melanjutkan ceritanya, "Tapi, aku ada rencana bikin konser di Indonesia. Masih tahap aransemen sama nyari talent. Kalau persiapannya udah selesai, aku balik ke sini lagi."

"Oh, keren... kapan rencananya, Mas?" Tanya Fernando lagi.

"Masih diatur jadwalnya. Nanti aku pasti kasih undangan buat kalian..." ujar Mas Andi.

Kemudian hening di antara mereka. Fernando menyibukkan diri dengan hp-nya. Sementara Ronald dengan sebatang rokok yang dihisapnya. Seperti tidak menyimak obrolan, sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Band kalian gimana? Kapan manggung lagi?"

"Kalau nggak Sabtu ya Minggu, Mas. Ni si bocah satu moody-an banget. Bang Wira sampai bete tuh," Fernando mengoceh, mengadu pada Mas Andi.

Terlihat sekali tampang kesal Ronald pada omongan temannya itu.

"Eh, kamu pegang apa, Ndo?"

"Keyboard, Mas."

"Oh..." Tadinya Mas Andi menduga Fernando lah vokalisnya. Wajah setengah bule lebih menjual, pikirnya. "Terus vokalisnya siapa?"

Fernando menunjukkan Ronald dengan bibirnya yang manyun ke arah Ronald. Mas Andi sedikit tidak percaya kalau saudara jauhnya itu yang menjadi frontman. Setahu Mas Andi, Ronald pendiam, cenderung dingin. Dia membayangkan keanehan Ronald yang kaku harus tampil paling depan.

Toko Merah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang