Tujuh tahu aku hidup dalam ingatan yang tidak lagi utuh. Mereka mengatakan aku memiliki wajah yang berbeda dulu. Tapi semakin aku mencari tahu, semakin aku mendekati kematian. Selama aku menginginkan kebenaran atas masa lalu, aku akan berakhir terluka dengan buruk.
Bukan hanya aku, tapi mereka yang bergantung di bawah namaku juga akan mendapatkan hukuman yang mengerikan. Yang membuat aku tidak bisa diam saja melihat mereka harus terluka hanya karena sebuah rasa penasaran.
Yang menjadi pertanyaanku, apa yang terjadi tujuh tahun yang lalu, di mana aku tidak boleh mengetahui kebenarannya. Apa yang mereka sembunyikan hingga mereka mati-matian menutupinya?
Yang paling penting, siapa yang sudah aku lupakan? Sosok seperti apa yang selalu muncul dalam bayangan ingatan tapi tidak pernah dapat kutemukan wujud nyatanya?
Satu-satunya alasan aku terus mencoba menemukan masa lalu, meski dengan banyak darah yang harus aku korbankan adalah sosok itu. Entah dia pria atau wanita, dia teman atau musuh. Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kalau dia adalah alasan segalanya terjadi. Dia satu-satunya yang membuat aku tidak peduli dengan resiko.
Tapi jika sosok itu nyata, jika dia begitu membekas di hatiku, lantas kenapa dia tidak pernah muncul dalam wujud nyata? Kenapa dalam bayangannya saat aku membuka mata tidak pernah ada?
Apa seperti yang dikatakan mereka, kalau apa yang aku perbuat hanya akan menyakitiku dan klanku? Bahwa itu semua hanya fanatasiku belaka dan tidak pernah nyata?
Aku tidak tahu lagi mana yang benar. Segala tentang sosok itu hanya terus mendatangka luka dan tanda tanya.
Rambut panjangku direnggut, dia mendonggakkan aku dan memandang remeh ke arahku. Bahwa aku sudah kembali mengguncang kotak kesabarannya, jelas membuktikan kalau dia sudah lama hilang sabar jika itu menyangkutku.
"Arianna, kau sungguh keras kepala," bisiknya dengan nada jijik pada apa yang sudah kulakukan. "Yang Mulia sudah memaafkanmu berkali-kali, dan kau terus menguji kesabaran beliau. Apa kau sungguh harus mati untuk menunaikan baktimu itu?"
Aku memandangnya yang sedang memandangku. Namanya Ivy George. Dia tangan kiri dari ketua klan kami. Perempuan dengan rambut pendek khas lelaki itu selalu menunjukkan kepatuhannya dan kegigihannya dalam memberikan hukuman bagi siapa pun yang mengusik ketua klan kami.
Ivy sendiri adalah anak kecil yang dibesarkan oleh ketua dan diurus seperti anaknya sendiri. Mereka berbeda dua belas tahun dan itu angka yang cukup untuk menunjukkan kalau Ivy adalah anaknya.
Tapi pendewaan Ivy pada ketua kami sungguh di luar nalar. Dia seperti jatuh sampai batas tergila-gila pada pria kejam itu. Dan melakukan segala cara untuk membuat ketua kami tidak mendapatkan masalah. Termasik menyingkirkan mereka yang berpotensi membuat masalah.
Aku selalu membuat masalah, setiap hari waktuku tidak ada yang namanya tanpa masalah. Tapi sampai detik ini aku selalu hidup, membuat aku tahu kalau pria seperti ketua kami bukan sosok yang akan melepaskan dengan mudah. Aku yakin bukan karena aku spesial yang membuatnya tidak melepaskan aku.
Ada sesuatu tentangku yang masih berguna yang membuatnya mengizinkan aku hidup sampai detik ini.
Bahkan Ivy tidak bisa menyentuhku nyawaku. Dia hanya boleh menyiksaku atau membunuh mereka yang berada di bawah namaku. Menyiksa akal sehatku yang membuat aku menderita. Dan itu kadang lebih menyakitkan dari kematian.
"Kali ini, aku sungguh akan membunuhmu. Tidak masalah yang mulia membenciku, dari pada segala rencananya gagal karenamu. Lebih baik kau mati hari ini." Ivy sudah mengeluarkan belati perak miliknya. Menunjukkannya di depan mataku kemudian memakai belati itu menyentuh wajahku.
Wajahnya puas dengan mata berbinar. Ivy bisa dikatakan perempuan gila yang tergila-gila pada satu pria. Dia sungguh akan membunhku, aku tahu itu. Tapi aku belum bisa mati, aku belum boleh mati. Jika aku mati sekarang, arwahku akan menjadi penasaran hanya sekedar untuk tahu siapa yang sebenarnya aku cari selama ini. Aku tidak bisa mati begitu saja tanpa tahu kebenarannya.
"Jika kau membunuhku, yang mulia akan membencimu. Dia tidak akan mau lagi menatapmu."
"Jangan bohong!" seru Ivy hilang kewarasannya. "Mana mungkin yang mulia membenciku, mana mungkin dia tidak mau menatapku lagi. Hanya aku kesayangannya. Hanya aku!" klaimnya.
"Baik, maka bunuh aku dan lihat apa yang akan terjadi selanjutnya denganmu," tantangku.
Aku bertaruh dengan maut. Aku tahu sepemuja apa Ivy pada pria itu. Dia akan rela bahkan menyerahkan nyawa. Tidak ada yang lebih mencintai pria itu dari pada Ivy, cinta sudah pada tahap obsesi yang mengerikan. Itu membuat Ivy kadang memang tidak waras bila pria itu sudah mengalihkan pandangan darinya. \
Kemarahan pria itu menjadi apa yang sangat ditakutinya, dan kebenciannya jelas akan membunuhnya.
Aku bertaruh dengan perasaan Ivy yang tergila-gila. Gadis muda yang baru berusia enam belas tahun itu pastinya akan terperangkap pada perasaannya sendiri. Tapi ini pertaruhan. Jika aku salah memperhitungkan, maka nyawaku yang akan direnggut hari ini.
Hanya saja aku tidak bisa diam saja tanpa melakukan apa pun.
Belati perak milik Ivy sudah siap menembus ke dadaku. Dia mengayunkannya dengan satu tangan dan siap merobek kulitku. Aku sudah mempersiapkan tanganku untuk melawannya. Aku bukannya pasrah tanpa perlawanan dan hanya mengandalkan pertaruhanku. Melainkan aku siap menemui ajalku tapi tidak dengan cara buruk ini. Aku lebih suka meninggal dalam pertempuran.
"Matilah!" seru Ivy dengan kuat.
Tanganku bergerak siap menangkis. Tapi belati itu tidak pernah melaju cukup dekat denganku. Ivy malah melepaskan rambutku yang dijambaknya dan segera berdiri dengan teriakan yang sanggup membuat orang tuli mendengarnya. Dia memegang belatinya dengan kuat dan terus berteriak dengan keras sampai beberapa kali di gedung tua ini.
"Aku harusnya membunuhnya! Dia harusnya mati! Dia harus mati!" dia terus mengulang tiga kalimat itu dengan nada putus asa. Juga teriakan yang mengimbanginya.
Aku menatapnya dengan lekat. Tahu kalau keinginannya membunuhku begitu besar. Tapi kebencian pria itu padanya yang berada dalma bayangannya jauh lebih besar. Itu membuat dua hal berperang dalam dirinya, menjadikannya begitu buruk dalam mengendalikan emosinya sendiri.
Bergerak bangun, aku berdiri dengan kaki yang terluka. Dia menjegalku saat aku hendak pergi dengan mobilku. Membuat aku kecelakaan dan menyebabkan beberapa luka di tubuhku. Bahkan sampai ke punggungku yang terasa nyeri.
Pandangan kami bertemu, dia melihatku seolah aku adalah noda hitam dalam perjalanan kehidupannya.
Ivy memang baru berusia enam belas tahun, tapi kekejaman dan tidak adanya perasaan dalam diri gadis muda itu akan membuat kau tidak pernah menganggapnya anak kecil. Dia sungguh sanggup melempar darah ke depan wajahmu.
"Hanya kali ini, Arianna. Hanya kali ini. Jika ada lain kali, aku tidak peduli pada apa pun. Aku akan menjadi orang pertama yang membunuhmu. Camkan itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Mafia, Hug Me (KAM)
RomanceTidak ada yang dapat menghentikan Luther Henson dari balas dendam atas kematian kekasihnya. Tapi pertemuannya dengan Arianna Gordon membawanya pada rasa lain yang tidak pernah dikenalinya. Luther memang bodoh dalam cinta, karena dia sendiri tidak me...