3

115 27 0
                                    

Aku masuk ke rumah, gelap ada di mana-mana tapi aku tidak memedulikannya. Aku mengenal rumah ini dengan sangat baik. Bahkan dalam kegelapan, aku menghapalnya. Seolah di masa lalu aku pernah buta hingga mudah bagiku mengenali tempat.

Naik ke tangga melingkar yang menyala setiap satu tangganya diinjak, aku bergerak dengan cepat. Aku masuk ke kamar tidur dan melepaskan seluruh pakaian. Tidak menyisakan satu pun. Telanjang di bawah sinar keemasan langit yang memberikan bayangan indah di dinding.

Aku menatap sinar tersebut dengan perasaan damai. Hal pertama yang kusukai dari rumah ini adalah pemandangan di kamarnya yang menampakkan matahari yang kembali ke peraduan. Memberikan sedikit kehangatan pada dinginnya perasaan.

Beberapa saat dalam keheningan, aku yang tidak mengenakan sendal berjalan di lantai berkarpet. Masuk ke kamar mandi dengan mendorong pintunya dan segera mencium aroma herbal di bak mandi tersebut.

Aku melepas ikat rambut. Membiarkan rambut coklat pirangku jatuh lembut ke punggung. Kemudian aku masuk ke bak dan merasakan aroma yang menenangkan. Membungkus dan menghangatkanku. Air itu sampai ke leher dan aroma herbal yang bercampur dengan aroma harum yang menenangkan membuatku hampir jatuh terlelap.

Hanya saja ada gerakan di luar kamar mandi yang membuat aku segera terjaga. Aku menatap ke arah dinding yang cukup tebal itu. Mencoba mencari tahu apakah aku mendugakan dengan benar atau malah salah.

Beberapa saat dalam keheningan, aku mendengar lagi suara langkah yang sepelan kaki semut itu. Membuat aku tahu, ada orang yang masuk ke kamarku.

Jelas bukan Kitty mau pun Albert. Mereka tidak akan menyelinap masuk seperti itu dan mereka juga tahu aku bukan orang yang suka diganggu. Apalagi di area pribadiku. Kamar adalah salah satunya.

Siapa pun itu, jelas mengenalku dengan cukup baik dan mengincarku.

Dengan pelan aku masuk ke dalam bak mandi, membiarkan seluruh tubuhku berada di dalamnya. Bahkan rambutku juga. Warna hitam pada bak bisa menutupi seluruh tubuhku. Sementara itu, aku meraih belati kecil yang selalu ada di sisi kanan bak, membuka bagian itu dan mengambil benda tajam berkilat tersebut. Menunggu saat kudengar suara pintu yang dibuka, sosok itu sudah masuk ke kamar mandiku.

Aku cukup mampu menahan nafas, tapi jelas manusia hanya mahluk lemah yang tidak dapat melewati apa yang sudah digariskan untuknya. Itu makanya aku hanya bisa menahan empat menit, kalau sosok itu tidak pergi juga, aku terpaksa melawan dengan sembarangan.

Beberapa saat dalam keheningan, aku tahu sosok itu tengah berdiri di samping bak mandi. Dia diam mematung di sana seperti memperhatikan sesutu.

Aku menghitung dan tiga menit belalu tanpa banyak arti. Sosok itu seperti hendak menunggu aku keluar dengan sendirinya dan dia siap membunuhku langsung dalam keadaan nafas berkurang.

Tapi aku tidak mau mengalah. Masih tersisa satu menit lagi. Meski saat ini aku sudah cukup kewalahan, tapi hanya perlu beberapa detik lagi untuk aku mengambil tindakan. Belati kecil itu sudah bergerak ke sisi kanan tubuhku. Siap menancapkannya ke penyelinap yang mencari mati.

Hanya saja sebelum segalanya terjadi, sosok itu malah mundur dan berbalik pergi. Terdengar suara siulan yang menandakan kalau dia menjauh dan semakin menjauh. Pintu yang tadinya tertutup terdengar terbuka kemudian. Membawa aku pada tegaknya pendengaran untuk meyakinkan diri dia benar-benar sudah meninggalkan.

Segalanya menjadi bagian terpelan dalam hidupku saat aku bisa mendengar langkahnya yang pelan berirama. Tapi hanya dalam satu detik kemudian, langkah itu bergerak dengan terlalu cepat dan suara gemerisik air terdengar kencang.

Seseorang memasukkan tangannya ke dalam air dan tepat tangan itu mengenai leherku. Aku bisa merasakan seringaiannya saat dia tahu dia memang benar ada orang dalam air hitam tersebut.

Satu tarikan dan aku sudah dibawanya naik ke permukaan. Membawa aku duduk dengan kepala miringnya di mana aku dapat menatapnya kemudian. Lampu dinyalakan terang yang membuat aku menyipitkan mata karena silau yang mengganggu. Aku sempat merasakan sakit di mataku merasakan terang yang tiba-tiba itu.

Setelah berhasil menguasai terangnya, aku menatap pria di depanku yang tampak asing tapi juga tidak asing. Kami tidak saling mengenal, aku tahu itu. Dia menatapku dengan asing juga, itu makanya aku tahu.

Tapi dalam detik yang sama seperti ada sesuatu di dalam dadaku yang menggelegak ingin keluar, ingin menyatakan kalau pria itu sama sekali tidak asing. Otakku tidak mengenalinya tapi hatiku seolah begitu familier dengannya. Apa yang salah?

Wajah pria itu tirus, dengan garis wajah tegas dan tanpa bisa diganggu gugat. Dia memiliki fitur yang akan membuat perempuan mendekatinya dengan segala cara. Tapi mata pekat miliknya bukan sembarang orang bisa ikut campur ke dalamnya. Seola terlalu banyak darah yang sudah dilihat pria itu di hidupnya yang membuat dia merasa merah adalah hal yang wajar.

Saat ini pria itu mencengkeram leherku dengan lebih kuat, melihat garis pada leherku yang membuat dia tertarik. Tampaknya membunuh orang lain begitu menarik baginya dari pada tubuh telanjang yang tersuguh di depannya.

Aroma darah seperti menguar dari segala gerakannya, membuat aku tidak dapat menahan diri untuk lekas menyerang, kalau tidak, aku akan mati dengan konyol malam ini. Meski aku tahu dia bukan tandinganku, tapi diam bukan gayaku.

Menyasar ke dadanya, pria itu jelas segera sadar dan menghentikan seranganku. Dia mengambil belati kecil itu dengan tangannya, menggenggamnya dengan tanpa peduli pada luka yang ada di tangannya.

Saat dia menatapku, dia bingung, karena aku memberikannya senyuman. Tapi kebingungan itu tidak berlangsung lama karena aku sudah bergerak dan mengambil senggenggam bubuk yang ada di sisi kiri bakku. Menaburkan bubuk itu ke wajahnya yang membuat dia berdiri dan mundur.

Dia berdiri dengan tegak, masih berusaha lepas dari bubuk yang menyakiti matanya. Tawa membahana terdengar kemudian. Dia tertawa tanpa kepalsuan sama sekali. Tawa itu adalah miliknya, tawa paling tulus yang bisa kurasakan.

"Aku tertipu. Aku sungguh tertipu."

Pria di hadapanku jelas gila. Dia sama sekali tidak terpengaruh pada kenyataan kalau aku menyakitinya. Dia malah memiliki kebanggaan padaku karena aku berhasil membuat dia terluka. Itu memang bukan luka yang parah, hanya pandangan yang sedikit berkurang. Tapi itu cukup untuk melawannya.

Aku bangun dan keluar dari bak, mengambil handuk dan memasangnya dalam satu gerakan. Kemudian aku memukul dinding dan segera berbagai senjata yang kusimpan ada di depan mata. Aku tidak mau membuat keribukan, jadi aku hanya mengambil belati di sana dan mengarahkan padanya.

"Apa kita memiliki permusuhan?" kutanya dia dengan khawatir kalau aku memiliki musuh yang tidak kutahu.

Mr. Mafia, Hug Me (KAM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang