BAB 1

8 5 3
                                    

Siang hari di kelas E1.  

   Di depan Pak Jerry sedang menulis di papan tulis, sebagian siswa lebih banyak mengobrol daripada menyimak. Kelas menjadi penuh dengan bisik-bisik membuat gaduh pikiranku. Terlebih Ali. Dia yang sedari tadi fokus terpecah konsetrasinya. Sampai mengoceh pada teman di sampingnya.

BAM. Pak Jerry memukul meja dengan keras. “Tolong disimak ya, habis ini langsung saya kasih latihan.”

“Iya, Pak,” sahut kami.

   

  Pak Jerry kembali menulis di papan tulis. Kami lebih banyak memperhatikan, takut bener dengan latihan Pak Jerry. Memang sih, dia itu selalu memberi soal analisa tingkat tinggi, banyak rumus yang harus dipahami. Tapi walaupun begitu, dia adalah guru yang baik sekaligus pembina paskibra yang tegas.

“Sssttt... Sssttt...” bisik Rafly, “Sal, tolong contekin aku ya nanti.”

Mataku menyipit, paling malas kalau sudah begini. “Yee...” “Nanti gue kasih lo  duit,” tambahnya.

 

  Terserah. Aku paling muak harus menjual kejujuran demi nilai di atas kertas. Tapi bagaimana lagi? Aku hanya bisa kesal, tapi selama ini tetap memberi contekan saat belajar. Lagi pula aku juga pernah berbohong, jadi tidak ada gunanya berlagak.

  Beberapa menit kemudian, Pak Jerry selesai menerangkan, sekarang aku membantunya membagikan kertas soal. Aku menghela napas melihat soal-soal latihan ini, banyak sekali jumlahnya. Tiga menit, semua siswa sudah mendapatkan kertas masing-masing. Yah! Ekspresi mereka tampak pasrah begitu melihat tulisan di kertas itu. Aku mulai mengerjakan soal pertama, ini bukan soal yang begitu sulit tak perlu lama bagiku menjawabnya. Lanjut soal kedua.

“Sal, nomor satu apa jawabnya?” Rafly mulai beraksi. Aku dengan ketus memberikan jawaban.

“Makasih, Sal.”

   Kembali dengan kertas latihanku, selesai menjawab nomor dua, aku lanjut nomor tiga, dan seterusnya. Setengah jam berlalu, aku tiba di nomor yang terakhir, ini soal cerita, jadi aku menganalisanya terlebih dahulu. Tapi Rafly tetaplah Rafly, dia kembali mengusikku.  

  

   Ck’. Nih anak bisa diam bentar gak sih? Ga liat apa orang lagi fokus? Aku mulai kesal dengan si tukang nyontek ini, dia bahkan tidak memberiku waktu berpikir.

Dia kembali berisik, “Sal, cepat kasih tahu aku nomor sembilan!”  Dan dengan susah hati aku kembali mengasih jawabannya.

“Faisal, kamu sudah siap?” Pak Jerry bertanya.

“Satu soal lagi, Pak,” jawabku.

“Yang lain sudah siap?”  

  Mendengar hal itu, teman yang lain bergegas menulis jawabannya. Sejak tadi hanya menggaruk kepala, tidak bisa menjawab, maka jadilah asal jawab. Hatiku separuh tergelak melihat tingkah teman-temanku ini, apalagi Ali yang berpikir keras mencari jawabannya, tapi aku masih ada soal yang menanti. Tanganku kembali menulis jawaban yang tercetak di dalam otakku.

  Matahari di luar sana semakin meninggi, Pak Jerry menatap kertas-kertas latihan kami. Sepuluh menit yang lalu, Ali — siswa terakhir yang mengumpulkan — menyerahkan kertas jawabannya. Aku yang mengumpulkan pertama, disusul Rafly yang jelas menyontek dariku.

                           ***

   Di koridor sekolah aku sedang membaca buku dari novelis terkenal. Lorong sedang sepi, jam istirahat banyak siswa yang pergi ke kantin, atau sekedar bermain di lapangan basket. Aku asyik membaca novel yang aku pangku, sesekali tersenyum tipis ketika membaca bagian lucu. Suasana sekolah selalu tenang seperti saat ini, hanya sesekali Buk Rati memanggil anak-anak dari mikrofon.  

   Sepuluh menit. Hujan mulai turun membasahi lapangan, murid yang tadi sedang seru bermain berlari mencari tempat berteduh. Sekarang aku lebih menikmati membaca novel ditemani rintik hujan. Koridor penuh dengan gelak tawa siswa lain.

“Hei, Sal. Lagi apa?” Dika duduk di sampingku. Tangannya menggenggam sekantong camilan — dia baru kembali dari kantin. Tak hanya itu, punggungnya juga basah oleh hujan.

“Yah. Cuma lagi baca buku,” jawabku tanpa merasa perlu menatapnya.

Dika ber-oh pelan. “Nih ada camilan, mau gak?”

  Aku menggeleng. Novel ini lebih menarik daripada camilan gratis. Beberapa saat senyap, Dika sedang menikmati camilannya, dan aku masih asyik membaca. Koridor mulai sepi lagi, beberapa siswa kembali ke kelas masing-masing. Menyisakan kami berdua dan dua siswi yang asyik bercerita di bangku seberang.

  Pukul 14:00. Aku menguap lebar, selesai membaca dan saat aku sadari, ternyata koridor menyisakanku seorang diri. Dika sudah pergi entah kapan, juga dua perempuan tadi. Dika kayaknya pergi ke kelas, mending aku juga ke sana. Tak perlu lama, aku sudah berada di depan pintu kelas.

  BUK!!! Sebuah bola melayang tepat mengenai kepalaku.  “Aduh!” aku mengaduh kesakitan. Mengusap dahi yang terkena, sementara itu mataku awas mencari pelaku penendangan. Ali balas menatapku masam — itu memang selalu ekspresi mukanya. Dika tidak terlalu menghiraukan, sibuk dengan ponselnya. Menyisakan Rafly yang cengar-cengir bersama Al-fahri, mereka pasti yang menendang barusan.

“Kalian ‘kan yang nendang barusan?” sergahku.

“Ga ada tuh,” balas mereka masih cekikikan.

  Pembohong sialan! Dengusku. Emosiku membaik setengah menit kemudian, Dika memanggilku. Lupakan kejadian barusan, aku lebih kepo dengan Dika. Biasanya kalau dia memanggil pasti ada pembicaraan yang menarik. Kelas kembali normal, anak perempuan sudah asyik menggosip, anak laki-laki lain sibuk bermain game.

Aku berjalan mendekati meja Dika. “Ada apa, Dik?”

“Jadi gimana persiapan karnaval kita minggu depan?”

“Ohh itu... Bukannya kita pake kostum ya.”

“Aku belum ada, kata Tina kostumnya belum jadi dipesan.” Dika nyegir lebar. Mataku menyipit, kenapa pula dia harus bawa nama pacarnya? Kayak orang penting aja.

  Beberapa hari terakhir sekolah kami sedang mempersiapkan diri untuk karnaval yang diadakan di pusat kota minggu depan. Aku, Dika, Ali, dan anak lainnya menjadi perwakilan sekolah termasuk pacarnya Dika. Pak Wisnu yang memberikan briefing dua hari lalu mengatakan bahwa kami dipilih dari kelas keterampilan sebagai perwakilan. Sekolah kami memang memiliki kelas khusus pelatihan skill para siswanya. Ada lima : kelas berkebun, kelas perbengkelan, kelas tata busana, kelas seni, dan kelas keagamaan.

  Aku dan Dika menjadi wakil kelas berkebun. Ali dan Rafly perwakilan kelas keagamaan, selebihnya diisi oleh murid yang lain. Sebenarnya sejak dulu aku tidak tertarik mengikuti acara begini, tapi karena pembina kami yang meminta, aku terpaksa ikut.  

“Kalau gitu, suruh dia cepat carinya. Minggu depan lho acaranya.” “Sip.”

  Pembahasan singkat kami usai, Mr. Ahmad sudah memasuki kelas. Kami semua bergegas duduk di kursi masing-masing. Satu setengah jam ke depan kami akan belajar bahasa Inggris. Aku mengenyakkan pantat, menatap Mr. Ahmad mulai mengabsen. Semoga pasangan bucin itu sudah punya kostumnya, dan karnaval berjalan lancar.

Terima Kasih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang