Akhir pekan tiba, pagi hari aku hanya menghabiskan waktu di dalam kamar. Sibuk dengan project penelitianku. Kata Pak Wan hari Jum’at depan redaktor dari Redaksi Ekspress akan membaca tulisanku. Memang sejak awal masuk sekolah, aku berniat ikut ekskul jurnalistik, dan syukur aku diterima. Makanya aku banyak berkecimpung dalam penelitian, biasanya juga mengkaji kegiatan kelas keterampilan di sekolah.
Sinar matahari menerangi kamarku melalui jendela yang terbuka lebar. Paman Moehar sudah pergi sejak tadi pagi, Bibi Rum juga sedang pergi ke pasar. Menyisakan aku dan Kak Rin di rumah, biasanya akhir pekan seperti ini dia sedang asyik berkaraoke di kamarnya.
Dengan keadaan rumah sepi — walau agak berisik dengan nyanyian Kak Rin — aku lebih relaks untuk mengerjakan sesuatu. Aku tersenyum dalam hati, tapi tersumpal ketika Kak Rin membuka pintu kamar membawa orang yang paling tidak aku suka.
“Sal, ada temenmu datang.” Kak Rin terlihat dari sudut pintu, lalu berbicara dengan orang itu. “Silahkan masuk, Faisal ada di dalam kok.”
Ekspresiku langsung berubah masam, lihatlah Zian tyang berdiri di depan pintu tersenyum lebar padaku.
“Pagi, Sal. Sebenarnya aku mau ngasih tahu kalau aku bakal kesini, tapi urung, kan lebih baik ditemui langsung.” Zian menjelaskan.
“Oh... Lo mau apa kesini?” tanyaku malas.
“Cuma minta diajarin belajar.” Wajahnya memelas.
“Yaudah, aku bakal bantu tapi liat dulu catatanmu.”
Aku memutar bola mata malas, walau tetap mencari buku catatan miliku. Lagipula dia juga tidak akan menghabiskan weekend-ku hingga malam bukan? Dan niatnya untuk belajar bisa kuhargai, daripada besok dia mencontek. Maka jadilah menjelang siang aku berkutat membantu Zian dengan tugas-tugas miliknya.
Jauh panggang dari api, ternyata perkiraanku salah. Urusan Zian malah tambah melebar, pukul 10.00 WIB Bibi sudah kembali dari pasar, dan langsung memasak lauk hari ini. Disusul Paman yang pulang pukul 12.00 disaat Zian akan segera pulang, Paman malah meminta untuk makan siang bersama. Aku hendak protes, tapi bagaimana mungkin? Paman adalah kepala di rumah ini. Sendok dan garpu beradu, mengeluarkan bunyi berdenting di ruang makan. Selama itu pula aku menatap masgyul pada Zian yang bercerita pada yang lain. Membuat tawa renyah.
“Pulang sana! Sejak tadi pagi kau hanya mengganggu hariku,” ketusku. Sejak tadi ingin sekali aku memiting cara bicaranya yang sok asik dengan Paman.
“Kenapa?” Zian menatap bingung, masih ada bekas senyum di wajahnya.
“Pergi!”
Dia termenung, menatap kosong ke arahku. Dua menit, akhirnya dia terbata-bata undur diri, meninggalkan teras rumah. Wajahku masih merah padam, lantas menghela napas. Apa aku terlalu keras padanya? Habis sudah tawa di dapur bersama pulangnya Zian. Hingga nanti aku masih belum bisa menerima Zian.
Siang beranjak sore.
Di teras rumah dengan latar tanaman hias mekar sempurna, duduklah aku di kursi seorang diri. Setelah Zian pulang tidak banyak aktivitas di rumah, Kak Rin pergi keluar dengan teman-temannya. Paman dan Bibi memutuskan tidur siang, aku menggaruk kepala bingung, karena tidak biasanya Paman tidur siang.
Di atas meja terletak tumpukan kertas penuh coretan, di sebelahnya berdiri gelas minumku. Daripada ikut bosan — karena tidak ada teman bicara — aku mengambil kertas dan pulpen lalu melanjutkan tugas project dan kembali mengulas pelajaran minggu kemarin. Sibuk sendiri.
Drettt. Drettt.
Aku menoleh, handphone-ku berdering, muncul nama kontak di layarnya: Dika. Meraih ponsel lalu mengetuk tombol hijau, sekejap panggilan tersambung.
“Iya ada apa?” Aku langsung to the point.
“Ah, aku hanya ingin bertanya. Apa kau bisa menyewa kostum untukku?” Dika tertawa pelan.
“Kau masih belum dapat?” Aku ber-hah sebal. “Seharusnya kau tahu, besok acaranya.”
“Aku tahu, tapi ya gimana lagi.”
Sekali lagi aku menghela napas, kenapa mereka akhir-akhir ini membuatku naik darah? Tidak cukup sudah hanya guru yang nyinyir padanya, kenapa aku harus ikut pula. Aku mengiyakan, kembali masuk ke dalam — menyimpan kertas catatanku. Tanganku menyambar kunci motor di atas meja, mengendara di jalanan.
Pagi esoknya tiba matahari terbit di ujung timur.
Tak seperti senin biasanya, hari ini sekolah sudah ramai oleh mereka yang ikut karnaval. Ada yang memakai kostum, ada juga pakaian profesi, serta pakaian adat. Ali serta teman yang lain sedang asyik bercengkerama di lorong kelas. Aku masih menunggu dia datang, pembina sudah memanggil muridnya masing-masing. Lima menit, aku menunggu dalam akhirnya dia muncul di gerbang.
“Kau hampir telat, cepat!” seruku.
Seperti biasa, Dika hanya cengar-cengir berjalan mengekoriku.
Lihatlah, dia mengenakan kostum yang diminta, walau terlihat lawak saat dia memakainya. Kostum tomat membuatnya terlihat gemuk, seperti ikan buntal. Aku juga melirik anak yang lain, sángat tampak berbeda dari hari biasanya.
“Sal, sekali lagi terimakasih.” Dika tersenyum.
“Terimakasih buat apa? Aku tidak berbuat apa-apa.” Aku menoleh ke belakang.
“Apalagi kalau bukan kostumnya,” celetuknya.
“Oh itu.” Aku melambaikan tangan, lupakan saja.
Jalanan sore mulai macet aku menatap ke depan seperti antrean ibu-ibu terima sembako, bedanya saat ini adalah motor dan mobil yang memenuhi jalan. Lima menit macet mulai berkurang, tapi masalah baru muncul. Aku mengutuk dalam hati, di saat aku terdesak hujan turun. Membuat basah baju dan wajahku.
Akhirnya aku tiba di sebuah rumah yang terletak di gang kecil dekat pasar mingguan. Pria baya membukakan pintu — dia menyadari kalau ada yang datang. Begitu melihat wajahku dia tersenyum riang, mempersilakan aku masuk. Rumahnya tak terlalu besar, namun bagi pria yang tinggal seorang diri ini lebih dari cukup. Aku langsung menjelaskan maksud dan tujuanku, lalu tuan rumah berjalan ke sebuah ruangan.
Pakcik Din, namanya. Pertama kali aku mengenalnya dalam acara makan malam bersama dengan Paman. Dia seorang penjahit yang tinggal di gang sempit ini dengan istrinya. Namun sayang, dua tahun lalu istrinya meninggal dan dari perkawinan mereka tidak dikaruniai seorang anak pun. Disini banyak model pakaian, dulunya kawan pamanku ini adalah seorang tailor yang sukses di tanah kelahirannya.
“Nah, yang ini pasti cocok untuk temanmu itu.” Pakcik Din menunjukkan salah satu kostum terbaiknya.
Aku mengangguk sepakat, menjulurkan lembaran uang.
“Ah tidak perlu, lagipula hanya sewa bukan? Gratis saja.” Pakcik Din melambaikan tangan.
Aku memaksa, tapi pria baya di hadapanku menolak sekali lagi.
Baiklah, aku berterima kasih lalu izin pulang — hujan di luar mulai reda. Pukul 19.00 aku tiba di rumah, langsung menghempaskan badan di atas ranjang. Selesai sudah permintaan Dika.
Kembali lagi, kami sudah berada di Taman Kota, tempat start karnaval.
Pembawa acara semangat sekali hingga suaranya terdengar nyaring hingga kami yang berada di barisan belakang. Rute kali ini tidak terlalu jauh : Taman Kota – Pasar mingguan – rumah sakit – kantor wali kota. Rafly juga ikut terbakar semangat sejak tadi dia tidak sabaran lagi, ingin karnaval segera dimulai.
Sebentar, sebenarnya karnaval ini tidak terlalu menyenangkan, juga tidak ada hal yang menarik terjadi. Baiklah, kita skip saja ke weekend pekan ini. Hehehe, semoga kalian tidak bertanya tentang acara karnavalnya.
Hari demi hari berlalu, kita bertemu lagi hari Minggu.
Selama seminggu ini, selain karnaval tidak ada yang berbeda, Selasa hingga Sabtu berjalan seperti biasa, kami hanya belajar dan belajar. Kecuali satu hal, Zian yang mendapatkan kemajuan dengan nilai-nilainya, bahkan satu kelas tertarik membahas setiap ada kesempatan. “Gimana ya caranya Zian belajar, sampe-sampe nilainya naik drastis?” Itulah yang kudengar saat jajan di kantin.
Matahari siang menyinari tanaman milik Bibi, kami sedang bersantai di teras bersama. Seminggu ini Paman tidak banyak pekerjaan, lebih banyak di rumah membantu Bibi yang berencana dalam waktu singkat akan membuka toko bunga. Kak Rin bersorak gembira mendengar kabar itu, aku lebih banyak diam menyimak percakapan.
“Gimana sekolahnya, Sal?” Bibi bertanya di sela lamunanku.
Aku menoleh, menjawab pelan. “Seperti biasa, tidak terlalu menarik, Bi.”
Bibi hanya mengangguk, tidak menerus bertanya.
“Kalau pacar udah Nemu belum, Sal?” celetuk Kak Rin.
Aku menggeleng tegas.
“Kau jangan bikin malu, dulu pamanmu ini banyak yang suka.” Paman ikut dalam obrolan.
“Ayah ngarang, mana ada Ayah diincar banyak cewek,” bantah Kak Rin.
Kami tertawa lepas, senyum tercetak di bibirku. Selalu menyenangkan bersama dengan keluarga angkatku ini, mereka saling menyayangi, menghormati, dan menjaga. Sejak pertama tinggal disini aku merasa nyaman. Lima belas menit berikutnya, kami terus membahas apa saja kegiatan masing-masing selama seminggu terakhir.
“Selamat siang.” Dia kembali datang.
“Siang, ya silahkan. Ada keperluan apa, nak?”
Dia mengucapkan namaku. Mood-ku langsung berubah.
Paman dan Bibi memintaku mengajak dia ke kamar.
Tiba di kamarku, kertas dan buku memenuhi ruangan hingga ke atas kasur. Aku duduk di atasnya, diikuti Zian yang duduk di kursi belajar. Atmosfer seketika berubah. “Ada apa lagi?” ucapku dingin. Kami saling tatap.

KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih
Teen FictionKalian pernah benci dengan seseorang, 'kan? Ada waktu kita membenci seseorang hanya karena dirinya memiliki prinsip yang berbeda dengan kita, ada juga mereka yang benci hanya karena hal sepele? Namun, sebenarnya rasa itu hanya disebabkan karena pers...