Hari berganti.
Pagi ini di perpustakaan, aku membantu Kak Zayra merapikan ruangan bertumpuk buku-buku itu. Sekolah masih sepi, tapi aku memang terbiasa datang awal. Belum ada siswa yang hadir, mungkin baru aku saja. Membuat suasana menyenangkan, tidak ada yang meribut. Namun dibalik itu semua, sebenarnya alasan aku datang pagi ke sekolah karena tidak mau berurusan dengan wakasis, Buk Rati. Bisa jadi masalah kalau tertangkap datang telat dengannya. Buk Rati terkenal dengan guru paling disiplin, apa-apa diatur, ini itu selalu dilarang. Memang nasib.
Ruangan perpustakaan sekolah kami tidak terlalu besar, sekitar 7×5 m. Tapi selalu menyenangkan mengunjunginya. Di sini banyak novel, komik, yang biasa menjadi incaran murid. Dan kalian tahu? Guru kami, Buk Des, juga menulis beberapa bukunya dimuat di sini.
“Faisal, tolong bantu kakak merapikan rak ini. Anak-anak sehabis meminjam hanya meletakkan di sembarang tempat. “
“Baik, Kak.”
Ni Oh ya! Kalian belum kenal dengan pustakawan sekolah kami, ‘kan? Namanya Kak Zayra, umurnya dua puluh delapan tahun. Lulusan dari universitas ternama di kota Padang. Pribadi yang ramah, baik hati, orang yang asyik diajak bercerita. Hanya saja, dia masih single, belum punya pasangan.
Hanya sekejap, rak itu sudah rapi oleh tanganku. Setelah itu aku pamit pada kakak pustakawan kami, aku kembali ke kelas. Sekolah mulai ramai, guru-guru berdatangan juga muridnya.
***
Di depan kelas, ternyata dia sedang menunggu dengan area mata hitam, seperti mata panda, juga bajunya yang tidak rapi. Anak -anak lain yang masuk kelas tak menghiraukannya. Sekarang, kami terpisah dua langkah, saling tatap, sekilas aku bisa merasakannya atmosfer berbeda darinya.
“Pagi, Sal. Bisa minta tolong ga?” Dia inisiatif bertanya.
“Yah, tolong apaan?” jawabku ketus.
Hening.
Aku maupun dia mematung. Aku balas menatapnya tajam, dari dulu aku tidak pernah menyukai anak sepertinya. Bandel, bikin ulah, tukang cabut, suka bikin masalah. Tapi dia tidak, malah menyunggingkan senyum tulus padaku. Netra kami saling bertemu.
“Sebenarnya gue belum selesai bikin PR kemarin, boleh nyontek gak?”
“Gak! Biarin lo kena marah sama Buk Rati. Palingan Cuma diusir keluar kelas.” Aku menjawab santai. Tidak ada gunanya berperilaku baik pada anak seperti Zian. Aku mulai melangkah masuk, meninggalkannya. Biarin lagian emang salah sendiri.
“Iya gapapa, kalau lo gamau nolong.”
Tawa Dika dan Rafly meramaikan kelas, membuat hidup ruangan belajar kami ini. Di sudut ruangan terdapat keranjang sampah penuh dengan plastik sisa makanan. Papan tulis penuh coretan, jelas tidak ada yang piket sepulang sekolah kemarin sore. Dasar! Tidak bertanggung jawab. Aku berjalan memeriksa jadwal piket kemarin dan hari ini.
“Zian, Al-fahri, kalian bayar saksi tidak piket!” Aku berseru memanggil nama murid yang piket kemarin.
“Ali, Zalza, Lusi, kalian bersihkan papan tulis dan keranjang itu!” Aku menunjuk sudut ruangan.
Mereka segera melakukannya, walau menggerutu. Aku melihatnya dnegan jelas, apalagi Ali yang memang tidak suka dengan pola pikirku. Aku kembali ke kursi milikku, kelas sudah rapi. Tinggal menunggu Buk Des masuk, mengajar kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terima Kasih
Teen FictionKalian pernah benci dengan seseorang, 'kan? Ada waktu kita membenci seseorang hanya karena dirinya memiliki prinsip yang berbeda dengan kita, ada juga mereka yang benci hanya karena hal sepele? Namun, sebenarnya rasa itu hanya disebabkan karena pers...