Seulgi sempat pingsan di tempat. Setelah memergoki Irene berdiri di depan pintu rumahnya. Wendy mesti bersusah payah menyeretnya sampai ruang tengah, membaringkan tubuh Seulgi ala kadarnya. Kakinya menjuntai ke lantai sementara kepalanya terbenam dalam sofa lapuk miliknya.
Irene sama sekali tidak berminat membantu.
“Apa yang terjadi?” Tanya Seulgi setelah sadar.
“Kau pingsan.” Wendy menjawabnya dengan ekspresi dongkol. Masih capek karena harus menariknya sendirian.
“Pingsan? Kok bisa?” Tanya Seulgi agak heran.
“Aku yang harusnya bertanya begitu.”
Seulgi beranjak bangun dari posisi berbaringnya yang tidak bisa dikatakan berbaring. Dan menjerit terkejut saat matanya tak sengaja bertemu milik Irene.
Wendy refleks menggeplak kepalanya supaya sadar.
“Jangan berani-berani pingsan lagi!” Omelnya saat melihat Seulgi yang sudah ancang-ancang hendak kehilangan kesadaran lagi.
“Kenapa dia ada di sana?” Seulgi menunjuk horor pada Irene yang sejak tadi hanya duduk diam di ujung lain sofa. Anteng menonton kehebohan mereka.
Irene tertawa kecil. Merasa terhibur dengan situasi aneh ini.
Seulgi yang sudah berada dalam kesadaran penuh langsung memperbaiki posisi duduknya, tidak lupa meringis sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Memalukan sekali.
“Kau yang mengundangku, lupa?” Irene membuka suaranya. Dua reaksi berbeda didapatnya dari Seulgi dan Wendy.
Seulgi memasang tampang bingung, “kapan?”
Sementara Wendy bersikap seolah-olah tak tahu apapun. Membisu bagai batu disebelah Seulgi.
“Semalam. Di chat.”
Seulgi buru-buru mengecek riwayat pesan mereka di aplikasi. Irene memperhatikan berbagai ekspresi dari wajahnya yang berubah-ubah dengan cepat. Bingung, kaget, marah, hanya dalam beberapa detik. Dan bisa dibilang, dia cukup menikmatinya.
Seulgi melotot pada Wendy setelah selesai membaca seluruh pesan chatnya dengan Irene di aplikasi, dia paham betul apa yang terjadi dan siapa yang berkirim pesan dengan Irene menggantikannya.
Wendy yang merasa tepergok, menoleh padanya. “Aku cuma berusaha membantu.” katanya sementara keringat dingin mengucur dari pelipisnya.
Melihat potensi munculnya drama lain di ruang tengah Seulgi, Irene membenarkan posisi duduknya senyaman mungkin untuk menonton. Memastikan tak melewatkan sedikit pun detail yang terjadi di depannya.
Tetapi tak sesuai ekspektasinya, Seulgi malah beranjak dan menarik Wendy masuk ke kamarnya. Meninggalkan Irene yang kecewa karena kehilangan tontonan bagus sendirian di sofa ruang tengah.
“Aku perlu bicara sebentar dengan temanku.”
Seulgi menyeret Wendy yang ogah-ogahan masuk ke kamarnya. Memastikan mereka jauh dari jangkauan pendengaran Irene dan mengunci pintunya.
“Apa kau gila? Apa yang telah kau lakukan? Mengundang Irene ke rumahku?” Seulgi mengomel sembari menahan intonasi suaranya supaya tidak terdengar sampai ke luar kamar.
“Aku tidak mengundang Irene.” Sanggah Wendy bercicit. “Aku mengundang Joohyun.”
“Sama sajaaaa!!!” Jerit tertahan Seulgi. “Irene itu Joohyun. Joohyun itu Irene.”