Kejadian ini ku alami sejak hampir dua tahun lalu.
Tepatnya di bulan Oktober 2013.
Masih ingat di ceritaku sebelumnya? Aku adalah seorang grafis desainer, atau bisa dibilang "passionate artworker" ditempatku bekerja. Memang, pekerjaan utamaku adalah seorang grafis desainer. Namun, terkadang aku pun juga dituntut untuk menjadi fotografer, menyanyi, stage director, atau MC di beberapa event yang diselenggarakan oleh kantorku ini. Hey, aku tidak bermaksud untuk membanggakan diriku kepada kalian. Aku tahu kalian pasti akan berkomentar tentang apa yang ku tulis. Tapi kalian akan mengerti korelasi tersebut dengan ceritaku ini.
Oktober 2013 silam, aku diminta untuk meng-handle event di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Apakah kalian tau dimana? Ya! Nusa Tenggara Timur. Aku yakin, kalian belum pernah mendengar nama daerah Atambua yang menjadi saksi pelepasan Timor Timur sebelum menjadi Timor Leste sekarang ini. Daerah tersebut merupakan pedalaman.
Bersyukurlah kalian yang masih bisa hidup enak dan bersekolah. Disana, jarak tempuh rumah penduduk dengan sekolah dan sumber air, harus ditempuh selama 30 menit - 2 jam lebih berjalan kaki. Transportasi disana masih belum memadai. Bayangkan saja, jika kalian pulang sekolah disore hari, atau mungkin harus mencari air untuk kebutuhan sehari-hari, berjalan kaki selama itu ditengah kegelapan malam yang minim cahaya dan dikelilingi oleh pepohonan tinggi. Aku yakin, banyak dari kalian yang tidak sekuat mereka.
Aku dan rekan kerjaku berangkat dari Bandara Soekarno Hatta - Jakarta pukul 6 pagi, dan tiba di bandara El Tari - Nusa Tenggara Timur pukul 10.30 pagi. Belum, kami belum sampai di tempat tujuan! Bisa dibilang, ini baru 1/3 perjalanan kami.
Sebelum kami menuju Atambua, Kami berkunjung ke Pasar swalayan di daerah Kupang terlebih dahulu untuk membeli bahan-bahan makanan untuk bekal di hotel nanti. Maklum, ini pertama kalinya aku dan rekanku menginjakkan kaki di Atambua nanti. Karena kami pikir daerah tersebut sangat pedalaman, dan mendengar desas desus yang diceritakan rekanku yang sebelumnya pernah mengisi acara didaerah itu bahwa disana sangat susah untuk mencari makanan halal atau enak. Tak dipungkiri, mayoritas penduduk NTT adalah Nasrani. Jadi tak heran jika banyak menemukan babi ataupun anjing, baik yang dipelihara maupun yang dijadikan santapan disana.
Singkat cerita, setelah berbelanja, kami bergegas menuju Atambua, diantar oleh supir pribadi sewaan kantorku, sebut saja Pak John, dengan melakukan perjalanan darat.
Atambua tidak memiliki Bandara domestik. Memang, sebelumnya Atambua memiliki bandara. Namun landasan terbang hanya untuk TNI saja. Kami lebih memilih jalur Kupang daripada melewati Dili - Timor Leste terlebih dahulu untuk menuju Atambua agar tidak perlu repot-repot membayar dan mengurus Visa.
Kami melakukan perjalanan darat dari Kupang pukul 1 siang. Apakah kalian tahu, berapa waktu tempuh perjalanan darat dari Kupang menuju Atambua? 8-10 jam!! Kalian harus melewati pesisir pantai, pegunungan, hutan, pemakaman, dan lain sebagainya. Memang, jika melakukan perjalanan di pagi atau siang hari, kalian sudah pasti bisa menikmati indahnya lukisan Tuhan melalui alam semesta ini. Tak bisa dipungkiri, meskipun udara di Indonesia bagian tengah ini terasa menyengat dan membakar kulit, namun aku sangat menyukai keindahan alamnya. Terutama hamparan lautnya yang indah dan biru. Sialnya, kami harus melewati hutan dan pegunungan yang tanpa penerangan, rumah rumah penduduk di tengah pegunungan dan hutan yang minim penerangan, juga pemakaman yang berada di area tersebut, malam hari.
Tak perlu ku ceritakan lebih detail mengenai apa yang kulihat dalam perjalanan malam di hutan tersbut. Mungkin sebagian dari kalian percaya. Dan mungkin juga banyak dari kalian yang beranggapan bahwa aku ini berhalusinasi. Aku hanya berharap bahwa Tuhan memberikan karunia-Nya yang Dia berikan kepadaku ini, kepada kalian juga yang beranggapan bahwa aku berhalusinasi. Selama perjalanan siang - malam. Aku hanya bisa bersandar di kursi pojok kiri mobil karena terlalu banyak yang ku lihat. Mulai dari nenek-nenek bertubuh pendek dengan badan bungkuk dan wajah sedikit hancur sedang duduk dibawah pohon besar, sosok yang dibungkus kain putih, anak-anak kecil dengan muka pucat dan rusak, Ular berkaki, sosok makhluk hitam besar dan berbulu, badan tanpa kepala, atau kepala yang melayang diudara dengan isi perut terbengkalai masih menyangkut yang kemudian hilang seketika, dan sebagainya. Sementara rekan kerjaku, Dhanny, Ina, Bayu, Mega, dan Rendy, sibuk memperhatikan pemandangan sekitar dan berbincang bincang.
Sementara aku? Hanya mampu menunduk sambil berdoa saja dan berharap segera tiba dihotel.
• • Bersambung • •
KAMU SEDANG MEMBACA
Horror Story
TerrorKumpulan cerita pendek yang ditulis author. Masing-masing cerita memiliki genre yang berbeda-beda. Total Genre: Horror, mystery, gore, creepypasta, urban legend.